Kisah Mahmud dan Anak Gadisnya

178 6 0
                                    

"Selamat sore, Bu. Silakan duduk!" sapaku pada seorang 'mahmud' cantik yang menjadi penumpangku sore ini. 'Mama muda' itu tidak menjawab sapaku. Hanya sedikit menaikkan kedua pipi merahnya ke atas membentuk senyuman sosial. Terpaksa demi tuntutan kemanusiaan. Tak apalah. Alhamdulillah. Tetap harus bersyukur. Wanita muda ini adalah penumpang kelima yang kusopiri hari ini. Dari kaca spion kulihat ia sibuk meminta gadis cilik lucu itu untuk menggeser posisi duduknya.

"Agak sanaan duduknya! Mama kesempitan, tau!" pintanya pada gadis kecil imut dan lucu itu. Aku yakin, mereka adalah pasangan mama dan anak yang kompak. Kutahu dari cara mereka berpakaian. Semua memakai warna baju yang sama: pinky! Namun, mengapa sang mama bicara ketus begitu ya? Lalu, mereka asyik dan sibuk dengan telepon selulernya masing-masing. Tak lama kemudian,

"Mama, kita mau ke mana, sih...?" rajuk sang anak pada mamanya sambil tetap memonitor jalannya game di layar HP.

"Sudah diam saja! Jangan banyak tanya!" jawab sang mama makin ketus. Mereka terdiam. Hening, kecuali suara sang anak yang menyedot ingusnya beberapa kali. Pilekkah atau menangiskah? Entahlah. Yang pasti suasana menjadi sedikit tegang.

Beberapa kali kulirik dari spion dalam mobilku pemandangan wajah cemberut mahmud yang sebenarnya tampak nyaman untuk dipandang. Namun, wajah muram durjanya telah menyembunyikan kecantikannya. Akhirnya, kufokuskan perhatianku pada spidometer yang jarumnya mulai melemah. Lemah. Seperti mahmud yang saat ini tampak lemah jiwanya. Sesekali kulihat pandangan matanya kosong. Hampa.

"Mas, tolong pelan-pelan jalannya! Rumahnya hampir dekat," pinta mahmud. Kali ini dengan nada ramah. Belum kujawab permintaannya, ia tambah bertanya, "Kadar kaca mobil ini gelap, 'kan?"

"Hmm... ya ya ya... gelap!" komentarku sambil bertanya-tanya dalam hati, mengapa perempuan langsing ini bertanya tentang kadar kepekatan kaca mobilku.

"Mas... Mas... Mas... tolong balik lagi!" pintanya tiba-tiba. "Cepet! Cepet! Cepet, Mas!" pintanya lagi dengan tak sabar sambil kepalanya memandang satu rumah mungil.

"Siap, Bu. Segera saya akan putar balik!" jawabku meyakinkannya.

"Lihat, itu mobil Papamu! Pokoknya sekarang kita harus turun dan temui Papamu! Biar tau rasa dia!" nada suaranya meninggi dan bergetar.

"Mas, stop!" teriaknya membuatku terkaget-kaget. Suara tingginya makin naik dibanding ketika ia perintahkan diriku untuk menghentikan laju mobil.

"Baik, Bu. Silakan!" kataku tetap ramah. Meski sebenarnya sedikit mangkel. Mobil, mobil gua, tapi terkadang penumpang bersikap seenaknya. Batinku menggerutu.

"Mas, sebentar ya, tolong tunggu dulu. Saya hanya sebentar kok! Nanti saya pulangnya sama Masnya lagi ya! Oh ya, saya gak perlu pesan via aplikasi lagi 'kan?" pintanya sambil mengangkat kedua tangannya dalam posisi menyembah cepat-cepat.

"Baik, Bu. Ya, tidak usah. Saya akan menunggu!" kataku tetap mempertahankan nada suara ramah sambil membulatkan jari jempol dan telunjuk.

Secepat kilat ia menarik tangan anaknya dan sedikit terseret turun dari mobil menuju halaman rumah kecil semacam kontrakan atau rumah petak, tapi di bagian depan rumah sederhana itu terparkir Mercedes Bens C-Class.

Entah apa yang terjadi. Dari spion dalam mobil kulihat wanita yang sedang menggelora jiwanya itu menggedor-gedor pintu agak memaksa. Tak lama kemudian, keluarlah seorang wanita yang sama mudanya, sama cantiknya, tetapi dengan baju yang minimalis. Tak tampak ada komunikasi, mahmud beserta anak gadisnya tampak menyelonong dan menerobos pertahanan lengan putih pemilik rumah yang sedang menghadangnya.

Sepuluh menit kemudian, mahmud yang kini berwajah merah penuh amarah kembali masuk ke dalam mobilku sembari memaki-maki anaknya,

"Tuh lihat, kelakuan Papamu itu! Memang brengsek! Kamu mau punya Papa kayak gitu? Kamu mau punya mama baru? Kamu mau punya mama lagi kaya perempuan tak tau diri itu?" suara kemarahan yang diiringi nada getar, basah, dan akhirnya dari spion kulihat genangan air di matanya pecah. Buliran air matanya hinggap di pipi yang tidak seputih saat pertama masuk ke mobilku. Riasannya luntur oleh buliran yang tak henti-hentinya mengalir. Ingin rasanya aku tidak hanya melirik ke arah spion, tetapi juga menengok ke belakang, melihat, dan memastikan dugaan kondisi wanita itu. Apa yang terjadi dan mengapa semua ini terjadi. Namun, aku hanya bisa diam. Membisu.

SPIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang