20. Madakaripura (2)

48 6 9
                                    

(Tolong dibaca ulang ya, readers... Ada perubahan cerita. Semoga lebih nyaman bacanya ya, makasih.)

Allena sadar, tatapan dan senyum lebar Arzuki itu petanda baik. Ia pun membuktikannya, "Udah sampai ya?"

"Hampir, Al. Tapi tunggu, karena banyak yang beda, aku jadi bingung," ucap Arzuki lalu tertawa renyah. "Oh ya, kalau mau ke toilet, di situ ada tuh. Kamu tunggu di sini bentar ya, aku tanya-tanya dulu."

Allena memilih duduk di sebuah warung kecil yang tutup. Ada bangku panjang lengkap dengan meja kayu di sana. Diambilnya botol minuman dari tas. Sambil membasahi kerongkongan, kedua matanya mengamati beberapa orang yang lewat di depannya.

Lumayan ramai juga ya pengunjungnya, padahal tempatnya jauh gini.

Allena bangkit dari duduknya, berniat menghampiri Arzuki. Di sebelah toko yang tutup terdapat tempat penitipan tas, di sana terdapat loker yang terbuat dari kayu. Ada beberapa penjual jas hujan, salah satu dari mereka mendekati Allena dan menawarinya. Allena menolak dengan sopan, namun abang penjual jas hujan tak mau pergi, justru semakin mengeluarkan jurus marketingnya.

"Biar nggak basah, Mbak. Di sana air terjunnya deras lho. Semua orang yang mau ke sana juga pakai kok. Murah, cuma sepuluh ribu."

Allena melempar senyum. Dia tidak mau sembarangan membeli tanpa Arzuki. "Maaf Pak, saya sama teman. Nanti saja, nunggu teman saya."

"Al... woi, Al! Allena! Al!"

Allena menoleh ke arah suara. Arzuki berdiri di depan orang-orang yang sedang duduk di dekat tempat penitipan barang. Dengan langkah cepat, Allena menghampiri Arzuki.

"Ngapain aja sih? Dipanggilin dari tadi nggak sadar-sadar," protes Arzuki.

"Itu ada yang nawarin jas hujan." Allena berkata agak keras. Dia baru sadar bila ada suara gemuruh air yang mengacaukan pendengarannya, "Udah sampai ya, Ki?"

"Hampir. Kita titipin tas di situ, bawa hp sama dompet aja. Taruh sini dompet sama hp kamu, biar nggak kena air." Arzuki mengeluarkan tas kecil yang terbuat dari bahan anti air dari dalam ranselnya. Dia memasukkan jam tangan, hp, dan dompet ke dalam tas kecil, lalu berlari menuju tempat penitipan untuk menitipkan ransel miliknya dan Allena.

Allena kembali memandang berkeliling. Sepertinya air terjun itu memang sudah dekat. Allena tak hanya mendengar suara air jatuh, tapi juga suara ramai pengunjung. Tak semua orang yang datang ke sini ingin melihat air terjun, karena banyak orang yang hanya duduk bersama sambil berbincang. Allena merasa kalah 0:1 dengan Arzuki. Mau tak mau Allena harus mengakui, bila sebuah perjalanan memang yang dinikmati perjalanannya, tujuan akhir hanya bonus.

"Pakai ini, Al. Tapi nggak jamin keluar dari air terjun tetep kering ya. Bahannya tipis gini." Arzuki menyerahkan jas hujan warna merah.

"Tau gitu bawa jas hujan sendiri."Allena membolak-balik jas hujan, tampak enggan mengenakannya.

"Jas hujanmu berat, bikin kamu susah jalan di sungai. Kecuali kamu punya jaket parasit kayak bule itu, tuh. Baru sip." Arzuki menunjuk dua orang wisatawan asing yang mengenakan jaket dengan bahan anti air yang baru saja lewat.

"Udah, cepetan pakai. Perjalanan masih panjang, mau pulang lepas isya?" desak Arzuki sambil mengenakan jas hujannya.

"Katanya udah dekat, kok perjalanan masih panjang aja dari tadi." Allena mendorong bahu Arzuki dengan geram.

Arzuki cengengesan, memamerkan barisan gigi putihnya. "Udah pakai aja. Meski tembus air, kan nggak tembus pandang. Jadi bisa menjaga mata...."

"Maksudnya apa tuh?!" Allena memukul bahu Arzuki berulang kali dengan jas hujan.

The Love Trap (Terbit di Penerbit Kastil Mimpi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang