18. Balas Dendam

69 9 6
                                    

Kedua mata Allena sembab, kantung mata bergelanyut di sana. Semalaman dia menangis. Setelah Mama mengomeli, dan Papa menceramahi hingga ia tak mampu berkonsentrasi dengan PR bahasa Inggris. Hati yang sedih memicu otaknya untuk menyusun rencana balas dendam terkejam.

Allena menghapus air mata yang bersiap terjun bebas ke pipi. Diusirnya kata-kata menyakitkan yang Mama dan Papa lontarkan. Rencana balas dendam yang semalam dia susun, menyeruak memenuhi otak. Senjata itu sudah duduk manis di dalam tas Allena. Siap berperang menunggu tanda dari Allena untuk melakukan penyerangan.

Jam dinding yang berada di area parkir sekolah menunjukkan pukul 05.35, terlalu pagi. Pun untuk pasukan penodong PR yang semalam malas mengerjakan. Allena sengaja berangkat sepagi ini agar misi balas dendamnya berhasil.

Allena berlari kecil menuju kelasnya. Pintu cokelat tua itu sudah terbuka lebar. Tak ada yang menyapanya kecuali keheningan kelas. Senyumnya mengembang, rasa sedih sudah pergi entah kemana. Meninggalkan rasa optimis memenangkan perang.

Dengan semangat, Allena menaruh tas di atas meja. Diambilnya beberapa spidol dan penghapus papan dari laci meja guru, lalu meletakkannya di atas meja. Ia mengambil salah satu spidol dan menarik salah satu kursi untuk ia gunakan sebagai pijakan. Allena naik ke atasnya, menulis hari, tanggal, bulan, dan tahun hari ini di bagian pojok kanan atas papan tulis.

Tugas piket kelas saat pagi hari memang hanya menulis tanggal dan hari di papan tulis, menyiapkan peralatan mengajar, dan memasang taplak meja guru. Menyapu kelas dilakukan sebelum pulang sekolah.

"Selesai!" seru Allena riang. Senyum kejahatan terlukis. Tanpa berpikir panjang diambilnya kotak makan dari dalam tas, lalu mengambil duduk di bangku barisan pertama yang terletak di dekat pintu. Bangku milik Bianka, musuh besarnya.

Senjata itu berada di kotak makannya. Aroma lezat terbang bebas memenuhi kelas saat Allena membuka kotak makannya. Sepuluh buah pancake durian warna warni membalas senyum jahatnya.

 Sepuluh buah pancake durian warna warni membalas senyum jahatnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tamat riwayatmu, Bianka," desis Allena.

Allena mengambil pancake durian warna ungu. Warna favoritnya, mengingatkannya pada amplop ungu yang pernah Arzuki beri bersama mawar merah penyek. Sebelum memasukkan ke mulut, Allena merobek pancake durian jadi dua. Warna kuning daging durian dan aroma yang memikat, membuat perut Allena melolong meski tadi sudah sarapan di rumah.

Beberapa teman mulai berdatangan, langsung terpikat dengan isi kotak makan Allena.

"Mau? Ambil aja. Aku sudah kok. Eh, tapi dipotong-potong ya biar yang lain kebagian," saran Allena pada Vega yang baru datang bersama Nuri.

"Bagi empat ya, Al? Atau dua?" tanya Vega bingung.

"Empat? Kecil amat, nggak kerasa kali! Bagi dua aja. Yang lain nggak kebagian ya biarin. Siapa cepat dia dapat." Nuri melahap sepotong pancake durian yang dibagi dua dengan Vega.

The Love Trap (Terbit di Penerbit Kastil Mimpi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang