Disebuah rumah sakit seorang dokter muda dengan wajah tampan berjalan dengan sangat cepat. Berusaha sampai ke ruang rawat dengan cepat.
"Ada apa ini?" tanyanya khawatir melihat salah seorang pasien kejang.
"Kami tidak tau Dok, dia tiba-tba kejang seperti ini." ucap salah satu perawat wanita yang memegangi tubuhnya agar tidak terjatuh dari tempat tidur.
"Suntikan diazepam 10 ml." Perintahnya pada residen yang berdiri disebelahnya.
Tidak lama residen itu kembali ke sebelahnya dan menyuntikkan obat tersebut, membuat pasien yang tadi mengalami kejang berangsur-angsur tenang. Dokter muda itu memeriksa reflek pupil pada pasien tersebut.
"Observasi tiap 2 jam." Perintahnya, dia keluar dari ruang pasien dan sedikit meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, dia baru saja keluar dari ruang operasi dan mendapat telpon dari perawat ruangan untuk segera ke ruangan. Karena pasien kelolaannya mengalami kejang.
"Apa ada masalah? Kau terlihat tidak bersemangat seperti itu. lihat wajahmu jadi tidak tampan lagi kan." Goda Prisca, teman seprofesinya.
"Apa salah kalau aku tidak tampan lagi? Lagipula, di rumah sakit yang dibutuhkan skill bukan ketampanan." Sindirnya.
"Ayolah El, aku cuman bercanda. Bagaimana kalau kita pergi minum? Sudah lama bukan kita tidak menghabiskan waktu berdua?" godanya dengan kedipan mata, wanita itu memeluk lengan Ellen dengan posesif. Setelah berpikir sejenak Ellen menganggukkan kepalanya menerima saran temannya.
"Ah, kurasa aku akan mengikuti saranmu. Aku butuh minuman itu sepertinya, aku terlalu sibuk di rumah sakit sampai tidak ada waktu untuk refreshing." Ucap Ellen. Ya, dokter tampan itu tidak lain dan tidak bukan Ellen. Dia sekarang sudah menjadi seorang dokter bedah Jantung di sebuah rumah sakit di California.
"Aku tau kau butuh. Malam ini jam 9, tunggu aku diparkiran." Prisca mengedipkan sebelah matanya dan berlalu meninggalkan Ellen yang hanya bisa geleng-gelengkan kepala melihat tingkah temannya itu.
***
Jam 9 malam, Ellen sudah menunggu Prisca di dalam mobilnya. Karena terlalu lama menunggu Prisca tubuh Ellen yang memang sudah kelelahan akhirnya tertidur dengan posisi bersandar pada jok mobilnya. Prisca baru saja masuk ke dalam mobil Ellen dan hendak meminta maaf, tapi sayang yang dilihatnya adalah sosok perempuan tampan yang kini tengah tertidur dengan pulasnya.
"Kamu pasti lelah sekali. El, bangun." Prisca menggoyang tubuh Ellen perlahan, membuat yang punya tubuh terbangun, dia mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Kau baru saja sampai?" tanya Ellen yang dibalas anggukan kepala dari Prisca.
"Kau lama sekali, kau membuatku menunggu. Kau tau kan aku paling tidak suka menunggu." Ucap Ellen panjang lebar, dia menatap kedepan dengan tatapan dingin.
"Maaf, tadi ada beberapa pasien yang harus aku tangani di bangsal. Aku tidak bisa meninggalkan tugasku begitu saja. Kau kan tau kita dokter, kita harus siap kapan pun." Jelas Prisca, Ellen hanya menghela nafas berat, tentu saja dia tau kalau tugasnya memang harus membuatnya siap kapan pun dia dibutuhkan.
"Ayo kita pergi ke club, apa perlu aku yang menyetir?" tanya Prisca menawarkan diri pada Ellen.
"Tidak usah, aku ingin pulang dan istirahat. Kita minum dirumah saja, aku terlalu lelah untuk pergi ke club malam ini." ucap Ellen, tangannya sudah siap menstarter mobil tapi Prisca menahannya.
"El, aku minta maaf sudah membuat kamu menunggu. Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku tadi." Mohon Prisca, Ellen menolehkan kepalanya kepada wanita cantik disebelahnya itu.
"Aku tidak marah sayang, aku tau kau sibuk makanya aku mengajakmu pulang. Biar kita bisa istirahat dan besok kita bisa kembali bekerja oke? Atau kau mau malam ini jadi malam panjang kita?" goda Ellen yang sukses membuat wajah Prisca bersemu merah.
"Hentikan godaanmu itu El, kau tau bukan aku tidak akan mungkin bisa jatuh cinta padamu." Prisca memasang wajah seriusnya membuat Ellen menghela nafas berat.
"Apa kau tidak bisa sedikit saja membuka hatimu untukku?" tanyanya dengan wajah datar.
"Kurasa kau akan menemukan orang yang cocok untukmu. Dia pasti menunggumu El." Tubuh Ellen tiba-tiba menegang saat mendengar ucapan Prisca, dia memukul stir mobilnya membuat Prisca terkejut.
"El, kau.." Belum sempat Prisca menyelesaikan ucapannya, Ellen sudah menstarter mobilnya dan mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Sepanjang perjalanan pulang tidak ada yang membuka suara, Ellen hanya fokus pada jalanan malam yang cukup lengang dan Prisca lebih memilih tidak mengganggu konsentrasi Ellen kalau dia tidak mau Ellen menyerangnya ditengah jalan. Prisca dapat melihat rahang itu mengatup rapat menandakan sang pemiliknya tengah marah kepadanya. Sebenarnya dia bisa apa, dia hanya menganggap Ellen tidak lebih seperti adik laki-lakinya dan dia juga tau kalau dia masih mencintai gadis vampire itu. gadis yang merebut hati adiknya itu, walau sedikit tapi rasa itu pasti ada untuk gadis itu. buktinya sekarang dia marah hanya karena secara tidak sengaja Prisca menyinggung gadis itu.
"Sudah sampai. Apa kau tidak mau turun?" tanya El dingin. Karena keasikan melamun Prisca sampai tidak sadar kalau mereka sudah sampai.
"Ah iya." Prisca keluar dari mobil mengikuti Ellen yang berjalan mendahuluinya. Saat mereka sudah didalam Ellen masih tidak bersuara.
"El, aku.. Aku minta maaf.. Aku.. Aku tidak bermak..." ucapan Prisca terhenti saat Ellen mendorongnya ke pintu dan melumat bibirnya dengan kasar.
Prisca memberontak, mencoba melepaskan diri dari ciuman Ellen, dia mendorong tubuh Ellen, tapi Ellen dengan mudah menarik kedua tangan Prisca keatas kepalanya dan tangannya yang bebas dia gunakan untuk menekan tengkuk Prisca untuk memperdalam ciuman mereka. Ellen melepaskan ciuman itu saat dirasanya dia butuh oksigen.
"Kamu kejam El, kamu tau..." Prisca kembali tidak bisa melanjutkan kalimatnya, Ellen kembali mencium bibirnya.
"Sssttt.. bisakah kau nikmati saja?" tanya Ellen dengan suara seraknya.
"Aku punya tunangan El, dan kamu adikku. Kita tidak boleh seperti ini." Prisca meneteskan air matanya, dia merasa bersalah pada tunangannya yang sekarang tengah ada di Amsterdam.
"Maaf, aku lepas kendali." Ellen melepaskan cengkraman tangannya dari pergelangan tangan Prisca. Bekas merah tercetak jelas dipergelangan tangannya.
"Aku akan ke kamar. Kamu sebaiknya masuk ke kamar El." Prisca meninggalkan Ellen sendiri di bawah dan masuk ke dalam kamarnya.
"Maafkan aku." Gumam Ellen, dia menunduk. Ini sudah kesekian kali dia lepas kendali seperti tadi.
Ellen menyandarkan tubuhnya pada pintu, kepalanya kembali berdenyut sakit. Perlahan tubuhnya merosot kebawah dan air mata sialan itu jatuh membasahi pipinya. Air mata yang ntah kenapa terasa menyakitkan untuknya. Ellen menenggelamkan wajahnya dilututnya menangis, merasakan perasaan bersalah yang sangat besar. Selalu. Selalu seperti itu.
TBC
