Bab Delapan

2.2K 273 22
                                    

Sabtu, 26 November 2016
Mugyodong Bugeokukjib, Seoul

"Terlambat lima belas menit," gumam Chris sambil melirik jam tangannya. "Oh, sial! Aku yang terlalu cepat lima belas menit."

Kedua sikunya mendarat di atas meja makan yang kosong, tangannya mengusap rambut hitamnya dengan gerutuan sebal.

Ia tidak suka menunggu. Menurut prinsip hidupnya, lebih baik ditunggu daripada menunggu.

Tapi kali ini pengecualian. Ia akan berhadapan dengan orang penting yang akan menjadi pembicara acara seminar sastra kampusnya minggu depan. Sangat penting hingga ia merasa konyol melihat dirinya sendiri. Sepatu pantofel ayahnya, celana bahan yang panas, dan kemeja rapi-tanpa kusut dan gulungan sedikit pun. Menyebalkan.

Bahkan setiap menghadiri peragaan busana untuk menemani So-Min pun, ia berpakaian apa adanya. Kecuali sandal yang ia ganti dengan sepatu kets agar terlihat lebih bermartabat. Mungkin ditambah sebuah rompi pemberian So-Min, karena kekasihnya itu tidak mau terlihat memalukan saat menggandeng pacarnya sendri.

Oh, satu lagi. Ia selalu menghindar jika ada acara seperti pesta atau pertemuan kolega bisnis ayahnya. Karena hal itu mengharuskannya tampil super rapi seperti pramusaji di restoran ini..

"Maaf, apa saya sudah bisa ambil daftar pesanannya?" Seorang pramusaji pria sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Chris, membuyarkan lamunan lelaki itu.

Mata Chris mendelik melihatnya. Pramusaji berseragam ala pedansa tahun 80an. Kemeja putih berlengan panjang, kerah menutupi setengah leher dan terkancing ketat, rompi kuning gemerlap, dan dasi kupu-kupu yang sama konyolnya dengan wajah si pemakai.

"Apa kau diwajibkan berpakaian seperti itu?" pertanyaan itu muncul tanpa sempat diproses oleh otaknya.

"Oh, ini? Tentu, ini seragam kebanggaan kami." Pramusaji itu menegakkan tubuhnya, tidak merasa terganggu dengan pertanyaan aneh Chris. "Kami memakainya setiap hari."

Setiap hari.

"Bukankah ini bagus?" Mengejutkan. Pria berdasi kupu-kupu itu mulai berputar.

"Hm? Apa?" Sebelah alis Chris terangkat. Rupanya orang ini tidak sepenuhnya pria, batinnya waspada.

"Baju ini. Bagus?"

Chris menelan ludah ngeri. "Ya, bagus."

"Baiklah.." Pramusaji itu menjejalkan tangannya ke dalam saku, mengeluarkan kertas pesanan. "Kalau anda enggan menulis, biar saya saja yang menuliskan pesanannya. Jadi apa saja yang anda inginkan?"

"Aku sedang menunggu seseorang. Biar nanti kupesan kalau dia sudah datang."

Tepat saat Chris menyelesaikan kata-katanya, seseorang menarik kursi di hadapannya dan duduk dengan tenang. Mata Chris melebar-terpaku.

Orang asing itu tanpa dosa mengangkat tangannya pada sang pramusaji, minta perhatian. Ia mulai memesan makanan. Mengucapkan menu-menu andalan restoran ini dengan sangat lancar.

Chris terlalu tenggelam dalam pemandangan aneh di depannya. Pria dengan setelan serba hitam. Celana panjang hitam, kaos hitam dilapisi jaket kulit warna serupa, setengah wajah ditutupi masker hitam yang tampak sempit, kacamata berbingkai hitam, dan topi hitam juga. Chris sampai tidak bisa menahan mulutnya menganga lebar saat melihatnya.

Cara berpakaian macam apa itu?!

"Maaf, tapi tempat itu sudah ada pemiliknya. Aku sedang menunggu seseorang," kata Chris kemudian, berusaha mempertahankan nadanya tetap tenang.

Pria itu sepertinya tidak benar-benar mendengarnya. Ia sibuk bicara dengan pramusaji.

Chris menelengkan kepala. Ia tidak menyangka dirinya sedang menghadapi pemandangan-pemandangan aneh hanya karena menunggu. Sebelum ia memperingatkan pria itu lebih lagi, dering ponselnya berbunyi.

Seoul Complex | √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang