"Na, ayo, sarapan!" teriak Davian dari meja makan.
Nana menjawabnya dengan gumaman yang tentu saja tidak terdengar oleh Davian.
Matanya terpaku pada acara televisi di depannya, walaupun sesungguhnya pikirannya sedang tidak berada di sana. Tatapannya kosong dan tangan kanannya memutar-mutarkan remote.
Dari kemarin, ia seolah membatasi dirinya dengan sang kakak. Ia tidak mau berada sedekat biasanya dengan Davian. Saat makan pun ia memilih membawa piringnya ke sofa atau ke kamar di saat Davian makan di meja. Semua obrolan yang dilontarkan laki-laki blasteran itu hanya ia balas sekenanya.
Ia takut. Ia takut kalau Davian ternyata tahu perasaan terpendamnya.
"Nana." Suara berat itu terasa begitu dekat di telinganya. Seketika, tengkuknya merinding.
Tubuh Nana menegang saat suara itu disusul dengan belaian di rambutnya dan kecupan lembut yang mendarat di pelipisnya.
"Kenapa?" tanya Nana, berusaha rileks kembali.
Davian memutari sofa dan menjatuhkan dirinya di sebelah Nana. Kaki kanannya ia tekuk di atas sofa, sedangkan kaki kirinya menjulur menyentuh karpet di bawahnya. Tangan kanan laki-laki itu terangkat kembali untuk melanjutkan belaiannya di rambut sang adik.
"Nana kenapa?" tanya Davian lembut, memandangi adiknya.
Gadis itu mengernyitkan dahinya, seolah merasa aneh dengan pertanyaan kakaknya. "Nggak kenapa-kenapa, tuh," jawabnya.
"Nggak lagi marah sama Dave?"
Nana menggeleng kuat-kuat.
Davian tergelak. "Biasa aja, kali, gelengnya."
Kuluman senyum dan rona merah menghiasi wajah Nana.
Inilah yang membuat Nana menyukai kakaknya. Sekeras apapun ia mencoba untuk menjauhi Davian, laki-laki beriris hijau gelap itu selalu berhasil menggapai Nana agar kembali berada dekat dengannya.
Bohong kalau Nana berkata bahwa selama ini ia tidak pernah berusaha mengatasi rasa cintanya pada saudara tirinya itu. Nyatanya, sudah beberapa kali ia mencoba menjauh, namun berkali-kali juga Davian menariknya kembali.
"Terus, kenapa dari kemarin cuekin Dave?" Jemari Davian mencubit pipi Nana dengan gemas.
Nana menggeleng pelan. "Cuma lagi banyak pikiran."
"Cerita ke Dave bisa, kali," ujar Davian.
Gimana Nana bisa cerita, kalau yang jadi akar permasalahannya itu kamu, Dave?
Gadis itu menggeleng lagi. "Nggak penting, Dave. Masalah tugas sekolah doang kok," dustanya, walaupun tidak sepenuhnya bohong, karena masalah Nana memang bermula dari tugas sekelompok dengan Sandra, kan? Andai saja dia nggak sekelompok dengan cewek rese itu...
Davian mengacak-acak rambut Nana dengan gemas. "Ya kalau lagi sebel sama tugas sekolah, jangan jutekin Dave lah, Nanaku," ucapnya sambil bangkit berdiri. "Makan, yuk," ajaknya.
Gelengan kepala Nana membuat Davian berkacak pinggang.
"Jangan sepelein sarapan dong, Na. Dapet tenaga darimana lo kalau nggak makan?" Hawa ketegasan Davian mulai muncul bersamaan dengan lo-gue-nya.
"Iya, iya, gue makan kok. Tapi entaran," balas Nana. "Lo makan duluan aja deh."
Davian mengangkat bahunya pasrah. "Ya udah, gue makan duluan." Ia pun melangkah menuju meja makan.
Ting-tong!
Suara bel menggema di ruangan apartemen Davian, disusul dengan ketokan pada pintu.
Tok tok tok.
Nana mengernyitkan hidungnya dan segera berjalan menuju pintu. Sudah bisa ditebak siapa yang ada di belakang pintu tersebut.
Cklek.
Nana langsung berbalik kembali ke sofa setelah membukakan pintu untuk Ares. Cowok itu memang suka membunyikan bel dibarengi dengan ketokan pintu. Biar cepet dibukain, katanya.
Setelah Nana sudah duduk dengan nyaman di sofa, ia melirik Ares juga mengikutinya ke sofa.
Biasanya langsung ke Dave, batinnya.
"Ngapain lo?" cetus Nana begitu Ares meletakkan tubuhnya di samping Nana.
"Selamat pagi, Antena," sapa Ares.
Nana membolakan matanya mendengar panggilan baru dari Ares. "Nggak usah plesetin nama gue."
"Nama lo emang Antena, kan?" Ares menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Argh, gue males bikin panggilan baru buat elo," keluh Nana.
Ares terkekeh. "Kenapa?"
"Nama lo susah diplesetin," gerutu Nana.
Lelaki itu langsung tertawa keras-keras mendengar jawaban Nana. "Nggak punya sisi kreatif, sih, lo."
Tangan Nana otomatis menabok pundak Ares. "Ngapain, sih, pagi-pagi gangguin gue?!"
"Gue nggak gangguin lo, Zan."
Nana berdecih. "Terus ngapain lo pagi-pagi ke sini deketin gue? Deketin Dave sana tuh mahoan lo!"
"Anjir, gue nggak deketin lo, Zan. Kayak nggak ada wanita anggun aja sampe-sampe gue harus deketin cewek bar-bar macem lo."
"Ya udah, sono jauh-jauh lo dari gue!" Dorongan Nana ke tubuh Ares membuat lelaki itu mau tak mau bangkit dari duduknya.
"Gue tuh ke sini mau ngajakin lo keluar, Antena." Ares to the point, membuat mulut Nana menganga lebar.
"Bisa nganga lebaran lagi nggak, Zan? Gue sumpelin kaki gue," ejek Ares.
Nana mendesis sebal. "Dalam rangka apa lo ajak gue ngedate?" sinisnya.
"Bukan ngedate, Antena. Tapi, ke-lu-ar," eja Ares.
"Sama aja, M."
"Beda, Zan."
"Intinya sama aja jalan berdua gue."
"Beda. Kalau ngedate itu antara cowok dan cewek jalan berdua buat melakukan hal-hal manis. Nah, kalau ini, gue ngajak lo jalan berdua buat memperkenalkan dunia luar, karena sebagai tarzan, gue paham bener dunia lo selama ini cuma diisi para simpanse, gajah, sama pohon-pohon gede." Senyum Ares di akhir kalimatnya membuat Nana ingin sekali memplester mulut lelaki itu dengan lakban.
"Bibir lo tuh ya, M. Belum pernah dijepit pake tang?"
Ares meringis. "Dijepit sesama bibir aja belum pernah, Zan. Mau coba jepit gue?"
"OK, bentar, gue ambil tang dulu." Nana bergegas berdiri, tapi lengannya langsung ditahan Ares.
"Psikopat lo, Zan." Ares menatap horor pada Nana sambil mengarahkan gadis itu untuk duduk kembali. "Daripada capek ambil tang, sini pake bibir lo aja."
Nana memasang wajah-ingin-muntahnya. "Bener-bener Tiga M banget lo, ya! Jauh-jauh sana lo!"
Ares terkekeh. "Plis deh, Zan. Gue butuh temen keluar."
"Ogah. Cari orang lain aja sana!" tolak Nana.
"Plis, Zan, gue kesepian."
Nana mengernyit jijik. "Idih! Kurang belaian banget, sih, lo!"
"Makanya belai gue, Zan."
"Sumpah, lo kesambet apa, sih, M, sampe jadi kayak gini ke gue," erang Nana jijik.
Ares mendekatkan wajahnya ke arah Nana. "Kemarin, ada yang minta sesuatu ke gue," bisiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ares & Athena
Teen FictionAjari aku melupakan dia. Setelah itu, sepenuhnya hatiku akan menjadi milikmu. __________ "Athena, lo nggak lagi bercandain gue kan?" Nana menggeleng lemah. Ares membanting sisa puntung rokoknya ke tanah. Matanya menatap Nana dengan pandangan n...