Bab Dua Belas

1.7K 226 32
                                    

Kamis, 1 Desember 2016

From : fckinsignal
To : Me
I'M SORRY, SIR. Aku tidak bisa melupakanmu begitu saja seolah kau tidak terlibat membantuku menemukan Jae-Hyun selama ini. Aku 'pasti' akan menemukanmu. Just wait and see.

From : fckinsignal
To : Me
Hei. Aku memang tidak mengenalmu, NN. Tapi aku tahu, kau pasti punya relasi yang kuat dengan Jae-Hyun. Atau setidaknya, kau stalker orang itu. Benar kan? Jadi begini.. langsung ke point-nya saja. Sebenarnya kenapa Jae-Hyun tidak langsung mengaku pada Hye-Soo saja? ANAK ITU TERLALU MENUNDA-NUNDA WAKTU.

Siang ini, Declan termangu sendiri di depan laptopnya. Duduk di sofa menikmati kesunyian yang terbilang mahal. Ia sedang ingin sendiri, berusaha berpikir jernih, menenangkan diri, dan menganggap bahwa semuanya berjalan wajar. Sekitar sepuluh menit lamanya, ia hanya diam menatap layar laptopnya. Membaca dua pesan masuk itu berulang kali tanpa berkutik.

Tidak. Semua tidak baik-baik saja.

Tapi sampai kapan? Sampai kapan ia harus bertahan?

Declan menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Rileks. Ia hanya perlu menghadapinya seperti biasa, membuat semuanya menjadi terlihat mudah. Jemarinya mulai mengetikkan jawaban untuk pesan yang dikirim oleh fckingsignal itu. Oleh Christoper Hwang.

Ia mengetik dengan cepat dan singkat, lalu membacanya ulang dengan kedua mata bulatnya. Tak lama, ia menghapus pesan itu dan mengetik lagi. Entah kenapa setiap jawabannya tampak tidak tepat.

Nak, urusanmu sampai di sini. Jangan hubungi aku lagi. (dihapus)

Tentang itu, aku tidak tahu. Aku memang mengenalnya, namun bukan berarti aku mengenalnya secara keseluruhan. (dihapus)

Mungkin dia sudah putus asa. (dihapus)

Karena Jae-Hyun itu akan segera mati, Chris. (dihapus)

"Argh!" Declan menghempaskan kepalanya ke belakang. Napasnya memburu, jantungnya berdentam-dentam amat cepat di balik dadanya. Pikirannya kacau, sama seperti hatinya. Ia tidak dapat menganggap semua baik-baik saja sekarang. Ia tidak mampu lagi.

Siang ini begitu terik. Declan membiarkan pintu balkonnya terbuka agar cahaya matahari dapat menerangi seluruh ruangan itu. Dan untungnya, cahaya itu cukup ampuh menumbuhkan pengendalian dirinya. Ia menegakkan punggungnya, lalu memposisikan kedua tangannya di atas keyboard lagi.

Namun, sebelum ia mulai mengetik sesuatu, sebuah benda tipis dan kecil terkena pantulan sinar matahari, menarik perhatiannya. Benda itu melekat di salah satu sisi layar laptopnya. Kedua alis Declan mengernyit. Ia menatap lamat benda itu, memajukan kepalanya untuk melihat dengan jelas. Perlahan jari telunjuknya menyentuh benda itu.

"Sial," gumamnya kemudian. "Sial," ucapnya lagi dengan napas tertahan. "SIAL! SIAL! SIAL!" Kali ini ia berteriak, suaranya memenuhi setiap sudut kamarnya. Ia menghempaskan laptopnya, menutupnya kasar.

"KURANG AJAR!" Declan menendang meja di hadapannya, bangkit berdiri dengan perasaan frustrasi. Laki-laki itu mengacak rambutnya, dan mulai menendangi apa pun yang ada di hadapannya. Ranjangnya, sofa, lemari, pintu balkon, apa pun.

Declan terus berteriak seperti orang sinting. Wajahnya merah padam, rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal kuat. Ia benar-benar marah—namun kedua matanya yang berkilat-kilat itu mulai mengeluarkan air mata.

Selama beberapa saat ia terdiam, mencoba mengendalikan diri, namun rasanya nihil. Justru emosinya semakin tumbuh, sementara tubuhnya seumpama remah-remah roti yang tak berdaya sekarang. Terkapar di atas ranjang sambil memandangi langit-langit kamar.

Seoul Complex | √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang