Penjual Parfum

37 3 0
                                    

Saatnya kopdar! Seminggu sekali, kadang-kadang aku hadir ke acara perkumpulan penyuka motor gede alias moge. Kehadiranku di acara yang menurut sebagian orang bergengsi itu bukan bermaksud gaya-gayaaan, melainkan karena cita-citaku menjadi seorang pengusaha. Banyak anggota di perkumpulan tersebut merupakan para pengusaha yang sukses. Dan aku ingin bergaul dan belajar darinya. Bukankah Rasul mengajari kita untuk bergaul dengan orang-orang baik agar kita pun ikut menjadi orang baik? Jika bergaul dengan penjual minyak wangi, ikut wangi pulalah tubuh kita. Bila bergaul dengan penjual pandai besi, bau pulalah tubuh kita.
Belumlah sampai ke tujuan di sebuah cafe sekitar Taman Bunga, Cibubur, aku mendapatkan orderan dari seseorang bernama Mawar. Hmm... sebut saja Mawar? Hehe...! Tidak! Memang namanya Mawar. Ada keraguan saat akan kuambil orderan tersebut. Namun, aku ingat, kata orang pamali menolak rezeki. Akhirnya, kutekan tombol ok yang berarti sudah kuputuskan bahwa aku lebih memilih bekerja daripada kumpul-kumpul bersama teman club moge.
Kuarahkan setir mobilku ke daerah Apartemen Cibubur, tempat calon penumpangku hari ini. Tiba di pintu masuk apartemen, sudah berdiri seseorang. Menantiku mungkin. Ya, benar. la tersenyum sambil melambai-lambaikan tangannya agar mobilku berhenti.
“Mas Ditto ya?” tanyanya ramah.
“Ya, benar! Selamat malam, Mbak. Silakan duduk,” sapaku juga dengan ramah pada gadis remaja berkaus ketat itu. Duduklah perempuan sangat muda dan langsing itu di jok belakang mobil. Tercium aroma parfum yang sangat menyengat pikiranku. Hmm...! Mengingatkanku pada Aurora.
“Ke Aston Simatupang ya, Mas!” pintanya sambil merebahkan sandaran kursinya.
“Ok, Mbak!” jawabku mantap.
“Panggil saja aku Mawar!” pintanya lagi.
“Oh, ok... ok... Mbak Mawar!”
“Sudah berapa lama menjadi sopir taksi online?” tanyanya membuka pembicaraan.
“Setahun, Mbak!” jawabku.
“Panggil aku Mawar!” pintanya tegas.
“Oh ya, maaf... baik, Mawar!” Aku tersenyum simpul. Obrolan terhenti karena ada telepon masuk ke HP gadis muda belia itu.
“Halo selamat malam, ya benar saya sendiri. Boleh. Silakan. Berapa jam maunya? Ya, benar. Bayarannya per jam. Tamunya dari mana, Mbak? Oh, dari Korea. Boleh. Silakan. Saya cukup berpengalaman kok melayani dan menghadapi orang Korea. Baiklah. Terima kasih.” Hanya obrolan itu yang kudengar. Tamu? Melayani? Per jam? Hmm... apa pekerjaan orang ini? Batinku mulai berontak. Begitu banyak Aurora-Aurora berkeliaran di Kota Metropolitan ini!
“Mau kerja nih, Mawar?” tanyaku basa-basi.
“Ya, benar! Tepatnya melanjutkan pekerjaan,” jelasnya.
“Maksudnya? Kerjanya pindah dari apartemen ke hotel?” tanyaku penasaran.
“Ya, benar. Barusan juga aku kerja di tempat kamu jemput aku. Tadi tuh di Apartemen Cibubur! Nah, sekarang aku mau bertemu lagi dengan pelangganku yang lain,” jelasnya panjang lebar, tapi tetap belum kupahami apa pekerjaannya.
“Kliennya orang asing ya?” tanyaku menghubungkan isi percakapan di telepon.
“Ya, benar. Kebanyakan orang Korea. Kadang-kadang dari Jepang, Cina, pernah juga dari Eropa seperti Perancis dan Jerman. Nah, yang dari Eropa ini wuihh... besar-besar!”
“Sudah lama kerja gituan, Mbak, eh ... Mawar?” tanyaku hati-hati, meskipun sebenarnya aku ingin menanyakan apanya yang “besar-besar”?
“Kok gituan? Hahaha... Mas Ditto ini ada-ada aja. Yang penting halal dan uangnya lumayan banyak. Dulu setelah lulus S-1 aku langsung bekerja seperti ini. Dari apartemen yang satu ke apartemen yang lainnya. Dari hotel yang satu ke hotel lainnya. Begitulah. Bergilir!” jawabnya sambil senyum-senyum manja.
Aku terdiam sejenak. Bergilir! Hmm...!
“Awalnya aku gak tertarik bekerja seperti ini, tapi ada sesuatu yang bergejolak di dalam hati kecil saya sepulang dari Australia. Saya bertemu dan bergaul dengan banyak orang Indonesia di sana. Aku jadi terpengaruh melakukan hal yang sama seperti mereka!”
“Maksudnya mencari suami orang bule juga?” godaku sambil melirik ke arah spion. Kulihat ia tertawa renyah.
“Ya, gaklah, Mas! Maksudku gini loh!  Nah, mereka itulah yang menurutku “Srikandi Bahasa”. Terkadang, ada loh yang memandang rendah wanita-wanita Indonesia yang menikah dengan bule. Apalagi, mohon maaf ya, wajah saudara kita yang menikah dengan bule itu biasanya biasa saja, kurang cantik, bahkan cenderung ... maaf, kata orang sih wajah ndeso, tapi... kalau kita sudah kenal dengan mereka, kita akan melongo loh, Mas! Mereka yang menurut saya justru berwajah eksotis asli orang Indonesia itu biasanya menjadi guru-guru bahasa Indonesia. Merekalah yang menjadi duta bahasa Indonesia di negeri orang sehingga bahasa Indonesia dikenal dan dipelajari oleh orang asing. Bangga,  ‘kan kita, Mas?”
“Oh, begitu...! Saya kira...” tak berani kulanjutkan penilaianku yang salah pada remaja hebat yang satu ini. Ternyata, dia seorang guru bahasa Indonesia bagi orang asing. Sungguh mulia. Sudah berbuat sesuatu untuk Indonesia. Memperkenalkan bahasa Indonesia kepada dunia. Pekerjaan dia memang dari apartemen yang satu ke apartemen yang lainnya, dari hotel yang satu ke hotel lainnya untuk melayani bahasa.
“Ya... ya... ya... benar! Benar sekali!” jawabku sambil berusaha meresapi dan merenungkan penjelasannya yang luar biasa ini. Sungguh ini pukulan bagiku yang hanya memikirkan diri sendiri. Berusaha bergaul dengan para pengusaha yang sukses agar bisa ikut terpengaruh untuk menjadi orang sukses. Kesuksesan diri sendiri. Padahal, remaja cerdas yang kini berada di jok belakang ini telah berpikir jauh, bukan hanya untuk dirinya, melainkan untuk sesuatu yang lebih besar dan bermartabat:  Indonesia.  Ia menjadi seperti sekarang karena bergaul dengan orang-orang hebat yang juga membuat dia hebat, remaja yang cinta dan bangga pada Indonesia melalui bahasa Indonesia!
Maafkanku,  Mawar Indonesia! (Nik & Dik)
**##**

SPIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang