12

89 5 0
                                    

Pagi itu, Nana terbangun oleh gedoran di kamarnya.

09.16

Nana mengucek-ucek mata, kemudian menegakkan punggungnya untuk duduk. Matanya masih terpejam dan setengah raganya masih berada di alam mimpi, tapi suara gedoran yang disertai panggilan Davian itu membuatnya mau tak mau bangkit dari kasurnya.

"Iya! Nana udah bangun!" teriak Nana dari kasur, agar kakaknya menghentikan gedoran.

"Kenapa dikunci, sih, pintunya? Ayo makan!" teriak Davian dari luar.

Oh, iya. Kemarin memang Nana sengaja mengunci pintu kamarnya, karena Ares bermalam di sofa ruang tivi-nya! Huh, padahal makhluk itu punya kamar sendiri di apartemennya, kenapa harus bermalam di tempat orang, sih. Davian juga nggak ngusir, lagi, waktu Ares sudah tepar di sofa.

"Iya, Dave! Otewe ke pintu!" Nana bangkit dari kasur empuknya dengan malas, duduk di pinggir sebentar, lalu berjalan keluar kamar.

Ternyata, Ares masih ada di apartemennya, sedang ngobrol bersama Davian. Kaos yang dikenakan mereka berdua juga berbeda dari kemarin malam, berarti tinggal Nana yang belum mandi.

"Mau makan ke bawah, kan? Tungguin gue mandi bentar, ya?" tanya Nana, menyadari betapa kuyu-nya dia dibandingkan kedua cowok itu.

Bahan makanan di dapurnya sudah habis, jadi Nana bisa memastikan kalau mereka bertiga--karena Ares pasti juga ngikut--akan makan di luar, atau paling nggak di lantai bawah.

"Nggak usah! Gue laper banget, kali, Zan. Lo tega nyuruh gue nungguin lo mandi sejam?" Ares dengan mulutnya yang bagi Nana; selalu mengundang perang.

"Mandi gue nggak nyampe 15 menit, Nyet!" teriak Nana.

Davian, yang malas mendengar keributan di pagi hari, segera menengahi. "Buruan mandi."

***

"Lusa kemarin, ada yang mampir, ya?"

Nana sedikit terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan Davian. Namun, segera ditutupinya dengan mengangguk-anggukkan kepala--dengan sedikit berlebihan.

Mata Nana melirik punggung Ares yang baru saja keluar dari pintu kaca restoran tempat mereka sarapan. Ares bilang kalau dia ada urusan dengan temannya, jadi dia pamit duluan, meninggalkan Nana dan Davian yang masih makan.

"Temen gue, Sandra, mampir." Nana mengunyah nasinya seraya menatap kursi kosong di depannya.

"Sandra temen lo itu... mantan gue," kata Davian.

Nana hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, tanpa menoleh menatap Davian.

"Lo ngusir dia?" tanya Davian hati-hati.

Nana mengedikkan bahunya. "Waktu itu lo lagi sakit. Gue nggak mau dia ganggu istirahat lo."

"Dia mau jenguk."

Nana menolehkan wajahnya kepada Davian. "Kalian balikan?" Akhirnya, pertanyaan yang bikin dia kepo pun terucap juga.

"Belum."

Belum?

BELUM?

Berarti berencana mau balikan? Argh, batin Nana. Mukanya masam. Nasi di kerongkongannya seolah sulit untuk meluncur ke lambung.

"Biar dia benerin hatinya dulu, baru gue ajak balikan," kata Davian.

Ulu hati Nana seolah dihantam dengan batu besar, membuat apa yang ada di dalamnya terasa sakit, sekaligus sesak.

"Emang, siapa yang mutusin?" tanya Nana. Ia melirik kakaknya sekilas, lalu fokus pada piringnya lagi.

Davian memainkan sedotan di dalam gelasnya yang sudah nggak berisi. "Gue. Gue nyuruh dia merenung dulu. Siapa yang sebenernya ada di dalem hatinya."

"Dia... selingkuh?" Di sini, Nana berlagak polos nggak tahu apa-apa. Dia pengen tahu apa yang diketahui kakaknya tentang Sandra.

Davian menggeleng. "Nggak tau. Menurut sumber, sih, enggak. Mereka cuma sahabatan," ujar Davian.

Jadi, disaat gue ngira hati Sandra bercabang ke Ares, Dave ngira kalau Sandra selingkuh sama Agas?! pekik Nana dari dalam hati.

"Sandra juga nggak ngelak waktu gue tanya," lanjut Davian.

"Sumber lo siapa?"

"Ares."

Pantesan!

Namun, sekarang Nana jadi bingung. Mana yang benar? Sandra bercabang ke Ares, atau ke Agas?

Entah kenapa, tiba-tiba hatinya seakan tergores.

"Jadi, lo tau Agas?" tanya Nana.

"Siapa?"

Loh? Nggak tau?

"Agas siapa, Na?" tanya Davian.

"Sahabatnya Sandra."

Davian mengangkat alisnya. "Oh, jadi namanya Agas? Ares nggak mau ngasih tau, sih. Gue dulu cuma liat si Agas sekilas, nggak tau namanya."

"Liat dimana emang?" tanya Nana.

"Di cafe deket rumah Sandra. Mereka pelukan."

Rasanya seperti dicekik.

Ada sesuatu dalam diri Nana yang seolah nggak terima. Tapi, Nana nggak tau apa penyebabnya.

"Cabe kayak dia nggak pantes buat elo, Dave," desis Nana.

Davian mengerutkan alisnya, mata hijau gelapnya menatap manik mata Nana. "Gue beruntung punya dia," ucapnya.

Kemudian, Davian bercerita tentang awal pertemuannya dengan Sandra.

Ares & AthenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang