Bab Dua Puluh Dua II

952 144 19
                                    

"Ya! Han Jin-Pyo!" Jae-Hyun tidak tahan lagi menahan kesantunannya ketika tangan kanan mendiang ayahnya itu mengunci mobil dan memblokir pergerakannya dengan seatbelt tanpa peduli gertakan tak berujungnya. "Apa-apaan kau ini?" Ia tidak bisa mengelak. Seatbelt mobil Jin-Pyo memang dilengkapi kunci dengan kode angka.

Jin-Pyo tidak menghiraukan ocehannya, mobil melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan area utama kampus Seoul University. Jae-Hyun tidak bisa menebak apa yang ada di pikiran orang tua itu. Ia menghempaskan punggungnya dan menatap kosong jalanan di hadapannya.

"Aku ingin konflik kita segera berakhir," ujar Jin-Pyo kemudian, melirik Jae-Hyun yang mendesah putus asa.

"Bisakah kita membicarakan ini lain waktu? Aku benar-benar sibuk, Jin-Pyo-ssi."

"Aku ingin menyelesaikannya sekarang."

"Jadi sifat egoismu semakin memburuk?"

"Kau tahu aku sangat menyayangimu. Aku bekerja selama bertahun-tahun untuk Mark Murphy, dan aku menganggapmu seperti anakku sendiri. Aku tidak ingin kau celaka."

"Aku tahu." Jae-Hyun memijat dahinya. Masalahnya bertambah sekarang. Dengan Jin-Pyo yang tiba-tiba 'menculik'nya, ia tidak bisa menemui Tae-Woong tepat waktu. Jae-Hyun tidak ingin ada seseorang terluka hanya karena kelalaiannya, entah ibunya atau Hye-Soo. "Aku mengerti, Jin-Pyo-ssi. Sebenarnya aku tidak benar-benar marah padamu. Itu masalah sepele. Aku hanya benci dimata-matai, seolah aku hidup sebagai seorang kriminal. Waktu itu aku tidak bisa berpikir jernih, maafkan aku."

"Kau yakin dengan perkataanmu?" lirih Jin-Pyo.

"Tentu saja." Lalu Jae-Hyun menatap orang tua itu lamat-lamat. "Jadi bisakah kita menemui Harry? Aku harus kembali."

"Tidak sekarang," gumam Jin-Pyo, mempertahankan konsenterasinya pada jalan.

"Astaga, Han Jin-Pyo." Jae-Hyun kehabisan kata-kata. "Putar balik."

Mobil Jin-Pyo melaju melewati tol pintu keluar Seoul ke arah Busan. Hal itu membuat Jae-Hyun kebingungan. "Hei, kita meninggalkan Seoul?"

"Begitulah," jawab Jin-Pyo, seolah itu hal yang wajar.

"Untuk apa? Kita mau kemana? Kau tidak bisa sembarangan membawaku, Jin-Pyo-ssi. Aku sibuk!" seru Jae-Hyun dengan nada panik.

"Busan. Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."

***

"Choryang?" Dahi Hye-Soo mengernyit dalam. Ia beralih menatap Min-Hyuk yang duduk di sampingnya, sibuk membuka headset dan mengeluarkan ponselnya. Laki-laki itu menariknya setelah acara Jae-Hyun berakhir, ia mengatakan bahwa ada hal yang benar-benar penting sehingga mereka harus segera pergi. Tanpa mengatakan alasannya, Min-Hyuk membawanya hingga ke Busan.

"Ayo, kita keluar." Min-Hyuk mengedipkan sebelah mata dengan ceria, lalu beranjak dari tempatnya.

"Ya! Untuk apa kita ke sini?" Hye-Soo berlari terbirit-birit mengikuti Min-Hyuk yang melenggang santai memasuki katedral. Bangunan itu masih tampak indah dan megah seperti pertama kali Hye-Soo melihatnya bersama Chris. Hanya saja bangunan itu lebih memesona di siang hari, dengan matahari menghujani atap katedral dengan cahaya keemasannya. Tidak seperti malam itu, siang ini tampak beberapa suster dan orang-orang yang hendak berdoa berlalu-lalang.

"Kau menungguku tendanganku, hah?" desis Hye-Soo, menarik lengan kiri Min-Hyuk dengan paksa saat mereka telah memasuki bangunan tersebut. Ia sempat melihat ke arah altar, seseorang tengah berlutut berdoa, dan beberapa orang lainnya duduk di kursi menunggu giliran "Untuk apa kita ke sini?"

"Aku menunggu seseorang, bukan menunggu tendanganmu," sahut Min-Hyuk santai. Tangan kanannya yang terbebas, menarik tangan Hye-Soo dari lengannya. "Kau perlu bicara dengannya."

Seoul Complex | √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang