Ibumu, Roh Jiwamu

33 2 2
                                    

"Ditto, kamu harus membiasakan salat duha setiap hari. Itu yang akan membuka pintu rezeki bagi hidup dan kehidupanmu," nasihat Ibu setiap kali meneleponku. Aku selalu mengingat pesan itu. Dan alhamdulillah, insyaallah selalu kutunaikan ibadah salat di waktu antara pagi dan siang itu. Pun jika sedang bekerja. Beberapa kali aku izin kepada penumpang untuk mampir sebentar ke musala atau masjid yang dilewati. Kalau pun tiba-tiba ada yang memesan mobilku dan bertepatan dengan waktu salat, aku lebih memilih tidak menerimanya, bukannya menolak rezeki, melainkan karena aku takut sama Allah dan selalu ingat pesan Ibu, wanita yang pernah tersakiti lelaki yang harusnya kupanggil Ayah dengan bangga, wanita hebat yang telah melahirkanku. Atau jika harus menerima, terlebih dulu, aku akan minta izin untuk melakukan salat duha.
Pagi ini, baru saja kuantarkan penumpang ke Bandara Soekarno Hatta. Penumpang wanita setengah baya ini akan pergi ke Bali. Beryukur, belum lima menit wanita baik itu turun, aplikasi taksi aplikasi di handphone berbunyi. Ada pesanan dari penumpang bernama Maya. Kutelepon calon penumpangku,
"Selamat pagi, dengan Ibu Maya?" sapaku padanya dengan hati-hati.
"Ya, betul, Dik. Saya ada di Terminal 2A Pintu Kedatangan. Tolong jemput ya!" pintanya.
"Ibu, mohon maaf, saya bersedia menjemput, tapi boleh saya izin sebentar, saya akan mampir ke musala dulu," izinku padanya.
"Oh..., hmm..,. ya ya ya... boleh... boleh...!" tampak ragu pada awalnya, tetapi akhirnya ia mengizinkanku untuk berkunjung ke rumah Allah.
Dua puluh menit kemudian, Ibu Maya dan temannya pun sudah berada di jok belakang. Duduk manis. Komentar pertamanya adalah tentang perizinanku tadi.
"Wah, Bunda bangga melihat anak muda seperti kamu yang masih tetap memelihara waktu salatnya. Hebat!" pujinya.
"Terima kasih, Bunda! Saya selalu ingin membahagiakan Ibu saya. Perintah selalu menjalankan salat duha itu selalu disampaikan bolak-balik oleh Ibuku," jawabku dengan ikut-ikutan memanggil sapaan Bunda.
"Wah, bangga dan bahagia sekali ayahmu memiliki Ibu dan anak yang hebat ini!" pujinya yang justru menohok hati yang terdalam. Hmm.... Ayah yang bangga dan bahagia karena memilikiku dan Ibu!! Sungguh ironis! Segera kuhapus kilatan peristiwa yang baru saja menyambar kulitku! Eh, bukan, lebih tepatnya menusuk kulit dan menembusnya ke dalam aliran darahku.
Dari Bandara Soeta, sesuai permintaannya kuantarkan Bunda-Bunda baik hati ini ke sebuah hotel di sekitar daerah Tomang. Bunda Maya seorang wanita berjilbab. Kira-kira berusia 50 tahun. Di sampingnya, hmm... siapa namanya, maaf belum sempat berkenalan, seorang wanita juga, temennya Bunda Maya, lebih muda, mungkin berusia 40-45 tahun.
Sepanjang perjalanan yang macet karena berbarengan dengan jam berangkat kerja, aku berusaha membuat penumpang nyaman dengan mengajaknya berbicara. Oh ya, dari logatnya, sepertinya kedua bunda di belakangku ini berasal dari daerah di luar Pulau Jawa. Kuberanikan diri bertanya,
"Mohon maaf, Bunda, sepertinya Bunda bukan asli orang Jakarta ya?"
"Iya, Nak. Kami berasal dari Makasar. Ada pekerjaan kantor selama empat hari di Jakarta," jelasnya dengan logat yang makin tampak bahwa mereka berasal dari daerah Angin Mamiri. Lalu, aku bertanya lagi,
"Kerjaan Bunda di bidang apa, Bun? Kok sampai jauh-jauh ya datang ke Jakarta?"
"Kami PNS, Nak," jawab mereka serempak. Dan sejak topik PNS-lah akhirnya kami mulai mengobrol ramah tentang apa pun. Tanpa terasa, mungkin karena kuikuti jalur "contraflow" akhirnya, kami pun sampai di sekitar Tomang.
"Maaf, hotel apa namanya, Bunda?" tanyaku memotong pembicaraan.
"Oh ya, sampai lupa, Hotel Pinang Sari," jawabnya. Deg! Deg! Deg! Entahlah, tiba-tiba debaran jantungku lebih cepat dari biasanya. Pinang Sari! Hotel Pinang Sari! Sebuah tempat yang selalu membuatku merinding. Ingin rasanya segera kuturunkan dua bunda ini dan segera juga kutinggalkan hotel penuh kenangan buruk ini.
Tepatnya sebulan yang lalu. Aku bertemu dengan seorang penumpang bernama Tante Erni. Dia baik. Sering memintaku mengantarkannya ke mana pun keperluannya. Bahkan, pernah sampai mengantar ke Cirebon. Nah, yang jadi masalah adalah, Tante Erni pernah meminta tolong padaku untuk mengantar temannya, Tante Manohara namanya, ke suatu tempat.
Seperti biasa, tanpa curiga aku mengantarkannya ke tujuan yang dimintanya: Hotel Pinang Sari. Namun, ada sesuatu yang aneh. Spion sebagai penyaksi. Terlihat dari spion, sesekali Manohara mencuri pandang ke arahku. Ah, itu hal yang biasa. Beberapa penumpang juga pernah melakukannya. Tak ada rasa curiga. Semua akan baik-baik saja, batinku meyakinkan diri sendiri. Namun, sesuatu yang berbeda terjadi pada tatapan Tante Manohara. Sangat tajam. Dan... sedikit menggoda. Hmm....
Tiba-tiba, Tante Manohara memintaku mampir dulu ke sebuah minimarket. Berhentilah kami di salah satu minimarket berlogo matahari. Aku menunggu Tante Manohari belanja di dalam mobil. Tak lama kemudian, wanita yang kuakui seksi itu terlihat cuma berbelanja satu kresek kecil.
Karena jalanan tidak begitu macet saat itu dan jarak dari Cibubur ke Tomang tidak terlalu macet, sampailah kami di hotel bintang empat itu.
"Ditto, aku turun di lobby, kamu parkirin dulu aja mobilnya di basement!" pintanya. Loh, kok aneh, pikirku, kenapa aku harus parkir di tempat itu? Bukannya dia harusnya langsung bayar. Urusan selesai! Aku berusaha berpikir positif. Tanpa mengusung kecurigaan, aku pun akhirnya menuruti permintaan Tante Manohara yang mulai tampak misterius itu. Kuparkirkan di basement. Aku berharap Tante Manohara akan melanjutkan perjalanan ke suatu tempat dengan mobilku. Tak lama kemudian, dia meneleponku.
"Ditto, kamu ke resepsionis sini, tolong bawa barang saya ya! Maaf belanjaan tadi tertinggal," pintanya mengagetkanku. Kuperintahkan kepalaku menengok ke arah kursi belakang, tempat Tante Manohara duduk. Ya allah barang cuma sekeresek doang ini gak mau dibawa sendiri. Hadeuh ini orang kok manja amat ya. Aku ngedumel sendiri.
Sesampai di resepsionis, aku mencari-cari di mana wanita itu. O, ow... ternyata, dia sedang berdiri di depan lift.
"Ini Bu, barangnya!" kataku sambil memberikan kresek putih yang sempat kuintip isinya hanya sebungkus permen cokelat.
"Tolong anterin sampai kamar ya, jauh soalnya harus ke lift dulu! Hmm... cape!" jawabnya merajuk. Lagi lagi aku ngedumel dalam hati. Ya allah ini orang kenapa ya cuma segini doang sampai gak mau bawa barangnya sendiri. Kubuang jauh-jauh pikiran negatif itu. Aku berusaha berkoordinasi antara pikiran dan hati positif. Ya, sudahlah, yang penting aku harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Bekerja secara profesional. Kuikuti kaki Tante Manohara melangkah. Memasuki lift yang disambut oleh petugas berseragam merah khas baju Betawi. Sangat ramah. Tombol 28 pun ditekannya hingga angka itu berwarna merah. Hmm... tinggi juga lantai 28.
"Silakan, sudah tiba di Lantai 28. Selamat beristirahat," sapanya dengan senyumannya yang ramah. Lalu, kami melewati lorong-lorong berkarpet tebal. Sesekali kucium aroma pengharum ruangan yang sungguh menyejukannku. Sampailah di depan pintu kamar hotel 2808. Segera kuberikan kresek putih tersebut,
"Ini Bu, barangnya. Saya langsung pulang. Boleh minta jasa taksinya?" tanyaku dengan tegas.
"Tolong masukkin ke meja ya," sambil dia membukakan pintu kamar hotelnya.
"Maaf, Bu. Takut nggak sopan, Bu, nantinya!" kilahku menolak.
"Gak apa-apa, santai aja. Sana taroh di meja ya!" pintanya lagi. Lagi-lagi kuturuti kemauan dia. Kulangkahkan kaki dengan penuh keraguan. Kusimpan barang belanjaan dia di meja yang berada di antara peranti kamar tidur yang supermewah ini. Baru saja akan kembali ke arah langkahku.
"Pintu sudah saya tutup dan saya juga sudah menguncinya," katanya dengan senyum nakal. Sontak semua menjadi gelap. Membuatku gelalapan. Aku terkaget-kaget,
"Bu, maaf ada apa ini? Apa maksudnya? Saya tidak mengerti!" Tante Manohara terdiam. Wanita berambut panjang berombak ini malah masuk ke kamar mandi. Kekagetanku makin menjadi saat Tante Manohara keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan gaun transparan abu-abu muda. Tak berani menatap tubuhnya yang liukannya makin tampak jelas. Ya. Meskipun berusaha tidak melihatnya, aku dapat melihat dengan jelas lekuk tubuhnya. Tanpa bicara satu kata pun, Tante Manohara melewatiku begitu saja, langsung menuju ke atas ranjang yang lebih tepat disebut ranjang pengantin. Sungguh, pasti saat ini wajahku memerah karena marah.
"Bu, saya minta tolong, buka pintu. Saya mau pulang!" tegasku sambil memandang matanya tajam.
"Kamu di sini aja ya temani aku!" pintanya manja.
"Maksudnya apa, Bu? Ibu sudah salah menilai saya!" ucapku sambil kutatap tajam perempuan yang kini tak kuhormati lagi.
"Iya kamu di sini aja. Malam ini saja, mau 'kan kamu nemenin saya?" pintanya lagi memaksa.
Sambil agak marah, meskipun terus terang saja malu rasanya bersikap kasar pada perempuan, kaum ibuku. Namun, aku harus melakukannya. "Bu tolong buka pintunya. Ibu salah menilai saya. Saya tidak seperti yang Ibu pikirkan. Tolong sekali lagi, buka pintunya. Saya mau kerja lagi," nada bicaraku sedikit meninggi.
"Kamu dapet berapa sih kalau kerja? Aku bayar kamu asal mau nemenin aku di sini. Sama aja kamu kerja 'kan karena aku bayar kamu!" tawarnya.
Mungkin pertolongan Allah. Tiba-tiba aku teringat Tante Erni. Tentu Tante Erni pasti kenal sama suami dan anak-anak Tante Manohara. Dengan nada mengancam, keras, dan tegas, kukatakan,
"Bu, kalau Ibu nggak buka pintu, saya mau melaporkan Ibu ke Tante Erni. Saya akan minta Tante Erni bilang pada suami Ibu bagaimana kelakuan Ibu sore ini!" Sambil merayu tiba-tiba Tante Manohara berbicara dengan sedikit memelas.
"Kamu kok gitu sih? Kamu nggak suka ya nemenin aku. Enak lho, Ditto. Ayo sini. Temani aku tidur. Dari pertama lihat kamu, aku pingin banget merasakan kamu. Kamu pasti masih bujangan 'kan? Aku kesepian, Ditto...! Ayo sini, nggak ada yang tau kok!" Tante Manohara menarik tanganku.
Dasar perempuan gila, batinku. Lalu, aku mengeluarkan HP dan di depan dia berpura-pura menelepon Tante Erni. Alhamdulillah, akhirnya perempuan kesepian itu cemberut dan sambil marah-marah tak jelas kalimatnya, ia segera membukakan pintu untukku. Tak menunda-nunda waktu, aku segera pergi setengah terbang rasanya. Tiba di dalam mobil, aku bertanya-tanya, Ya Allah cobaan-Mu hari ini begitu berat. Alhamdulillah. puji syukur, aku telah melaluinya. Terima kasih, Tuhan. Engkau selalu melindungiku Melindungi imanku sebagai seorang lelaki. Ibu, maafkanku! Sore ini sikapku kasar pada kaummu yang sangat berbeda denganmu! Kulakukan karena kusadar, sesuai pesan Ibu, aku harus bisa menjaga diri dan kehormatanku. (Nik & Dik)
**##**

SPIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang