7. Cowok Gitar

165 11 9
                                    

Cowok itu sukses membuat cafe berada di dimensi lain. Tak terdengar suara klakson dan kendaraan bermotor yang berebut jalan, pun tukang parkir dengan suara peluit yang memekakkan telinga. Suara indah dan petikan gitar menutup telinga semua pengunjung. Membuat kedua mata bagai lampu sorot menyinarinya penuh kagum. Membuat pipi terasa lebih hangat tersipu, meski tahu lagu itu belum tentu untuknya.

Pengunjung cafe masih terpukau meski dia sudah membungkukkan badan sambil mengucapkan terima kasih. Terdengar tepuk tangan menggantikan suara petikan gitar. Pertunjukkan telah usai, Allena masih mematung memandang cowok itu tanpa berkedip, hingga cowok itu melempar senyum padanya.

Sepertinya dia tahu aku di sini?! Duh, mengapa kebetulan sekali sih.
Allena meminum jus apukatnya sekilas, memasukkan buku dan pulpen ke dalam tas, lalu berusaha mengambil kunci motor dari saku rok abu-abunya.

Oh sial! Dimana kunci motorku?
Allena mulai mencari di kedua saku jaket merah marun yang ia kenakan. Lalu mengaduk isi tas dengan brutal. Tak juga menemukan apa yang ia cari, dituangnya isi tas ke atas meja.

Mendadak kepalanya terasa pening, jantungnya bedegup kencang, dan keringat dingin mulai bergerilya meningkatkan suhu tubuh. Allena semakin panik, hampir menangis.

"Ini yang kamu cari?" Seseorang yang dihindari Allena justru mendekat dan menghapus pening di kepalanya.

Allena mengambil kunci motor dari tangan cowok di depannya sambil tersenyum ragu.

"Oke, sama-sama. Aku menemukannya di bawah meja," ucapnya ramah.

"Ma... makasih." Ingat akan tujuannya untuk segera pergi, dimasukkannya kembali semua isi tas.

"Al, bisa bicara sebentar?"
Allena tak menjawab, kedua tangannya sibuk memasukkan beberapa buku ke dalam tas.

"Al, aku cuma...."

"Maaf, aku harus pulang." Allena berdiri beranjak meninggalkan cafe.

"Kita ngobrol sambil jalan ya."
Allena mendongak menatapnya penuh rasa enggan.
Eh? Tinggi amat ya, nih cowok.

"Aku... aku cuma mau bilang maaf dan terima kasih buat kejadian di parkiran mall waktu itu." Cowok itu tersenyum memamerkan barisan giginya, khas anak kecil yang tanpa sengaja menjatuhkan vas bunga kesayangan mamanya.

"Oh, oke," sahut Allena sambil terus melangkah menuju dimana motornya berada.

"Sebagai ucapan terima kasih aku traktir kamu makan bakso. Mau ya?"

Kedua mata Allena membulat penuh antusias. Rasa kenyang karena habis dua cupcake dan segelas jus apukat mendadak sirnah.

Saatnya pulang, Al. Pulang!.
Allena menggeleng. "Maaf. Aku harus segera pulang." Dengan tergesa diserahkannya selembar uang dua ribu ke tukang parkir, memakai helm, dan melesat pergi dengan motornya tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada cowok itu.

***

Pikiran Allena jelas pecah. Antara upaya memperbaiki nilai beberapa mata pelajaran yang di bawah nilai Bianka dan munculnya cowok aneh itu lagi.

Allena membuka akun facebook. Menulis beberapa kata di kolom 'Apa yang anda pikirkan?'.
Muncul lagi, bikin bingung lagi. Untung deh suaranya keren.

Allena menaruh ponsel di dekat bantal. Tanpa membaca status-status yang ditulis pemilik akun facebook lainnya. Pikiran Allena masih tertuju pada cowok gitar itu.

Dia mau ngomong apa sih sebenarnya ? Penasaran tapi takut juga. Kalau dia berbuat macam-macam gimana? Eemm... sebenarnya dia manis. Aku ingat hidung mancungnya. Ah! Stop Allena, stop it!.

Allena mendengar ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari Mia. Dibacanya pesan dengan perlahan. Kedua matanya berbinar, senyumnya mengembang. Di atas kasur empuk, dia melompat kegirangan.

"Oke Mia, besok sepulang sekolah kita bertemu di Perpusda," ucap Allena sambil berdiri di depan cermin. Seolah-olah bayangan di depannya adalah Mia.

"Al, ada pengamen tuh. Tolong kasih uang ya." Tiba-tiba mama muncul di ambang pintu kamar. "Oh iya, jangan lupa taruh HP kamu di atas meja rias Mama," perintah Mama dengan penekanan di bagian akhir kalimat.

Allena mendengus kesal. Dilihatnya jam digital di nakas. 19.30.

Masih setengah jam lagi.
Allena mematikan ponselnya, mengambil baterai lalu menyimpannya di tas sekolah. Dia tak ingin mama membuka-buka koleksi foto atau membaca pesan-pesan atau menjadi stalker di akun sosial media miliknya.

"Sudah, Al? Pengamen itu kok belum pergi sih." Teriak mama merasa terganggu.

Allena terkesiap, dia ingat belum memberi uang pada pengamen di depan. Allena memilih dua dari beberapa keping koin di mangkok yang selalu berada di atas lemari es. Lalu berlari cepat menuju teras. Tanpa membuka pintu pagar, diulurkan dua keping uang koin kepada pengamen.

"Alleenaaa." Panggilan lembut si pengamen memaksa Allena menoleh.

"Kamu!? Ngapain di sini?" tanya Allena agak berbisik dan kebingungan.

"Aku mau bilang maaf dan terima kasih." Dia ikut berbisik.

"Kan tadi sudah. Pergi deh, huss! Huss!" usir Allena.

"Allena alakazzaamm!" Tangan cowok itu mengayun perlahan, membuat lingkaran di udara, lalu terulur ke depan Allena dengan sebuah amplop ungu bertali di telapak tangannya. "Untukmu."

"Pergilah." Allena kembali mengusir meski sudut hatinya ingin tahu. Tanpa menoleh, Allena masuk ke rumah. Dibalik tirai jendela, diintipnya keberadaan cowok gitar itu.

Cowok gitar itu mengalungkan amplop ungu pada pagar sebelum pergi.

Dasar nekat. Maunya apa sih?.
Dengan cepat Allena kembali ke teras, mengambil amplop ungu bertali. Lalu berlari ke kamar. Ingin segera membuka amplop itu.

The Love Trap (Terbit di Penerbit Kastil Mimpi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang