Entah itu rasa takut ataupun keterpurukan. Tapi semuanya akan terasa mudah jika dituahkan kedalam kata. Dan aku masih disini menunggumu, mendengarkan jutaan kata yang belum kau ucapkan.
~ADAM~
**
Hema hanya duduk dikamarnya menonton anime kesukaanya, walau sebenarnya kedua mata itu tak tertuju pada monitor. Entahlah kemana mata itu menjelajah. Nadine melihat anaknya dalam keadaan seperti ini, merasa tak sampai hati jika pagi ini ia harus memaksakan diri untuk bekerja.
"Mbak!"
Nadine menoleh saat Aji, adik kandungnya yang bekerja di aparat kepolisian memanggilnya. Dari semalam memang sengaja, Nadine meminta Aji menginap dirumahnya. Khawatir akan terjadi sesuatu jika dirumah itu hanya ada Nadine dan Hema. Dan sekarang Aji mengabarkan jika pihak kepolisian sudah menangkap wijaya berseta temanya di sebuah apartemen didaerah kalibata. Mereka ditangkap saat subuh dalam keadaan semuanya masih tertidur. Dari semalam Aji dibantu anggota polisi lainya memang terus memantau kemana larinya Wijaya beserta tiga temanya.
"Selebihnya biarkan hukum yang bicara Mbak" kata Aji setelah menjelaskan penangkapan wijaya.
"Tapi tidak ada media yang meliput kan ji?"
"Mbak tenang saja. Sesuai amanat mbak. Kasus ini akan ditindak secara tertutup. Jadi jangan khawatir, wartawan tidak akan ada yang meliput"
"Bukan apa-apa. Kamu tahu sendiri kan, mbak ini kerja di stasiun tv. Mbak takut, kejadian ini berdampak pada pekerjaan Mbak"
Aji merasa heran pada kakak-nya. Saat keadaan seperti ini, kenapa ia mementingkan karir dan karir. Tak ingatkah ia pada anaknya, Hema yang baru saja mendapat perlakuan tak senonoh. Aji bisa membayangkan bagaimana shock-nya Hema sekarang.
"Mbak. Yang terpenting sekarang adalah keadaan dhika" Aji menyebut nama panggilan Hema sewaktu kecil "Ini pasti berdampak pada mental-nya."
"Aku gak papa kok om"
Aji kaget, begitupun Nadine. Saat tiba-tiba Hema menghampiri mereka yang sedang bicara.
"Hema sayang. Kamu belum makan dari semalam, mama udah bikin sup jagung kesukaan kamu. Makan ya sayang"
"Om. Benar, Ayah sama temanya udah ditangkap?" Hema tak menanggapi kekhawatiran Nadine. Aji yang badanya memang tinggi berlutut agar sejajar dengan tinggi keponakanya.
"Dhika, kamu tenang aja. Orang jahat pasti akan ada hukumanya. Dhika gak usah mikirin banyak hal, apalagi Ayahmu yang jahat itu. Serahkan sama Om. Hari ini dhika istirahat dirumah, Tapi besok dhika sekolah seperti biasa ya!"
Hema memberikan senyum terpaksa, lalu berlalu masuk kedalam kamarnya. Ia sama sekali tak menatap kearah Nadine. Beberapa menit kemudian, ponsel Nadine bordering. Atasanya mengharuskan Nadine untuk meliput korban Banjir di daerah Bekasi sekarang juga.
"Apa gak ada reporter lain Mbak? Dhika sekarang kondisi jiwa-nya sedang tidak baik.!" Aji mencoba menahan Nadine agar tidak pergi.
"Ji, kamu dengar sendiri kan tadi mbak sudah mencoba menolak. Ini masalah tanggung jawab, atasan mana mau mengerti sih dengan apa yang terjadi dengan kariyawanya."
"Pantas saja Mas Wijaya sampai salah pergaulan seperti ini. Mbak hanya mementingkan karir dan karir tanpa memantau perkembangan suami dan anak mbak"
"Kamu kok bicara seperti itu pada Mbak-mu ji. Aku yang tahu soal bagaimana membina rumah tanggaku. Dan kamu gak usah sok ngajarin dalam hal itu. Aku selalu memperhatikan mereka kok, setiap hari aku selalu menyempatkan masak buat anak suami walau aku lelah, apa itu tidak memperhatikan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAM DAN HEMA
RomanceDia kini berteman dengan petir, tapi bulan dan matahari masih ada dan menjadi saksi bahwa aku dan dirinya pernah sangat dekat. -Adam- Orang yang dianggapnya sahabat sejati, kini tlah berbeda. Tapi apakah alasanya kenapa ia berbeda. Adam terus memper...