"Ditto, saya boleh minta tolong gak?" tanya Ibu Niken tiba-tiba saat naik taksi online yang
kukendarai.
"Tentu boleh, Teh!" jawabku dengan memanggilnya "Teteh" sapaan akrab bagi wanita dewasa.
"Masih suka chating dengan Renita?" tanyanya lagi mengagetkanku. Sejak pertemuan pertama saat peristiwa kecelakaan terjadi hingga hari ini memang kuakui sering kuhubungi gadis yang mencuri perhatianku itu. Namun, hmm.... Di layar ponselku hanya tampak huruf R di bagian akhir pesanku. Itu tandanya pesanku hanya dibaca. Tak ada balasan. Mungkin memang dia tak tertarik padaku.
"Ya, pernah beberapa kali. Tapi itu sangat jarang," jawabku sedikit berbohong. "Emang, kenapa, Teh? Boleh saya tahu?" tanyaku kepo.
"Tadi malam saya dan suami berbicara tentang Renita yang sampai saat ini belum punya pacar. Kalau Ditto sering chating sama Renita, mungkin bisa bantu selidiki dia. Tolong cari tahu, apakah dia sudah punya pacar atau belum," pintanya padaku. Oh, My God. Itu pekerjaan yang sulit bagiku. Mana mungkin aku bisa bertanya masalah pribadi seperti itu, sementara pesanku saja tidak pernah ia balas?
"Gimana, bisa bantu gak?" tanya Bu Niken menghentikan keluhanku.
"Hmm...!"
"Ayah Renita mau menjodohkan Renita dengan anak temannya sesama direksi!" jelas Ibu Niken.
"Hmm...," kugaruk kepalaku yang tak gatal. Dijodohkan? Kenapa harus dijodohkan? Hari gini gitu loh! Aduh! Sirna harapanku untuk mendekati putri Ibu Niken!
"Bagaimana, Ditto? Bisa bantu?" pinta Bu Niken lagi.
"Okay, Teh. Saya akan coba bantu," janjiku tak berpikir panjang lagi. Yes!! Mungkin ini jalan bagiku agar bisa masuk ke kehidupan gadis cuek itu. Tiba-tiba jiwa kelaki-lakianku tumbuh lebih pesat. Namaku Nanditto. Sang petualang. Aku harus mengetahui apakah Renita sudah mempunyai tambatan hati atau belum. Kalau belum, itu tandanya aku bisa melangkah jauh memasuki kehidupannya. Paling tidak sebelum sang ayah menjodohkan Renita dengan pilihannya, aku mempeunyai kesempatan pertama untuk mendekatinya. Hasil akhirnya? Pasrah. Urusan lahir, mati, rezeki, dan jodoh adalah urusan Allah. Mungkin kalau aku sering merayu-Nya agar Renita menjadi pendampingku, tentu Allah akan mendengarkan rayuanku.
Tak membuang waktu lagi, akhirnya, saat menunggu Ibu Niken yang sedang mengadakan rapat bersama dengan orang-orang asing di Imperial Golf Club, Karawaci, kutelepon gadis berkerudung acak-acakan itu.
"Halo... assalamualaikum," sapaku pada gadis berjerawat itu.
"Waalaikumsalam," jawabnya dari seberang sana. Sungguh merdu. Membuat hati ini tenang. Kutanyakan kabarnya. Kutanyakan apa saja kegiatannya. Dan lain-lain. Tapi tak satu pun kalimat yang kuutarakan padanya menyerempet tentang status dia. Tak kuasa rasanya menanyakan itu. Akhirnya, kuakhiri percakapanku dengan gadis supercuek itu!
"Terima kasih ya, Bro. Kalau bertemu dengan Mama, titip salam ya!" ucapnya mengakhiri percakapan di telepon. Sesaat kutatap wajah Renita di foto yang terpampang di phone book ponselku. Hmm... dia tidak cantik, tapi kok menarik hatiku! Dia tidak elok, tapi kok bisa menohok hatiku. Dia tidak manis, tapi kok mengais-ngais hatiku untuk bisa selalu menyayanginya! Loh...loh... loh... kenapa dia belum menutup teleponnya? Kudengar masih ada percakapan. Bukan denganku, melainkan dengan teman-temannya.
"Cie... cie... cie...!" terdengar teman-temannya menggoda Renita. "Siapa tuh?" godanya lagi.
"Itu driver taksi online. Ganteng tau! Kalian pasti suka juga lihat wajahnya! Dia pernah nolong aku waktu kecelakaan. Waktu kepalaku bocor tuh!" O, ow... GR deh aku. O, ow... Tambah GR deh aku! Tanpa dia tahu, aku menguping pembicaraannya! Pamer dia tentang aku. Dia bilang aku ganteng? Ooo.... apakah dia pun merasakan hal yang sama? Wah, tambah-tambah GR! Plus... plus...!
"Eh, eh... eh... ya ampuun!! Kok HP-ku belum kumatiin? Aduuuh... tengsin deh guet!" Tiba-tiba dia berteriak kaget. Hmm... sekarang dia sadar rupanya!
"Halo... Halo... A Ditto?" teriaknya memanggil namaku.
"Ya, A Ditto tetap di sini," jawabku polos.
"Aduh ampun deh! Maaf...! Aduh ampun deh! Maafin guet ya! Aduh, malu-maluin aja!"
Sejak peristiwa itulah, antara aku dan Renita terjalin komunikasi yang baik. Kami sering ngobrol melalui media sosial. Kami sering diskusi tentang apa pun dan aku merasa nyaman ngobrol dengannya.
Kuceritakan hal ini pada Bu Niken di pertemuan berikutnya. Kami pun tertawa bersama. Ibu Niken senang? Ahh...! Tak berani aku berimajinasi. Tapi bolehlah jika aku berharap suatu saat Ibu Niken akan menjodohkanku dengan putri bungsunya. Hmm... bagai punduk merindukan bulankah? Namun, aku yakin tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Jika Renita memang jodohku, insyaallah Sang Kala akan mendekatkan kami meskipun jauh di lubuk hatiku yang terdasar, meskipun, sebenarnya, ada rasa minder berdekatan dengan Renita jika memang benar harapanku nyata. Aku malu sekali. Masa laluku kelam. Kehidupanku sangat berbeda dengan keluarga gadis itu. Jauh sekali. Seperti jauhnya langit kesembilan dan bumi. Namun, aku selalu berprinsip lebih baik jujur meskipun menyakitkan, daripada berbohong. Akan kukatakan pada Ibu Niken bahwa masa laluku tidak seindah Renita. Keluargaku tak sempurna. Bebetku memang sudah mumpuni. Secara ekonomi, kekayaan, penghasilan, dan kesiapan memberikan nafkah untuk calon pendampingku sudah kusiapkan. Bobotku pun insyaallah telah memenuhi syarat menjadi pendamping yang baik. Insyaallah aku selalu mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Namun, bibitku? Keluargaku tak lengkap. Aku hanya memiliki seorang Ibu yang baik hati dan penuh kasih sayang padaku. Juga adik kecilku yang baik hati, berkembang dengan cemerlang pascatragedi menimpa dirinya, dan kini sudah beranjak dewasa sebagai mahasiswi di perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Ayahku? Entah di mana ia sekarang! Masih sibukkah dengan istri barunya yang menyebabkanku di-bully habis oleh teman-temanku. Aku masih mengingatnya dengan jelas...
Bagiku masa lalu itu guru terbaik. Masa lalu adalah cambuk yang bertaring tajam untuk kehidupan. Kesakitan dan penderitaan masa lalu itulah yang menjadikanku kuat. Masih jelas terbayang di layar kehidupanku, aku disuruh berhenti sekolah oleh Ayah, bapakku sendiri dengan alasan tak ada biaya. Sementara itu, Ayah mampu mengeluarkan biaya untuk pernikahannya dengan istri barunya. Bahkan, saat Ayah tinggalkan kami, diam-diam Ayah menjual rumah yang sedang kami tinggali, dan dengan terpaksa aku, adik, dan Ibu harus meninggalkan rumah tempat kami merajut kenangan masa kecil. Hinaan yg sering kali kudengar adalah... "Kasian si Ditto mah gak punya RT/RW!" Itu adalah hinaan karena kami tak punya tempat tinggal, kami pun tak punya alamat rumah. Aku berusaha ikhlas menerima hinaan ini. Namun, jauh di dasar hatiku yang paling bawah, lahir keinginan besarku. Hinaan itu sangat tidak hanya menusuk, tetapi juga sangat menohok jantungku untuk bangkit dari keterpurukan. Keserakahan Ayah yang menjual rumah untuk kesenangan dirinya membuat jantungku terpompa. Hatiku pun berlari untuk menunjukkan suatu saat nanti, aku anak yang dibuang, aku orang yang selalu dihina, anak yang dibesarkan dengan goresan luka, berjanji untuk merajut kehidupan yang lebih baik. Penghina itu akan kubuat semuanya menjadi terkagum-kagum pada usahaku. Membuat semuanya diam dengan karyaku kelak. Membuat semua hinaan itu menjadi pujian.
Alhamdulillah. Berkat tekadku yang bulat dan semangatku yang kuat, alam raya ini mendukungku. Di usiaku usia 24 tahun aku bisa memiliki mobil sendiri, di usiaku yang 24 tahun pun aku bisa membeli rumah keluarga untuk keluargaku: Ibu dan adikku. Di usia itu juga aku bisa membuka lapangan kerja untuk orang banyak. Sungguh situasi yang sangat tak pernah kupercaya. Usia semuda itu aku bisa mempunyai karyawan. Memang! Sungguh adil nikmat Allah yang telah diberikan kepadaku. Ibuku selalu berkata, "Perih masa lalumu sudah terlalu perih, tapi perih itu akan jadi perah buat hidup kamu! Itu berarti setiap kesakitan akan selalu ada kebahagiaan, setiap perjuangan pasti akan menghasilkan, Allah tidak tidur. Allah tahu semua yang kita lakukan. Lakukanlah apa pun atas dasar mendapat ridho-Nya. Itulah yang memicuku agar selalu semangat. Kini aku memiliki beberapa lubang usaha, beberapa karya, dan doa sehingga menjadi kekuatanku dalam melangkah.
Andai kutahu rencana Allah padaku dan pada kehidupanku di masa depan, ingin rasanya kudekati Sang Pencipta dan membisikkan sesuatu agar Renita menjadi bagian hidupku yang indah. Berlebihankah keinginanku? (Nik & Dik)
==**==
KAMU SEDANG MEMBACA
SPION
Short StorySPION adalah potret kehidupan masyarakat Jakarta yang diabadikan oleh ingatan sopir taksi online ganteng, seorang pemuda pekerja keras yang kebetulan berasal dari kota kelahiran saya, Majalengka, yang kemudian dikemas dengan kreasi imajinasi sehing...