Part 9

3.9K 281 20
                                    

Suara petir terdengar kencang, bahkan terkadang cahaya kilat terlukis dilangit malam yang gelap. Butir-butir air hujan terus jatuh membasahi bumi yang baru saja hendak menyambut sang malam.

Adam mengerang kesakitan dibalik punggung Hema. Sementara Hema terus melajukan motor gedenya dengan kecepatan sedang. Sakit sekali rasanya ketika tetesan air hujan membasahi luka-luka yang ada ditubuhnya.

Siapa yang bisa tahan saat tubuh kita terluka, lalu luka itu dibasuh oleh air. Pasti rasanya sakit sekali. Seperti itulah yang dirasakan Adam. Hema-pun sebetulnya demikan. Hanya saja dia memang pandai menyembunyikan rasa sakit dalam dirinya. Adam memeluk Hema dari belakang. Hema melirik kedua tangan Adam yang melingkar dibawah dada-nya. Kali ini dia tak memberontak. Dia membiarkan Adam memeluknya erat-erat. Hema tahu-sangat tahu. Adam pasti kesakitan-juga kedinginan karena basah kuyup dan hujan masih turun dengan sangat deras.

Dalam hati, Adam tak peduli jika Hema marah saat Adam memeluknya. Bahkan adam siap menerima segala bentuk resiko, jika saat itu joga Hema menurunkan Adam karena merasa tak suka. Atau yang lebih tragis, Hema mendorong Adam dari motornya sampai terjatuh. Tapi nyatanya, Hema membiarkanya sampai akhrinya motor gede-nya berhenti depan rumah mereka berdua. Adam segera turun, begitupun dengan Hema. Sebelum Adam berlalu, dan masuk kedalam rumahnya. Dia melirik Hema. Keduanya saling bertatapan meskipun tak saling berkata-kata. Padahal sore tadi, ketika keduanya duduk dibatu besar dekat danau yang dulu terkenal banyak buaya. Keduanya saling berkomunikasi, menuahkan segala cerita yang selama ini ingin diceritakan. Dan sekaramg, rasa canggung itu hadir kembali. Hema mungkin tak tahu, jika disepanjang perjalanan Adam menitikan air mata. Bukan karena sakit karena luka yang dibasuh oleh Air hujan. Melainkan karena bahagia karena bisa berada dekat dengan sosok yang selama ini ada, tapi seperti hilang dalam hidupnya.

Hema lebih dulu masuk kedalam rumahnya. Adam memperhatikan lelaki itu sampai menghilang dibalik pintu. 'Terima Kasih Hema'  lirihnya dengan pelan. Lalu Adam-pun masuk kedalam rumahnya.

**

Pagi. Dihari Sabtu. Adam sudah rapih mengenakan seragam sekolahnya. Diatas mata kirinya, ada sebuah luka yang ditutupi menggunakan kain kasa yang baru saja diganti setelah mandi tadi. Sebetulnya, tubuhnya masih terasa nyeuri. Bahkan hampir seluruh tubuhnya. Tapi Adam harus tetap pergi kesekolah. Ulangan akhir semester hampir tiba. Lagipula dia kemarin sudah izin. Tak mungkin hari ini-pun harus izin juga. Adam tak mau tertinggal mata pelajaran lebih banyak.

Lewat celah pintu. Sebuah aroma sedap masuk kedalam kamarnya. Adam yang sekarang tengah memasukan buku-buku pelajaran, berhenti sesaat menikmati aroma itu. Benar saja. Tak lama suara Ibu-nya didapur-dengan suara lengkinganya berhasil terdengar kedalam kamar.

"Ayok dam. Sudah mateng nih" Kata Salma yang baru saja menyajikan masakanya dipiring. Lalu dia membawanya ke meja makan, bersamaan dengan Adam yang keluar membuka pintu kamar. Salma melirik kearah Adam. Memperhatikan Anaknya yang sudah rapih mengenakan seragam sekolah.

"Kamu kan masih sakit nak. Kenapa dipaksain sekolah sih. Istirahat saja lah dulu" Kata Salma, lalu merauh piring yang berisi semur jengkol kesukaan Adam dimeja makan. Sudah tersaji juga, nasi merah, tempe goreng dan kerupuk. Menu pagi ini benar-benar kesukaan Adam.

Adam diam, bahkan tak ngeh Ibunya tadi bicara apa. Dia hanya merasa aneh sekaligus bahagia dengan keadaan Ibunya yang mulai berubah seperti dulu. Entah kapan terkahir kalinya Salma memasak untuk anaknya. Entah kapan terakhir kalinya, meja makan itu terisi oleh banyak makanan, entah kapan terakhir kalinya terdapat perabot dapur kotor yang menumpuk. Ya. Entah kapan terakhir kalinya. Adam sampai lupa.

"Kenapa kok liatin ibu kayak gitu" Tanya Salma heran dengan tatapan Adam. Adam langsung menggeleng dengan menampilkan gigi putihnya yang terususun rapih.

ADAM DAN HEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang