Part 6

4K 295 18
                                    

"Tapi gue gak ngerasa ikutan lomba puisi!"

Hema berbisik ditelinga Febri.

"Tapi nama lo dipanggil sebagai pemenang barusan. Udah maju cepetan!" Gio mendesak. Ditambah lagi Ferdy sang ketua kelas X-B yang terus memaksa agar Hema segera maju kedepan.

Seperti orang sempoyongan. Hema berjalan. Linglung. Tak tau arah. Meski langkah kakinya jelas-jelas hanya harus berjalan kedepan. Adam melihat Hema merasa aneh. Hema Nampak terlihat kebingungan.

"Aku heran. Kok bisa-bisanya itu anak menang lomba puisi!" Ucap Raya pelan.

"Malah yang aneh itu. Seorang Hema ikutan lomba puisi" Ridho ikut nimbrung. Mungkin mereka berdua masih merasa heran, kenapa bukanya Adam yang dipanggil kedepan sebagai pemenang.

"Ya Bagus dong. Ada peningkatan berarti" Adam menanggapi ucapan kedua temanya.

Kini, Hema sudah berdiri disamping Pak Rendi. Dan Anak itu masih terlihat kebingungan. Bahkan saat Pak Ferdi menjabat tangan-nya dan memberikan Hema selembar kertas, Hema masih belum ngeh, dengan apa yang harus ia lakukan.

"Hema ayok, udah mendung nih" Suruh Pak Rendi.

"Saya harus ngapain Pak" Hema berbisik pada Pak Rendi.

"Lah. Kok ngapain? Baca puisi karyamu. Ayok cepetan"

Spontan mata sipit Hema sedikit membengkak. Tanganya bergetar saat mendekatkan mic pada mulutnya. Apalagi ketika ia membuka kertas yang barusan ia terima dari Pak Rendi.

Sebelum membaca. Ia melirik Pak Rendi. Pembina Osis itu menggerakan tangan kanan-nya sebagai Isyarat.

Ayok cepat baca Hema..

Ekhem...

Dan barusan Hema melakukanya lewat Mic. Tentu saja itu disambut tawa beberapa murid yang ada dilapangan. Beberapa guru disamping Pak Rendi hanya tersenyum.

Sepertinya Hema memang harus membacakan puisi tersebut. Tak mungkin ia tiba-tiba lari dari lapangan. Dan jujur, ini adalah pertama kalinya Hema membaca puisi, dengan suaranya sendiri bukan dalam hati.

Seperti mutiara yang jatuh kelubang yang dalam
Tak mungkin ku mengambil
Teriak pun mungkin hanya terdengar gemuruh
Atau hanya Bising..

Apakah aku harus berubah jadi laba-laba
Untuk meraihmu menggunakan jaringku
Agar kau bisa kuraba
Lalu kau kupaksa menetap dalam jiwa

Saat kau dalam Jiwa
Kau mencabik isinya
Sampai yang tersisa hanya luka
Luka karena membuat aku terbangun
Dari mimpi yang mengalun ber-abad-abad

Kini. Aku sulit terlelap karena gelap
Hariku hanya terisi untuk meratap
Namun kumencoba menata hati
Mengobarkan api semangat hadapi hari

Tepuk tangan bergemuruh. Dari mulai kelas X. XI. XII. Bahkan sampai Pak Rendi dan Guru-guru yang ada dilapangan. Hema sebenarnya membaca puisi tersebut biasa saja. Ketika membaca-nya, ia tak melihat kedepan. Kepalanya seperti kram dan terpaksa harus menunduk selama membaca puisi.

Tapi. Suara Hema seperti menyatu kedalam setiap kata yang ia ucapkan. Gio dan Febri, bahkan sampai tak menyangka Hema bisa membaca puisi dengan penuh penjiwaan. Bukan hanya Gio Febri. Rasa heran pun kini merasuki fikiran anak-anak kelas X-B. Dan sepertinya semua yang ada dilapangan saat ini berfikiran serupa.

Ternyata tak semua. Ada Raya yang saat ini memelototi Hema. Juga Adam yang sampai sekarang masih memberikan tepuk tangan dengan senyum datar.

"Itu.. Itu bukanya puisi kamu dam?" Ucap Raya dengan wajah yang sudah geram. Kalau Ridho tak menahan-nya, Raya pasti sudah maju kedepan dari tadi. Bahkan ketika Hema sedang membacakan puisi.

ADAM DAN HEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang