Ditto namaku. Aku memang lahir dari dari keluarga broken home. Ayahku sibuk dengan istri barunya. Aku benci padanya. Beberapa kali Lebaran, Ayah tak pernah datang. Jangankan datang, berkirim kabar pun tidak. Menanyakan kabarku juga tidak. Menanyakan aku sakit atau tidak, lapar atau tidak, punya uang atau tidak, naik kelas atau tidak. Semua itu tak pernah Ayah lakukan. Setiap kutemui, selalu kemarahan yang kudapatkan. Aku dan adikku dianggapnya sebagai beban hidupnya di tengah-tengah kesuksesan hidup berumah tangga dengan istri barunya.
Ibuku? Kadang aku juga mangkel dibuatnya. Ibuku sibuk dengan penderitaannya. Ibuku pikir hanya dia orang yang paling menderita. Ia hanya mengurusi dirinya sendiri. Hatinya sendiri. Ia begitu terpuruk. Dan hidup dengan predikat sebagai perempuan yang tersakiti. Aku lelah mengasihinya. Sampai akhirnya, alhamdulillah. Puji syukur tiada kira. Usahaku agar Ibu bangkit mulai tampak hasilnya. Doaku agar Gusti Allah memberikan cahaya kebaikan kepada Ibuku mulai terkabulkan. Ibu akhirnya sadar, setelah adikku terseret pergaulan bebas. Juga hampir bekerja sebagai pengedar narkoba. Ibu mulai bangkit dari keterpurukannya. Denyut nadi Ibuku mulai berdenyut normal. Tubuhnya pun kini sudah mulai berisi. Kulit putihnya tidak pucat lagi. Cukup bersinar kini. Wajah cantiknya yang selalu tertutup derita kini bersinar kembali. Ibu memutuskan untuk bekerja di Malaysia, sebagai buruh pabrik konveksi dengan modal sebagai. penjahit baju.
Dulu aku benci dengan kehidupan saat itu. Namun, sejak Ibuku mulai "hidup" kembali, semangatku pun mulai memulih hingga akhirnya dengan nekat dan semangat yang bulat, aku jalani hidup ini dengan sebaik-baiknya. Lulus dari SMA aku ikut dengan Uwaku yang tinggal di Jakarta. Aku bekerja membantu Uwa dalam usaha kredit baju keliling. Seminggu sekali, tubuh kecilku ini kubebani dengan berkarung-karung baju dari Tanah Abang yang harus kuangkut ke mobil bak Uwa. Setiap pagi, kupanggul barang dagangan berupa pakai-pakaian. Kujajakan pakaian ke para pedagang kecil di sekitar rumah Uwa. Ada penjual kopi, ada penjual dawet, ada juga penjual ketoprak. Dari kalangan merekalah kupunguti uang dua ribuan per hari hingga akhirnya terkumpul dan kusetorkan kepada Uwa setiap minggunya. Dua tahun kujalani pekerjaan sebagai penjual baju kredit. Rasa malu kusingkirkan. Apalagi yang namanya gengsi. Terhapus sudah dari kamus hidupku.
Suatu hari, saat aku merasa cukup ilmu dari cara dan usaha dagang Uwa, aku memohon izin kepada Uwa untuk mempunyai usaha sendiri. Aku ingin mandiri. Tidak mengandalkan Uwa sebagai penopang hidupku. Dengan berat hati, akhirnya Uwa mengizinkanku untuk melangkah sendiri. Membuka usaha sendiri di sekitar Cibubur. Uwa hanya pesan agar aku menekuni usahaku dengan tabah dan tawakal. Tetap berusaha di jalan usahaku, pantang menyerah pada nasib. Semua itu akan disempurnakan dengan doa dan iman.
Sungguh berat mengawali usahaku yang telah kurintis empat tahun yang lalu. Dengan berbekal gajiku sebagai penjual baju kredit keliling selama dua tahun bekerja di toko milik Uwa, kukontrak sebuah rumah di daerah Cibubur. Rumah kontrakan yang sangat sederhana. Tidur di malam pertama tanpa kasur dan bantal. Sejadahlah yang kujadikan alas tempat tidurku. Tas berisi barang jualan menjadi bantalku. Makan untuk pertama kalinya dengan lauk pauk seadanya: campuran kacang tanah, cabe, garam, dan sedikit terasi yang kuulek menjadi makanan sehari-hari yang kuulek tiga hari sekali. Kadang-kadang di hari ketiga sudah berbau tengik, tetapi tak apa. Tetap kuhabiskan sebelum akhirnya basi. Kupikir, lebih baik basi di dalam perut. Minum teh hangat untuk pertama kali, kurebus airnya di kuwali yang kucuci bekas menggoreng kacang. Terkadang aroma minyak bekas kacang masih tercium, tapi tak apa. Kuanggap sebagai variasi rasa yang kunikmati sensasinya.
Terkadang jika pulang sore, bahuku memar karena harus memanggul beban barang dagangan yang kadang-kadang sepi pembeli. Namun, aku ingat pesan Uwa, jangan menyerah pada nasib! Tetap kutelateni usahaku itu penuh dengan perjuangan dan doa. Doa tertinggiku adalah aku ingin menjadi orang sukses agar banyak uang dan dengan uang itulah aku ingin membahagiakan Ibu dan adikku. Doa tertinggiku adalah aku ingin membuktikan kepada lelaki yang tak pantas kupanggil Ayah itu bahwa aku anak lelakinya bisa hidup dan menjadi orang suksses meskipun tanpa bantuannya, tanpa dukungannya, tanpa bimbingannya, dan tanpa doa darinya. Aku masih ingat saat detik-detik menjelang pendaftaran sekolah SMA akan ditutup, kudatangi Ayah yang sudah janji sejak seminggu yang lalu akan memberikan uang sekolahku, kuminta uang pendaftaran sekolahku, dan apa yang ia katakan.
"Ditto, uang Ayah dipegang Mama semua. Bapak tidak berani minta ke Mama tirimu. Lebih baik kamu berhenti sekolah saja! Kalau pun sekolah, nanti kamu hanya akan menjadi beban Ayah! Ini ada uang Rp30 ribu, pulanglah!" Subhanallah, Ayah mana yang tega menyuruh anaknya berhenti sekolah? Bersyukurlah Uwa datang sebagai malaikat.
"Ditto, segera pakai baju seragam SMP-mu!" Ajakan Uwa sungguh mengagetkanku.
"Mau ke mana, Wa?" tanyaku masih kaget.
"Daftar sekolah!" jawab Uwa.
"Daftar sekolah? Ah, Ditto mah gak punya punya uang, Wa. Ayah juga nyuruh Ditto berhenti sekolah!" jawabku polos.
"Sudahlah, jangan turuti kehendak Ayah, segera ikut Uwa ke SMA!"
Alhamdulillah berkat bantuan Uwa, aku tetap bisa melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Majalengka. Dan begitu lulus, Uwa langsung mengajakku kerja di Jakarta. Uwalah yang telah berjasa hingga akhirnya, kini, setelah empat tahun lamanya kujalani usahaku sebagai penjual pakaian kredit keliling, sudah 28 orang karyawanku yang bekerja dan turut serta mengembangkan usahaku ini di beberapa daerah di sekitar Jakarta Timur dan 28 orang lainnya tersebar di 10 toko milikku di pusat perbelanjaan Tanah Abang. Selama empat tahun ini pulalah hasil kerja kerasku telah membuat Ibuku tersenyum kembali. Cukup dua tahun saja Ibu bekerja di Malaysia. Kini, Ibu mempunyai rumah di Majalengka yang kubelikan dari hasil keringatku sendiri. Di samping rumah, kubuatkan tempat usaha Ibuku, "Butik Bunda Iis". Adikku? Kini ia semester tujuh di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Ia hidup bahagia menjadi mahasiswi jurusan tatabusana. Jurusan yang ia pilih agar bisa mengembangkan usaha Ibu, juga bisnisku yang sudah mulai terasa hasilnya.
Ditto namaku. Aku dikenal sebagai pedagang sukses di kalangan pedagang lainnya di pusat perbelanjaan Tanah Abang. Ditto, namaku. Aku pun kini untuk mengisi hari-hariku selain nongkrong di basecamp perkumpulan para pencinta moge, aku pun bekerja sebagai sopir taksi aplikasi. Bersyukurlah, begitu banyak orang-orang yang baik yang kutemui selama aku menjadi sopir mobil aplikasi. Ditto namaku. Aku adalah seorang anak yang merindu sebuah keluarga yang utuh. Aku rindu Ibu dan adikku berkumpul di sini bersamaku. Dan jujur. Sejujurnya. Aku pun sebenarnya merindu sosok lelaki yang seharusnya kupanggil setiap detik dengan sebutan "Ayah". Aku ingin memamerkan segala usaha dan keberhasilanku pada Ayah. Sama halnya seorang murid yang selalu ingin pamer akan usaha belajar pada gurunyanya. Hmmm.., tapi pantaskah lelaki itu kuanggap guru? Aahhhk... apa pun yang terjadi, lelaki yang sempat kubenci itu adalah ayahku. Guru hidupku. Guru yang telah mengajariku menjadi orang yang tidak hanya kuat, tetapi juga kokoh dalam menghadapi kerasnya hidup.
Namun, aku sadar. Tidak semua keinginan dapat terwujud sesuai kehendak kita. Ada tangan Sang Kuasa yang akan menentukan nasib kita. Aku hanya manusia. Ciptaan Allah. Aku sadar. Manusia hanya berperan. Hal terpenting adalah jadilah pemeran yang baik, bahkan yang terbaik. Siapa tahu kelak akan menerima piala citra dari Sang Sutradara.
Ditto namaku. Aku berusaha selalu mensyukuri hidup ini. Aku bersyukur menjadi sopir taksi aplikasi yang banyak bertemu dengan orang-orang yang kuanggap sebagai keluarga sendiri. Dengan semua kebaikannya, mereka membuka diri bagi kehadiranku sebagai saudara angkatnya.
Ditto namaku. Banyak hikmah di balik keputusanku menjadi sopir taksi beraplikasi di saat jenuh berbisnis. Berkat taksi beraplikasi jualah aku bertemu dengan seorang gadis manis, pengisi hatiku yang lama hampa. Aku tahu perjuanganku masih panjang, termasuk meyakinkan kedua orang tua Renita bahwa aku lelaki yang pantas mencintai dan membahagiakan putrinya yang manis itu!
Ditto namaku. Aku bahagia menjalani hidup ini. Aku banyak bertemu dengan orang-orang yang bermacam-macam karakter. Dengan menjadi sopir taksi aplikasi, aku dapat melihat, menikmati, dan mempelajari potret kehidupan Kota Metropolitan, Jakarta, melalui sebuah benda yang selalu menemaniku bekerja: spion. (Nik & Dik)
**##**
KAMU SEDANG MEMBACA
SPION
Short StorySPION adalah potret kehidupan masyarakat Jakarta yang diabadikan oleh ingatan sopir taksi online ganteng, seorang pemuda pekerja keras yang kebetulan berasal dari kota kelahiran saya, Majalengka, yang kemudian dikemas dengan kreasi imajinasi sehing...