Bab Tiga

3.5K 356 11
                                    

Selasa, 22 November 2016
Bandara Heathrow, London

"Nah, itu maksudku. Aku tidak mau berurusan dengan gerombolan baju hitam Dad, makanya aku meneleponmu." Pria berkacamata hitam itu santai mengendalikan kemudi dengan satu tangan, sementara tangan satunya sibuk mencari-cari saluran radio yang tepat untuk mengiringi perjalanannya.

"Kau sudah mendatangi kantor ayahmu dulu?" tanya seseorang dari ujung telepon.

Declan membenahi earphone-nya sekilas, lalu menjawab, "Tidak perlu. Appa tidak mungkin meluangkan waktunya juga."

"Baiklah, terserah saja. Aku sudah siap di Heathrow, Nak. Sampai bertemu!"

"Kau yang terbaik Harry."

Jauh di belahan dunia bagian barat, tepatnya di sebuah kota terpadat di Inggris, London. Seorang pria berusia dua puluhan melajukan mobil tak beratapnya di atas jalan aspal yang mulai sepi. Declan selalu menyukai sore hari di London. Ia dapat melihat mahasiswa-mahasiswa besepeda di lintas yang sama dengan mobil, kursi-kursi taman mulai terisi dengan manusia yang telah bebas dari pekerjaannya, dan pohon-pohon mulai berkawan dengan angin, menemani aktivitas yang ada.

Declan menarik napas panjang, menghirup udara sore Inggris terakhir untuk bulan ini. Untuk beberapa minggu ke depan, ia akan menghirup udara lain. Udara yang telah ia tinggalkan bertahun-tahun lalu sebelum ia tumbuh besar di daratan Eropa. Ia harus hidup nomaden tahunan di bawah genggaman ayahnya yang seorang pemilik imperium bisnis besar Eropa-ia harus berada di dekat ayahnya paling jauh lima kilometer. Untungnya aturan itu telah mengalami jatuh tempo saat ia menduduki bangku kuliah.

Pria hasil amalgamasi Irlandia-Korea itu tidak merasa harus sedih meninggalkan kota beraroma monarki pekat ini. Lagi pula hanya sebulan-bahkan ia ingin lebih lama lagi jika bisa. Ada sesuatu yang membuatnya tidak ingin berpikir lama untuk memutuskan datang ke Korea Selatan, tanah kelahirannya. Panggilan universitas kenamaan Korea yang katanya merelakan seperempat pendapatannya untuk memanggil seorang Declan, penulis misterius novel laris tahun ini. Mengisi sebuah seminar sastra yang bisa mengupas identitas aslinya dalam sekejap.

Declan meringis. Membuka identitas asli.

Ia menghela napas untuk kesekian kalinya, lalu menginjak pedal hingga mobilnya melesat lebih cepat.

Ia sudah lama menyadari ini. Thomas Murpy (Ia telah mengganti namanya sejak lama) memang kelewat protektif, membuatnya hampir kesulitan bergaul dan mengembangkan diri. Apartemennya yang dihiasi CCTV di setiap sudut ruangan, beberapa penyadap tersembunyi, komputernya yang terhubung langsung dengan milik ayahnya, dan Harry Jim yang hampir tidak pernah beranjak dari sisinya. Karena itu ia menuangkan pemikirannya yang terisolasi menjadi sebuah buku. Ia menulis, mengirimkan penerbit, dan akhirnya dicetak hingga ribuan kopi. Laris. Tentunya ia menggunakan nama pena. Satu lagi yang tidak diinginkan ayahnya, beliau tidak ingin anaknya begitu dikenal khalayak.

Tidak masalah. Bukan itu yang terpenting. Saat ini Declan tidak memikirkan seminar yang akan ia bawakan lusa nanti, atau identitasnya yang akan terbongkar dan memicu amarah Thomas Murphy yang menyerupai gunung meletus. Seulas senyum manis di wajahnya mengutarakan yang lain. Ia menantikan sesuatu di luar pekerjaannya-sebuah alasan lebih penting untuk pergi ke Benua Asia dengan merelakan libur panjangnya.

Mobilnya meluncur halus memasuki Heathrow Airport. Benda mikro di telinganya berdenyit-seseorang menelopon. Jari telunjuknya memijat benda itu sekilas, dan muncullah suara berat Harry Jim. "Aku sudah di Terminal A3, kau di mana?"

"Sebentar lagi sampai. Tunggu disitu." Ia mematikan ponselnya, memasukkan kembali ke saku celananya, lalu memutar kemudi ke kanan. Ia mengarahkan mobil sportnya menuju Terminal A3. Waktu seolah mengejak-ngejar pria itu. Tidak, mungkin bukan waktu. Tapi bayangan gadis yang mengitari kepalanya. Declan sangat ingin bertemu dengannya. Sangat.

Seoul Complex | √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang