6. Putus Asa

96 10 9
                                    

TAMAT
Allena menulis di halaman paling belakang buku tulisnya. Posisi kepalanya berbantal buku di atas meja. Tak jauh dari pulpen di genggaman. Setelah menulis huruf 'T' terakhir, Allena membawa pulpennya menari tak beraturan di atas kertas. Menghujani tulisan yang ia buat dengan tinta hitam hingga tak lagi terbaca. Puas mencoret-coret tak karuan, dibenamkan wajahnya di bawah buku matematika yang terbuka.

Kok bisa lupa rumusnya sih, soal nomor lima kan sudah aku pelajari. Soal nomor tujuh juga. Pakai acara salah hitung segala lagi. Apes, apes. Mana nilai bahasa inggris dan akuntansi di bawah nilai Bianka. Belum lagi tugas kerajinan tangan. Kok bisa bagus gitu lampu stik es krim buatannya. Aargh, benar-benar seminggu yang penuh kesialan.

Allena hampir menangis.

"Ke kantin yuk, Al," ajak Veli sambil memasukkan semua buku ke dalam tas.

"Duuh, nggak peka banget sih." Allena berkata sangat pelan dengan posisi kepala masih tertutup buku.

"Al, are you okay? Nggak usah lebay deh soal kantin. Cuekin aja. Kalau kamu bersikap biasa aja, mereka juga akan bersikap biasa aja dan ...."

Allena memotong pembicaraan Veli, "Kalau ada yang nyindir atau mengejekku gimana?"

"Cuekin Allena, cuekin. Kalau kamu nggak menanggapi, mereka juga nggak akan lanjutin ejekannya." Veli meyakinkan.

Allena mulai memikirkan kemungkinan buruk yang akan ia hadapi di kantin.

"Duh mikir apa sih? yuk ah! Otakmu butuh istirahat dan perutmu butuh makanan."

Veli menarik paksa tangan Allena hingga bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan kelas. Sepanjang perjalanan menuju kantin, Allena selalu menekuk wajah. Tak ada senyum yang tersungging, sorot matanya juga mengandung ancaman. Membuat Veli merasa geli, diam-diam dia tertawa membelakangi Allena setelah memesan dua mangkuk es bubur kacang hijau.

"Ngapain ketawa?" Allena menjitak pelan kepala Veli.

Tawa Veli pun pecah, membuat dua mangkuk es kacang hijau yang ia pegang bergoncang, isinya tumpah sedikit membasahi jemarinya.

"Tumpah tuh." Allena memberi peringatan.

"Oke, oke." Veli menarik napas panjang, lalu kembali berucap, "Kamu kenapa sih, Al? Senyum dong, senyuuumm." Veli mencubit kedua pipi Allena.

Allena menyingkirkan tangan Veli dengan lembut. "Aku lagi bete, tolong ya jangan diganggu."

Veli memberi kode 'oke' dengan tangan kanannya sebelum kembali melahap es bubur kacang hijau di hadapannya.

Ini bukan dirinya, dia merasa begitu lemah, tak punya kekuatan untuk melawan Bianka. Pun saat Bianka mulai membicarakannya, mengolok-olok dari meja sebelah.
Veli yang tidak tahan. Dia mengajak Allena pergi, menyisakan es bubur kacang hijau di mangkuknya.

Allena menurut, mengekor Veli layaknya anak ayam yang mengikuti kemana induknya pergi.

"Suaranya Bianka ganggu banget ya. Bikin telinga sakit. Gemes pengen tampar pipinya," seru Veli geram sesampainya di kelas. "Tumben diem aja?"

"Lha kan membalas dengan elegan. 'Cuekin Allena, cuekin.' Gitu kan katamu?"

"Huh, elegan ya. Sebenarnya aku masih nggak paham maksud 'membalas dengan elegan' versi kakakmu. Tapi kalau dicuekin, bisa semakin nggak tahu diri tuh Bianka." Veli semakin geram. Lupa akan sarannya pada Allena untuk menahan diri bila ada yang mengolok-oloknya.

Allena sedang tak ada keinginan membalas olok-olokan Bianka. Karena pikirannya fokus pada tiga mata pelajaran yang nilainya di bawah nilai Bianka. Dia tak ingin martabat keluarganya jatuh. Dia harus mencari cara. Secepatnya. Sebelum ada nilai-nilai mata pelajaran lain yang ikut kalah.

"Menurutmu anak paling pintar se-kelas-sebelas ini siapa?" Pertanyaan Allena yang tiba-tiba melenceng dari topik pembicaraan membuat kedua mata Veli terbelalak dan mulutnya terbuka tanpa suara.

"Tahu nggak?" ulang Allena tak peduli dengan ekspresi kaget sahabatnya.

"Emm, kelas sebelas ya. Eemm ... kalau anak IPS sih Fenda ya. Dio anak IPA juga pintar. Kalau yang jago bahasa inggris pasti Bilal anak bahasa."

Allena tersenyum simpul. Mendung di pikirannya berangsur-angsur menjauh. Dengan semangat ditunjukkan dua ibu jarinya pada Veli sebagai pujian.

"Memangnya ada apa Al?" Veli penasaran.

"Rahasia." Allena membuka buku ekonomi, menyelami setiap halamannya.

***


Duh siapa lagi ya. Nggak harus pinter banget sih, asal dia enak waktu jelasin materi pelajarannya.

Perlahan namun pasti, rasa putus asa menggerogoti hati Allena. Membuatnya enggan bertahan. Tapi bila menyerah, apa dia sudah siap dengan segala konsekuensi? Apa dia siap menjadi bulan-bulanan Bianka? Apa dia siap martabat keluarganya diinjak-injak keluarga Bianka?.
Allena bergidik, ngeri membayangkan senyum mencemooh dari keluarga Bianka.
Dengan perlahan ditariknya napas panjang untuk menenangkan diri. Dia harus bertindak cepat agar Bianka kalah.

Allena kembali fokus pada buku dan pulpen di tangan. Dicoretnya nama Winna. Dia sadar, sudah ada enam nama yang ia coret dari daftar nama siswa pintar di sekolah. Sebelumnya dia sudah mencoret nama Fenda, Dio, Bilal, juga dua siswa dari kelasnya. Mereka menolak permintaan Allena untuk menjadi guru privat.

Allena kembali dilanda kebingungan . Diminumnya jus apukat perlahan, berharap menemukan jawabannya di sana. Tiba-tiba terdengar dari pengeras suara yang menempel di setiap sudut cafe. Seperti deja vu, suara itu menghipnotisnya untuk mengesampingkan semua masalah dan hanya fokus pada suara indah miliknya.

Suara ini, lagu ini.

Allena membalikkan tubuhnya menghadap panggung kecil yang berada di bagian depan cafe. Di depan tulisan 'Oretra Cafe' cowok itu berdiri sambil membawa gitar. Menyanyikan lagu berjudul sempurna milik Andra and the backbone dengan cara yang sempurna juga.

Allena menelan ludah.

The Love Trap (Terbit di Penerbit Kastil Mimpi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang