6

118 11 4
                                    

"Dave!" teriak Nana begitu sampai di dekat Davian.

Gadis itu mengulurkan tangannya untuk meraba dahi kakaknya. Demam. Ia segera memapah tubuh menjulang itu ke kasur. Susah payah ia mencoba membaringkan kakaknya yang terlampau berat dibanding dirinya.

Setelah sukses memposisikan Davian di tempat tidur, Nana segera mengambil peralatan untuk meredakan demam yang ia ketahui; baskom, air (dia bingung mau memberi air panas atau dingin, akhirnya dia memilih air keran biasa), dan handuk kecil.

Dengan cemas, Nana mengompres dahi kakaknya yang masih belum sadarkan diri. Kalau satu jam nggak sadar-sadar, ia berniat meminta bantuan Ares untuk membopong Davian ke rumah sakit.

Nana menggenggam tangan panas kakaknya dan menangkupkan tangan kekar tersebut di pipinya. Dave, Nana jadi kepikiran gimana kalau Dave sakit disaat Nana sama Mama nggak di samping Dave, batinnya.

Udah bertahun-tahun Davian tinggal di Indonesia tanpa keluarga dekat. Pastinya, kakaknya itu pernah merasakan sakit sendirian. Hati Nana pedih memikirkannya.

"Na?"

Nana bersyukur kakaknya siuman dengan cepat. "Dave pengen apa?" tanya Nana sambil tersenyum lembut. Tangannya masih menggenggam erat Davian.

Davian tersenyum lemah dan melepaskan genggaman Nana untuk mengusap-usap puncak kepala adik kesayangannya itu. "Pengen Nana," katanya manja.

Pipi Nana bersemu merah, namun segera ia tutupi dengan bangkit berdiri untuk mengambil segelas air putih yang sudah ia siapkan di nakas.

"Minum dulu," pinta Nana.

Davian mencoba duduk di kasur dan menerima gelas tersebut. "Makasih, Nanaku." Ia meletakkan gelas yang sudah kosong tersebut ke nakas di sebelah tempat tidurnya.

"Dave jangan sakit," bisik Nana sambil melingkarkan tangannya ke perut Davian.

Davian mengelus rambut adiknya dengan sayang. "Di deket Nana, Dave langsung sembuh, kok," katanya sambil mengecup puncak rambut Nana.

"Gimana ceritanya sampe pingsan di samping kasur?" tanya Nana. "Kalau mau pingsan sekalian di kasur kek," gerutunya.

Davian terkekeh. "Pingsan mana bisa dikontrol waktu dan tempatnya? Tadi juga sebenernya waktu udah mulai kunang-kunang Dave langsung berusaha naik ke kasur, kok."

"Gimana ceritanya?" tanya Nana lagi. "Kok bisa sakit?"

Davian mengelus punggung Nana yang masih memeluknya. "Dave tadi pagi emang agak pusing." Davian menangkupkan tangannya ke pipi Nana. "Ya udah, sekarang belajar sana. Dave udah nggak apa-apa."

Nana menganggukkan kepalanya nurut. "Okay. Istirahat ya. Kalau butuh Nana, panggil aja," katanya sambil melangkah keluar dari kamar Davian.

Baru beberapa jam lalu ditraktir sama Ares, perut Nana udah minta diisi lagi. Ia berjalan menuju dapur dan membuka kulkas. Cuma ada botol-botol minuman di dalamnya, sedangkan camilan yang tersisa hanya sosis instan yang bisa langsung dimakan namun nggak disukainya. Setelah melalui berbagai pertimbangan, ia memutuskan untuk turun ke minimarket dan meninggalkan Davian sebentar. Sekalian beli obat penurun panas buat kakaknya.

Ia mengenakan jaketnya yang tersampir di sofa lalu bergegas turun ke bawah. Suasana di lantai bawah nggak begitu ramai. Ia masuk ke minimarket dan membeli beberapa kebutuhan seperti pembalut, kapas kecantikan, tisu, panadol, dan banyak camilan. Setelah membayar belanjaannya, ia segera menuju lift.

Nana memainkan HPnya selagi menunggu lift. Dahinya mengernyit saat mendapat notifikasi dari Line.

Ares Adeon added you by Line id.

Ares & AthenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang