8b. Mawar Ayu

42 6 3
                                    

Wirya mengunduh salah satu foto gadis seusia SMA. Gadis yang biasa saja, dengan poni dan rambut diikat pita polkadot di puncak kepala. Gaya fotonya pun biasa saja, pandangan lurus ke depan dengan senyum tipis. Foto yang sudah diunduh, ia edit dengan aplikasi edit foto yang tersedia di ponsel. Mengatur penampakan foto agar lebih gelap, penambahan efek bintik-bintik seperti layar TV tanpa antena, juga mengubahnya menjadi gambar karikatur.

"Sempurna!" Wirya bersorak lirih, mengagumi hasil akhir foto. Meski buram, namun masih bisa terlihat bahwa itu foto seorang gadis. Wirya mengisap rokok yang bermandi asap di atas asbak kayu. Dengan semangat, ia membuat akun facebook dengan nama 'Mawar Ayu'. Nama yang dia ambil dari pemilik foto dan kakak perempuannya.

Ini pasti berhasil, Mbak. Pasti!

Wirya mengetik nama 'Allena Nailazaara' di kolom pencarian facebook. Setelah meng-klik logo 'Tambahkan Teman', ia menyelami siapa diri Allena dari dinding akun facebook-nya.

"Dasar anak jaman now, bentar-bentar update status, mana status isinya galau melulu. Ini sehari update status sampai sepuluh kali?! Ckckck," komentar Wirya hampir berbisik.

Wirya menghentikan ibu jarinya saat melihat Allena menunjukkan di mana alamat rumahnya yang tersambung dengan google map. "Eh, busyet! Dia sebarin alamat rumahnya juga? Ini anak sinting juga ternyata."

Wirya menelusuri dimana rumah Allena. Ternyata tak terlalu jauh dari sekolahnya. Wirya tersenyum simpul. Ibu jarinya kembali bergerak, menunjuk status-status yang pernah ditulis Allena. Dan secara tersirat status-status itu mengungkapkan bagaimana isi hatinya kala itu. Ibu jari Wirya berhenti saat menemukan satu status yang mendapat komentar lebih dari seratus. Rasa penasaran yang membuncah menggerakkan ibu jarinya untuk mengetuk kolom komentar.

"Hemm, kayaknya musuhan banget nih mereka." Wirya tergoda untuk mengetuk nama 'Bianka Divya', seseorang yang mati-matian mendebat Allena di facebook.

Wirya harus mengakui gadis berambut bergelombang ini memang cantik, meski wajah judes antagonisnya yang paling terpancar. Dinding halaman facebook-nya tak jauh berbeda dengan Allena yang berisi curhatan, hujatan, dan pemameran. Bila Allena hanya memamerkan nilai-nilai ulangan di atas 80, Bianka lebih dari itu. Bianka memamerkan barang-barang baru, tumpukan buku, tempat-tempat yang terlihat seru, screenshoot perbincangannya dengan penulis-penulis hebat, foto layar laptop yang penuh tulisan, dan masih banyak hal lain yang tujuannya untuk menyombongkan diri.

Jadi bingung, pilih Allena atau Bianka ya? Meski Bianka nggak update sepuluh status tiap hari, tapi dia setiap hari update status tuh. Jadi, nggak susah juga memantau dia.

Di tengah pergumulan batinnya, tiba-tiba sebuah pesan masuk. Menyadarkannya untuk berganti peran menjadi seseorang dengan misi penuh dosa.

Komandan: Sidoarjo - Perpusda

Wirya mengernyit sesaat, tak percaya dengan lokasi pengiriman paket. Eh serius nih? Kayak nggak ada tempat lain aja.

Setelah membalas pesan, Wirya mencari lokasi melalui aplikasi peta di gawai canggihnya. Sambil mematikan rokok, ia mengusir pikiran-pikiran yang masih sibuk memilih antara Allena atau Bianka.

***

Andai tak ada barisan mobil yang diparkir di sisi sepanjang trotoar, jalan yang dilalui Wirya ini pasti terlihat lebih luas. Dua ruas jalan tak bisa digunakan maksimal, karena hanya menyisakan bagian tengah yang hanya mampu dilewati satu mobil saja. Suara peluit tukang parkir memekakkan telinga, memandu kendaraan yang berupaya terbebas dari kemacetan. Wirya berdecak kagum saat disambut barisan motor yang memenuhi halaman Perpusda.

Woow! Pengunjung Perpusda banyak juga ternyata. Jangan-jangan lagi ada acara di dalam.

Setelah menerima kartu nomor parkir, Wirya berjalan memasuki koridor sambil mengeluarkan HP. Ada pesan dari Komandan.

Komandan: Masukan paketnya ke saku, taruh tas di jok. Kalo ada yang nggak beres, cepetan lari.
Komandan: Iki ngunu wong anyar, perasaanku nggak enak.
Wirya: Oke, kode?
Komandan: 775. Rak buku fiksi. Cewek 30 tahun, rambut ikat belakang, baju setelan abu-abu. Dia cari buku 'Edensor' penulisnya Andrea Hirata.
Wirya: Siap.

Wirya berjalan kembali ke motor sambil memindahkan paket seukuran kotak cincin dari tas ke saku kiri celananya. Panca inderanya lebih awas saat teringat perkataan dari Komandan yang menyampaikan bahwa, pemesan dan penerima paket merupakan orang baru, dan Komandan merasa perasaannya tak enak.

Ah! Resiko pekerjaan haram.

Wirya melihat sekilas beberapa ruangan di lantai bawah. Sepi gini, di atas kali ya ramenya. Ia mengarahkan kaki menaiki tangga menuju lantai dua, sambil sesekali memandang ke arah pintu samping perpusda yang terbuka lebar. Di seberang jalan pintu samping, terdapat warung tenda yang berjajar.

Hemm, ada jalan lain.

Pintu menjerit tertahan saat Wirya membukanya. Sepasang mata di belakang meja resepsionis menyambut tak ramah. Tangannya terjulur memberi kode untuk mengisi buku hadir. Wirya menulis asal-asalan, lalu mencari rak novel.

Kok sepi gini, lha yang parkir motor sebanyak itu pada kemana semua.

Wirya menggaruk bagian samping kepala sambil menyapu ruangan dengan kedua matanya. Dia harus membaca gerak-gerik setiap orang yang berada di ruangan ini. Kedua kakinya melangkah santai menuju rak yang berbaris dengan buku-buku yang tertata rapi. Tak susah mencari rak bertuliskan 'novel'. Kedua tangannya mulai mencari buku yang dimaksud Komandan, dan menyiagakan kedua telinga untuk menangkap sekecil apa pun suara. Jemarinya berhenti di ujung sebuah buku berwarna hitam. Di sampul depan terdapat gambar seorang lelaki yang tengah duduk di dekat lampu bertiang tinggi.

"Edensor ... Andrea Hirata," gumam Wirya.

Wirya membuka halaman pertama buku tapi tak ada niat untuk membacanya. Kedua telinganya menangkap suara kursi yang digeser, lalu derap langkah kaki bersepatu hak tinggi mencuri perhatian, terlebih-lebih saat suara itu semakin mendekatinya.

"Paket 'Edensor' ya?" Seorang perempuan berdiri di samping Wirya. Jaraknya tak lebih dari setengah meter, ia mengenakan setelan abu-abu.

"Kode?"

"775."

Wirya meletakkan paket di rak, diantara buku-buku yang berjarak. Ia pun segera membalikkan badan, berniat meninggalkan ruangan. Saat berada di depan meja resepsionis, ia merasa ada yang sedang memperhatikannya. Pria berbadan kekar tampak berdiri sambil menutup koran, pandangan mereka sempat bertemu sedetik, meski begitu Wirya sadar bila pandangan itu sebuah ancaman.

Derit pintu yang dibuka Wirya seolah memperingatkan untuk segera berlari. Kedua kakinya menuruni tangga dengan cepat, lalu melompat melewati pegangan tangga di ketinggian satu meter dari anak tangga terakhir. Seorang lelaki yang berdiri di koridor berlari ke arahnya. Dengan sigap Wirya melontarkan tendangan kaki kirinya, lalu berlari kencang melewati pintu samping.

Sialan!

Wirya berlari cepat melewati deretan warung, lalu berbelok mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Jalanan ramai, banyak orang dan mobil berlalu lalang. Tak ada satu tempat pun, bersembunyi di belakang barisan mobil juga bukan pilihan yang tepat. Ia berbelok lagi menuju jalan raya, lalu masuk ke dalam bank. Meminta nomor antrian untuk pelayanan customer service kepada satpam. Plan B!

"Toiletnya di mana ya, Pak?"

Di dalam toilet, Wirya menghubungi Komandan, memberitahu keadaannya. Setelah menutup telepon, ia melepas kemeja kotak-kotak dan kaos hitamnya. Bila sebelumnya ia mengenakan kaos hitam di bawah kemeja kotak-kotak merah, kini posisinya ia balik. Kemeja kotak-kotak ia kenakan dulu, baru kaos hitam. Tak lupa ia keluarkan kerah kemeja melewati kerah kaos hitam, juga kaca mata berbingkai tebal dan bundar yang ia ambil dari saku celana.

Ponsel Wirya bergetar, tanda ada pesan yang masuk. Pesan dari Komandan yang memerintahkannya untuk pergi ke Pom Bensin. Ia akan dijemput di sana. Dengan penuh percaya diri, Wirya meninggalkan toilet.

The Love Trap (Terbit di Penerbit Kastil Mimpi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang