10. Ide Gila

49 7 3
                                    

Jantung yang berdegup dua kali lebih cepat membuat tangan bergetar hebat, menyiutkan nyali Allena untuk menjalankan aksi nekat. Tapi dia tak punya pilihan lain. Hanya ini yang bisa menyelamatkannya.

Allena melirik sekali lagi tas yang ditinggalkan pemiliknya dengan keadaan terbuka. Sebuah dompet merah maroon melambai-lambai, seolah tahu masalahnya dan ingin membantu.

Allena meremas-remas kedua tangan. Pandangannya beralih ke pintu musala. Tak ada siapapun di sana, hanya semilir angin yang lewat. Ditariknya napas panjang, lalu tangannya kembali terulur ke arah dompet merah maroon.

"Al, stop! Pemiliknya datang." Arzuki yang tiba-tiba muncul menarik tangan Allena agar meninggalkan musala.
Rasa kaget yang dirasa Allena tak hanya membuat dadanya sakit, tapi juga berhasil mengerdilkan otak dan melahirkan rasa putus asa. Allena merasa pandangannya buram, pipinya basah oleh air mata.

"Gila kamu, Al! Sejak kapan jadi pencuri? Pacar yang punya tas itu lagi nungguin di depan. Badannya kekar, wajahnya sangar. Kamu bisa dicincang kalau ketahuan."

Allena tak mengubris perkataan Arzuki yang menakut-nakuti. Dalam diam dan perasaan kacau, Allena mengekor kemana pun Arzuki pergi.

"Al, kenapa kamu lakuin itu?" tanya Arzuki ketika mereka tiba di sisi gedung perpustakaan, dekat dengan area parkir sepeda dan motor.

Allena masih terisak.

"Kenapa nangis?"

Allena pergi menuju motornya, meninggalkan Arzuki yang kebingungan.

"Al! Al! Tunggu, ayo ikut aku."

***

"Jadi di ruang BP nggak ada penyelesaian? Guru-guru tetap nyalahin kamu?"

Allena mengangguk pasrah

"Aku curiga, jangan-jangan Bianka pelakunya. PR besar nih buat cari bukti. Di kelasmu nggak ada sisi tv ya?" Arzuki memainkan sendok dari gelas yang isinya sudah ia tenggak habis.

Allena menggeleng lemah, "Udah deh, nggak perlu cari barang bukti. Namaku udah telanjur hancur, satu sekolah udah menganggapku pencuri. Toh aku juga udah bilang ke guru BP kalau mau tanggungjawab, ganti semua uang yang hilang."

"Kamu memang selemah ini ya?" tanya Arzuki kecewa karena Allena tak mau berusaha mencari jalan untuk menunjukkan bahwa bukan dia pelakunya, bahwa ada yang memfitnahnya.

"Terserah kamu bilang apa, aku nggak peduli. Aku mengalah ya, bukan kalah. Aku mengalah karena itu uang kas kelas. Uang yang dipakai buat kebutuhan kelas. Seperti jenguk kalau ada yang sakit, lomba, juga beli keperluan kelas. Kalau aku menolak buat bertanggungjawab, terus ada temen yang sakit gimana? Mau dikasih apa temenku itu? Singkong goreng? Meski dikit, uang kan lumayan bisa membantu buat beli obat," ucap Allena panjang lebar.

Arzuki terbahak sambil mengucap kata 'singkong goreng' berulang kali. "Jadi, kamu  mencuri karena ingin membuktikan  kalau kamu memang pencuri?”

"Aku terpaksa, Ar... zu... ki... nama panggilanmu siapa sih?"
Arzuki nyengir kuda, "Uki, kayak personelnya Noah."

"Tabunganku cuma lima ratus ribu, sisanya nggak tahu dapat dari mana. Aku nggak mau orangtuaku tahu."

"Aku bisa bantu, tapi ada syaratnya. Paling lambat, sebulan lebih dua minggu kamu bisa kumpulin uang sebanyak lima ratus ribu. Gimana? Mau?"

Penawaran dari Arzuki sangat menggoda, tapi Allena ragu. Dia belum lama mengenal Arzuki. Bagaimana jika dia berbohong.

"Kamu ragu ya? Ini pekerjaan halal kok, Al." Arzuki seperti bisa membaca pikiran Allena. "Oke, kalau kamu ragu, bawa uang ini. Besok sepulang sekolah temui aku di Perpusda lagi ya." Arzuki menyerahkan tiga lembar uang pecahan seratus ribu.

Allena melirik tiga lembar kertas berwarna merah sambil menelan ludah, "Aku pikir-pikir dulu deh, Ki. Aku...."

"Taruh ini di dompet. Entar malam pikir benar-benar, sekalian sholat istikharah," potong Arzuki seraya tersenyum memamerkan dua lesung pipitnya. Lalu beranjak membayar dua gelas es yang habis tak tersisa. "Es degan dua, berapa Bu?"

***

The Love Trap (Terbit di Penerbit Kastil Mimpi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang