12. Pengakuan Vega

52 9 4
                                    

Kedua mata Allena terasa panas, ujung matanya basah saat bibir tipisnya menyebut angka '700.000'. Ditariknya napas dalam-dalam. Jemarinya menghapus tetesan bening di ujung mata lalu kembali menghitung lembaran merah dan biru yang sudah dihitungnya dua kali. Allena masih tak percaya, hanya dalam waktu tiga minggu dia sudah berhasil mengumpulkan uang sebanyak 700.000 rupiah. Sesuai dugaan Arzuki.

Ini hasil kerja keras Arzuki, tugasnya hanya menonton. Tapi Arzuki memberinya sebanyak ini. Arzuki memang terlalu baik hati. Setiap usai menemani Arzuki menyanyi di kafe, rumah makan, dan sesekali membuat konser terbuka di taman kota yang berujung diusir penjaga keamanan. Arzuki selalu memberi bayaran antara 100.000-200.000 rupiah. Pernah satu kali Arzuki memberinya 300.000 rupiah, namun Allena menolak. Allena merasa jumlahnya terlalu banyak, ia tak mau Arzuki jatuh miskin gara-gara membayar Allena.

Allena: Ki, uangnya udah terkumpul 700ribu, horeee... Alhamdulillah. Tengkyu ya udah bantu. Jadi aku cuma tambahin 300ribu aja.

Allena mengirim pesan kepada Arzuki melalui ponselnya. Sambil menunggu balasan dari Arzuki, Allena memasukkan uang ke dalam amplop putih.

Ponsel Allena bergetar, ada pesan dari Arzuki.
Arzuki: Alhamdulillah, jadi besok bisa kamu serahin uang itu ke Vega.
Allena: Iya. Eemm... sekalian aku mau resign nih.
Arzuki: ???
Allena: Aku mau mengundurkan diri. Kerja bareng kamu bikin jadwal tidur dan belajarku kacau. Aku nggak mau nilaiku kalah dari Bianka.

Setelah 20 menit Arzuki baru membalas pesan.
Arzuki: OK
Allena: Tengkyu ya, Ki. Udah bantu banget
Arzuki: Sama2
Allena: Ki, kamu marah ya? Singkat amat balesnya
Arzuki: Kuliah, dosennya killer
Allena: Oh! Maaf, hehehe

***

Allena memastikan uang satu juta di saku rok abu-abunya aman. Dengan langkah penuh percaya diri dan tidak terburu-buru, didekatinya Vega yang tengah berbincang dengan Sarah, teman sebangkunya.
"Hai Ve, maaf ya baru bisa bayar sekarang." Perkataan Allena hanya dibalas tatapan saling pandang kebingungan antara Vega dan Sarah.

"Itu lho, uang kas yang dihutang sama pencuri gaib kelas ini." Allena menaruh lembaran merah dan biru di atas meja, tepat di dekat jemari Vega. "Hitung dulu, siapa tahu uangnya kurang."

Vega menghitung dua kali uang di depannya, "Iya, bener kok. Makasih."

"Hati-hati ya bawanya, jangan sampai pencuri gaib itu mengambilnya lagi."

Vega hanya mengangguk lalu memasukkan uang ke dalam dompet yang ia ambil dari tas sekolahnya.

Allena bertahan sebentar, mengamati gerak-gerik Vega yang menurutnya tak biasa. Tak sedikitpun Vega mengangkat wajahnya membalas tatapan Allena. Tingkah lakunya pun seperti orang yang gugup, bingung, dan khawatir. Seperti maling jemuran yang tertangkap basah saat melakukan aksinya. Vega berulangkali memeriksa tas, laci meja, tempat pensil, menggaruk bagian belakang kepalanya sekilas, mengamati entah apa di bawah meja, lalu kembali mengaduk-aduk tas, mengambil pulpen dari tempat pensil lalu diletakkan di laci meja, menggaruk kepala lagi, kemudian memutar tubuh ke arah Sarah mencari sesuatu di balik tubuh teman sebangkunya itu.
"Kamu cari ...."
"Al, ayo!" Panggilan Veli dari depan pintu kelas yang ingin bergegas ke kantin, memaksa Allena untuk mengurungkan niatnya menginterogasi Vega.
Masih dengan tanda tanya dan kecurigaan yang besar, Allena meninggalkan Vega.

***

Adzan magrib baru saja berkumandang. Mama mengakhiri perang bantal antara Allena dan Alvano, adiknya. Mama merampas paksa bantal di tangan Alvano. Padahal Alva tengah di posisi kuda-kuda bersiap melempar bantal.

"Jurus bantal terbaaang!" tukas Alva sambil mengangkat tinggi bantal di tangannya.

Allena meringkuk di balik sofa, sambil berusaha mengambil bantal yang lain di bawah meja.

"Magrib, magrib. Ayo Dek ke masjid. Allena, bereskan semua bantal-bantal itu."

Allena mendengus, bibirnya mengerucut. Dengan perasaan kesal, Allena mengembalikan semua bantal ke atas sofa. Tiba-tiba terdengar suara seseorang mengucap salam dari  luar pagar, diiringi suara besi yang terantuk.

Magrib begini ada tamu? Nggak tahu sopan santun banget sih.
Allena mengintip sekilas dari jendela. Terlihat seseorang dengan ransel kuning menyala berdiri di depan pagar.

"Waalaikumsalam," sahut Allena sambil terus melangkah menuju pagar.

"Al, sorry ya bertamu magrib gini."

"Masuk, yuk." Allena melempar pandangan kebingungan setelah tahu bahwa Vega yang bertamu di waktu yang tidak tepat. "Sendiri?"

"Bareng Dirman, dia lagi ke masjid." Vega mengikuti langkah Allena memasuki rumah. "Emm, kalau kamu mau salat, salat dulu aja. Aku lagi berhalangan.

Setelah berpamitan, Allena meninggalkan Vega dengan tanda tanya besar.

***

"Ini uangmu, aku kembalikan." Vega menaruh amplop putih di atas meja, kepalanya menunduk dalam. "Maaf, aku benar-benar nggak bermaksud menjadikanmu bahan omongan di sekolah. Aku... kalau kamu mau, aku bisa membuat pernyataan saat upacara hari senin. Aku akan bilang kalau kamu bukan pencuri, aku saja yang teledor menyimpan uang itu."

Allena terbelalak, dia masih bingung. "Tunggu, tunggu ini maksudnya gimana sih, Ve? Aku nggak ngerti."

"Dari awal, uang kas itu nggak hilang Al. Aku yang simpan. Dompet itu juga aku yang taruh di lokermu. Aku...."
"Maksudmu, kamu fitnah aku? Kamu yang bikin namaku jelek di sekolah?" Allena merasa kepalanya mendidih.

"Tapi ini bukan mauku, Al. Aku nggak nyangka bakal berdampak sebesar ini. Aku benar-benar...."

"Ngomong aja sejujurnya, Ve. Nggak usah ditutup-tutupi. Nggak perlu juga kamu belain orang yang salah." Dirman memotong pembicaraan Vega. Membuat Allena semakin bingung.

Vega menarik napas sebentar lalu berucap, "Bianka menyuruhku menaruh dompet di lokermu, Al. Selasa sore setelah ekskul menari, Bianka mendatangiku di aula. Dia memaksaku menuruti kemauannya. Bila tidak, dia dan gengnya akan menyakitiku."

"Uang satu juta itu, dibagi dua. Lima ratus untukku, lima ratus untuk Bianka. Aku menyesal, aku kepikiran terus, apalagi saat seisi sekolah mulai membicarakan dan menjelekkanmu. Aku mengaku pada orangtuaku, mereka memintaku agar mengembalikan uangmu."

Allena terhenyak, tak percaya Bianka melakukan hal sekejam itu. "Gimana caramu memasukkan dompet itu ke lokerku? Lokerku selalu terkunci."

"Tiga hari berturut-turut, kamu nggak mengunci loker dengan benar, Al. Dua hari sebelumnya, Bianka selalu mengecek lokermu sebelum pulang. Dia mendapati dalam posisi nggak terkunci. Hari ketiga pun sama, lagi-lagi nggak terkunci. Bianka langsung memaksaku untuk menaruh dompet di dalam kantong sepatu kets-mu, lalu hari rabu saat jam istirahat aku mengaku kalau ada yang mencuri dompetku," ucap Vega panjang lebar.

"Awas ya Bianka. Biar aku minta uang 500.000 yang dia bawa." Allena mengepalkan tinjunya.

"Nggak perlu, Al. Aku udah mengikhlaskannya kok. Udah diganti juga sama orangtuaku. Biarin lah yang dibawa Bianka. Emm... tolong jangan bilang Bianka ya, aku takut dia menyerangku," pinta Vega sambil menyentuh tangan Allena.

Allena mendengus kesal, memaklumi sikap Vega yang ketakutan. Namun bukan berarti Bianka bebas menikmati uang itu. Dia akan membalas, pembalasan yang membuat Bianka menyesal.

================================
Hai... hai...
Aku datang lagi, alhamdulillah nggak ngaret😊

Semoga suka dan betah nungguin update chapter berikutnya ya...

The Love Trap (Terbit di Penerbit Kastil Mimpi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang