12:10 [Grande]

69 15 0
                                    

From: Lori

Aku mohon, diatas pukul sebelas malam, jangan buka pintu apartemenmu.

Firasatku tidak enak, Ari :(

8:46PM

Hari yang panjang bagi Ariana.

Dia barusaja tiba di rumah pukul tujuh lebih dua puluh menit. Itu karena dia harus terjebak macet setelah pergi ke perpustakaan kota untuk mencari buku-buku refrensi yang Mr. Dawkins ingin murid-murid bawa di pertemuan selanjutnya. Ditambah dengan dia harus berganti taksi karena supir taksi sebelumnya harus pulang ke rumah

Dia lelah sekali. Begitu tiba di apartemen mewahnya dia harus memasak makan malam untuk dirinya sendiri.Ini karena Ariana tinggal terpisah dari keluarganya yang masih menetap di Italia. Gadis itu memilih untuk hidup mandiri dengan menempuh pendidikan di Universitas Columbia di Amerika ini.

Alasan lain selain ingin belajar untuk hidup mandiri adalah, Ariana sedikit kesal dengan kesombongan keluarga besarnya yang merupakan pejabat terpandang. Tetapi meskipun begitu dia tetap merindukan mereka. Terutama neneknya yang manis itu.

Ariana mengerutkan keningnya, pipinya menggembung. Sebentar lagi dia akan selesai membersihkan gigi. Setelah berkumur, dia mengelap tangannya dan duduk diatas kloset yang ia tutup. Jemari lentiknya bergerak dengan lincah di atas keyboard, mengetik pesan untuk membalas Lori yang membuatnya bingung setengah mati.

Apa maksudmu? Jangan membuatku cemas bodoh! Astaga, aku lupa bahwa kita sedang bertengkar hari ini. Seharusnya kau tidak mengirimiku pesan. Duh.

"Apa maksud Lori? Ck, jangan-jangan ini tipuan bulan Aprilnya?" Dia menutup aplikasi pesan dan melihat kalender dari ponselnya. "Tapi sekarang sudah tanggal lima..." Bunyi notifikasi pesan masuk membuat Ariana diam-diam merasa semakin cemas.

Sesuatu yang buruk akan terjadi. Apa kau tidak pernah mendengar berita tentang gadis 22 tahun yang cantik ditemukan tewas dengan kondisi fisik seperti nenek-nenek berusia 76 tahun? Dia tinggal di gedung B! Seberang gedung apartemenmu!

"Shit." Ariana menggigit bawah bibirnya. Kali ini rasa cemasnya berhasil menumbuhkan rasa takut luar biasa. Dia sudah mendengar berita itu, bahkan dia sudah melihat foto jasad gadis itu yang sangat menyedihkan. Tapi kejadian itu sudah lama sekali, sekitar satu bulan yang lalu. Dan Ariana tidak terlalu menanggapi berita itu dengan serius.

"Lebih baik aku tidur saja. Kemana obat tidurku? Lori sialan. Aku akan menggunduli rambut hijaunya besok pagi!"

11.34PM

Obat tidur itu hanya berfungsi beberapa jam. Dan itu membuat Ariana terduduk di atas kasurnya dengan frustasi. Ini semua karena rasa laparnya yang datang tiba-tiba, itulah alasan mengapa Ariana terbangun. "Oh tidak lagi...."

Jadi mau tidak mau dia bangkit dari kasurnya dan berjalan menuju dapur, mencari sesuatu di lemari pendingin yang mungkin ia bisa makan untuk meredakan rasa lapar di perutnya yang seolah-olah berdemo. "Pukul berapa sekarang?" Dia merogoh ponselnya yang ia kantongi di saku celana tidurnya. "Astaga, bukankah tadi sebelum aku tidur baterainya masih delapan puluh persen?"

Ariana menutup lemari pendinginnya yang ternyata tidak memiliki apa-apa. Pun dia berjalan dengan gontai menuju sofa dan duduk berselonjor diatasnya. Sebelumnya, dia mengisi baterai ponselnya yang lalu ia taruh di nakas kecil samping sofa. "Kurasa aku akan memesan pizza."

"Halo? Romana Pizza? Ya, bisakah aku pesan pizza peperoni dengan ekstra keju mozarella ukuran sedang dan satu pepsi?" Beruntung Ariana masih memiliki satu telfon biasa yang memiliki kabel itu di apartemennya. "Baik. Terima kasih. Jangan lama-lama ya?"

12:12Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang