Ditto namaku. Nanditto lengkapnya. Ibuku yang memberi nama itu padaku. Entah mengapa Ibu memilih nama itu untuk anaknya yang asli 'urang Sunda'. Mengapa tidak Nanditta? Ditta panggilannya. Ah, tidak. Ditta lebih cocok untuk nama perempuan. Nama Ditto banyak digunakan di Indonesia. Akan banyak dijumpai di Kota Ambon, Jakarta, dan Semarang. Ada juga yang mengatakan bahwa Ditto berasal dari bahasa Jepang yang berarti 'petualang'. Penjelasan terakhir ini yang aku suka. Gua bingit dah!
Setelah lulus SMA, orang-orang sibuk memilih kampus yang keren-keren, tapi tidak berlaku untukku. Kuputuskan langsung bekerja meskipun guru dan teman-teman yang tahu predikatku selalu rangking satu menyayangkan keputusanku.
Aku harus tampak menyerah dulu pada nasib. Untuk saat ini. Hanya saat ini. Di samping memang belum ada biaya yang bisa dicari dan diraih untuk mendukungku kuliah, memang kondisi yang mewajibkanku untuk bekerja dulu demi Ibu dan adikku, dua wanita yang kusayangi sampai kapan pun.
Aku sadar, setelah Ayah lebih memilih tinggal bersama wanita lain dan meninggalkan kami, akulah tulang punggung Ibu. Akulah harapan Ibu dan adikku. Aku, anak lelakinya harus bangkit dan mewujudkan harapan kedua wanita yang pandangan matanya selalu pancarkan kesedihan. Aku harus segera menghapus gambaran itu. Pandangan mata dua wanita terindahku harus bahagia. Itu janjiku.
Oh, ya satu lagi. Aku pun ingin Ayah tahu bahwa anak lelakinya, yang saat tumbuh kembangnya tanpa bimbingan dan kasih sayangnya, mampu mengubah nasib buruknya menjadi lebih baik. Lebih dari baik. Lihat itu!
Setelah terpisah dari teman-teman SMA yang sudah disibukkan dengan berbagai aktivitas kampus, aku memilih disibukkan dengan melamar ke sana-kemari mencari pekerjaan. Akhirnya, kudapatkan peruntungan pekerjaan sebagai sales motor. Cukup satu tahun kujabani dan kujalani. Lalu, aku berpindah pekerjaan menjadi sales toko beretail. Juga satu tahun kupelajari dan kupraktikkan ilmu marketing yang kudapat dari atasanku. Namun, selama bekerja dua tahun, aku merasa belum menemukan rasa nyaman. Terakhir, aku mencoba mengadu nasib bersama Uwa Emed, kakak Ibuku di Jakarta, kota yang tak pernah kubayangkan aku bisa hidup di dalamnya.
Pekerjaanku adalah membantu bisnis yang sudah dijalankan oleh Uwa Emed selama puluhan tahun. Aku bekerja sebagai penjual baju secara kredit. Sambil membawa tas pakaian, aku berkeliling ke rumah-rumah masyarakat kelas bawah. Target marketku adalah para pedagang kaki lima, buruh pabrik, dan para asisten rumah tangga. Pekerjaan ini mungkin bukan menjadi pilihan remaja-remaja seusiaku. Namun, bagiku tidak masalah. Targetku ingin sama suksesnya dengan Uwa Emed. Ia seorang pedagang yang handal dan terbukti dari usahanya itu bisa menghasilkan puluhan atau bahkan ratusan juta setiap bulannya. Seharusnya aku pun bisa jika diniati, ditekuni, dan diusahakan, dan didoakan. Aku mempunyai keyakinan tentang hal itu. Berhitung pun mulai dari nol, maka aku pun bertekad memulai bisnisku dari nol. Siapa tahu jika dilakukan sedikit demi sedikit angka nol itu akan beranjak ke angka satu, dua, tiga, dan seterusnya.
Setelah dua tahun kujalani, mungkin karena aku pembelajar yang baik, aku bisa segera menangkap ilmu berdagang yang Uwa Emed ajarkan kepadaku. Dengan berbekal ilmu itulah kuberanikan diri untuk berpisah dari Uwa Emed dan mendirikan sendiri usaha yang sama dengan Uwa Emed. Tentu marketku tidak sama dengan Uwa Emed. Kuputuskan juga pindah tempat tinggal dari Ciputat ke Cibubur. Dan sejak saat itulah aku merasakan pahit manisnya hidup sendiri di Ibu Kota dengan mengandalkan usahaku sebagai pedagang baju keliling. Mulai memungut sendiri receh demi receh dari para pelangganku hingga akhirnya setelah tiga tahun kujalani, bisnisku mulai bertumbuh dan berkembang hingga akhirnya orang memanggilku sebagai pedagang muda yang cukup sukses. Sedikit demi sedikit, karyawanku pun mulai bertambah. Aku mulai melahirkan Ditto-Ditto baru untuk terjun ke dunia bisnis yang sama dengan yang aku geluti sampai saat ini: penjual baju keliling.
Pasang surut kehidupan itu sudah biasa. Begitu juga dengan semangatku dalam berbisnis. Terkadang sejenak ingin kutinggalkan bisnis pakaian dan beralih ke bisnis yang lain. Dari bisnis pakaian beralih penyalurannya ke hobiku mengoleksi motor gede atau moge. Beberapa club moge kuikuti. Aku sadar butuh teman bicara. Dengan ikut club moge, aku bisa bertemu dengan orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Sejak itulah aku juga bertemu dengan orang-orang ikut berbisnis transportasi berbasis aplikasi. Sampai akhirnya, aku pun tertarik menjalankan beberapa mobilku sebagai taksi online. Terkadang, untuk mengisi kekosongan, aku sendiri menjadi sopir taksi beraplikasi itu. Dan itulah mengapa kini, aku bisa bercerita banyak tentang kisah-kisah menarik para penumpangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SPION
Historia CortaSPION adalah potret kehidupan masyarakat Jakarta yang diabadikan oleh ingatan sopir taksi online ganteng, seorang pemuda pekerja keras yang kebetulan berasal dari kota kelahiran saya, Majalengka, yang kemudian dikemas dengan kreasi imajinasi sehing...