Ayah Gadun

86 3 0
                                    

Seorang gadis. Cantik. Berambut pirang. Ber-make-up artis. Molek. Berbaju ketat. Wangi. Aduhai. Itulah ciri-ciri penumpangku siang ini yang sekarang sedang duduk di jok belakang mobilku. Gadis yang kutahu namanya dari aplikasi taksi online itu bernama Aurora. Seperti biasanya, selalu kusapa para penumpangku. 
"Selamat sore Mbak Aurora, kehujanan ya?” sapaku ramah.
“Wkwkwkw...,” tiba-tiba gadis cantik itu tertawa dan langsung main tebak, "Aa, ti Sunda nya?”
“Hahaha... iya Mbak. Kok tau?” jawabku juga sambil tertawa.
“Iyalah Aa , logatnya itu loh. Sunda pisan!”
“Mbak dari Sunda juga?”
“Saya mah dari Indramayu!” jawab perempuan yang centil itu.
“Ini saya harus antar ke Apartemen Cibubur, ya Mbak?” tanyaku untuk memastikan kesesuaian tujuan yang tercantum di aplikasi.
“Iya, Aa. Macet gak ya?" jawabnya dengan balik bertanya.
“Macet sedikit sih, Mbak, kalau liat dari GPS  mah,” jawabku.
"Ya, udah gak apa-apa, yang penting sebelum jam 8 saya harus di sana," pintanya sambil menggeser posisi duduknya ke tengah dan maju di antara dua sandaran jok mobil. Sangat dekat. Hmmm...! Tercium aroma parfumnya. Kuat sekali. Sedikit membuat kepalaku pusing, hmm... eh, sepertinya bukan kepala, melainkan konsentrasi yang mulai buyar karena didekati gadis cantik nan lincah ini. 
“Ya masih lama atuh Mbak. Pukul 8 mah masih 3 jam lagi, insyallah terkejar, kok!" janjiku padanya dengan suara berat. Grogi. Tiba-tiba ada pemberitahuan ke aplikasi Line, ternyata dia menge-save nomorku. Hmm... begitu pentingkah? Kemudian, kuberanikan diri untuk bertanya sambil menatapnya melalui spion mobil,
“Mbak,  nge-save nomor saya ya?” tanyaku.
“Hmm... ya ya ya. Boleh ‘kan?” pintanya manja.
“Ya, silakan saja, Mbak! Siapa tau perlu saya lagi!” saranku.
“Ya memang benar, Aa. Nanti Aa jemput  aku lagi ya, bisa gak?" manjanya.
“Pukul berapa, Mbak, tapi saya gak janji ya, Mbak?!”tanyaku.
“Ya, sekitar jam 10 ya, Aa...!” ucapnya sambil mengelinting rambut keritingnya dengan ujung jari telunjuknya.
“Ya udah insyallah ya, Mbak!” janjiku.
Kami saling diam. Tak berapa lama, tibalah sampai tujuan. Kuturunkan gadis yang memesona itu. Belumlah hilang aroma parfum jasmin perempuan cantik itu,  tiba-tiba dia chat ke aplikasi Line  Aa, jangan lupa ya jemput aku! Aku mau ajak Ayah jalan-jalan ke Puncak. Salam, Aurora.
Tibalah waktuku untuk menjemput Aurora. Saat tiba di Apartemen Cibubur, kulihat dia sedang berada di samping seorang lelaki tua.
“Aa, kenalin, Ayahku!” ucapnya dengan bangga. Kuanggukkan kepala dan kuberi salam dari kemudi mobilku. Duduklah mereka di jok belakangku. Sambil mengemudi aku bertanya-tanya di dalam hati,  lelaki tua yang satu ini hebat sekali penampilannya. Meskipun sudah berusia lanjut, gayanya tetap seperti anak muda. Dari spion sesekali kulihat ia pun mencuri-curi pandang melihatku. Senyumnya manis di balik topi koboi hingga tampak unik dan nyentrik itu. Kuberanikan diri bertanya,
“Pak, boleh saya bertanya?” Dia diam saja. Hmm... salahkah aku? Batinku.
“Ayah, Aa Ditto bertanya...,” bantu Aurora.
“Oh, ya... ada apa?” tanyanya kaget.
“Boleh saya bertanya?” tanyaku lagi.
“Boleh, silakan!” jawabnya kalem.
“Bapak awet muda? Boleh tau umurnya berapa?” tanyaku serius.
“Coba tebak, Aa Ditto?” Aurora malah kembali main tebak.
“Tujuh puluhan ya, Pak?” tebakku.
“Seratus buat you. Ya, usia saya 78 tahun!” ujar pria itu.
“Luar biasa! Apa resepnya, Pak? Kok bisa tetap segar di usia tua?” pujiku padanya.
“Hahahaha...!” kudengar ia tertawa renyah sambil sesekali memeluk anaknya, Aurora yang genit! “Panjang ceritanya!” jawabnya dengan tetap sambil tertawa.
“Saya ingin seperti Bapak, Pak! Sehat di usia tua!”
“Okay... okay... saya akan jelaskan. Simak dengan baik ya?” pintanya. Diam sejenak. Lalu, ia pun mulai bercerita.
"Begini.... Lauk pauk yang paling enak itu adalah lapar, dan kalau sudah lapar makanlah secukupnya. Sesuatu yang berlebihan itu kurang baik hanya mendatangkan penyakit. Jika membiasakan makan secukupnya, sampai usia saat ini, tidak ada makanan pantangan. Makan kambing? Ok, seiris saja. Makan durian? Ok, sebutir saja. Makan emping? Ok, tapi sekeping saja. Kalau tidak makan, nanti lupa rasanya sehingga nanti kalau ditanya oleh malaikat di akhirat, 'Masih ingat rasa kambing dan duren?' Ya, tentu... masih ingat! Jadi, kalau mau usia panjang dan tetap makan enak dan aman, jaga kesehatan, dan itu berawal dari pola makan.”
“Itu yang pertama, ya, Pak? Hebat!” tanya dan pujiku menyimak dengan baik sambil tetap konsentrasi mengendarai mobil di arena yang mulai menanjak. Melewati Ciawi menuju Cisarua.
“Ya, betul. Kedua, rajin olahraga, dulu saya rajin tenis, seminggu tiga kali, itu saya lakukan sampai usia 75 tahun, tapi sekarang dilarang dokter dan anak, ya... jalan cepat saja atau dansa. Dansa bagi saya adalah olahraga. Gerakan-gerakan caca, caca 16, cha cha cha, dan waltz membantu tubuh saya agar tetap bergerak. Seminggu sekali saya melakukannya bersama dengan teman-teman atau bahkan dengan anak dan cucu. Oh, ya, dengan dansa, otak kiri dan kanan saya tetap berfungsi dengan baik. Hitungan gerakan dansa membuat saya tidak pikun karena harus selalu mengingat jumlah gerakan dan urutannya. Oleh karena itu, dansa ini berhubungan dengan cara ketiga, yakni tetap belajar di usia tua.”
“Wah, Bapak hebat sekali. Gaul habisss...!” komentarku dengan bangga sambil tetap kukemudikan mobil dengan baik di tengah-tengah alam Cisarua nan sejuk. “Lalu, Pak...”
“Ketiga, jangan pernah berhenti belajar. Coba tanya saya tentang ilmu ekonomi atau bisnis, pasti saya masih mengingatnya dengan baik. Itu karena saya belajar dan dulu saya fokus menjadi pebisnis yang ulung. Bacalah buku-buku yang mengabadikan rahasia menjadi pebisnis yang hebat. Namun, kini, saya makin berusia, makin sulit membaca. Kendalanya adalah mata, tapi itu tidak membuat saya malas membaca. Kalau kacamata tidak mampu membantu, gunakan kaca pembesar agar tetap bisa melihat jendela dunia, Itu yang saya lakukan. Jadi, tetaplah belajar meskipun usia sudah banyak!
“Tapi, Pak... kalau melihat perempuan cantik gimana? Hahaha... maaf guyon, Pak!” kataku dengan nada bercanda di antara kerlap-kerlip bintang di langit seolah-olah mereka ikut serta menjadi anggota paguyuban lawak.
“Hahaha... you mulai berani ya sama saya. Tentu! Apalagi lihat gadis cantik di sebelah saya ini!” rayunya pada Aurora, mungkin anak semata wayangnya.
“Terus, Pak!” pintaku sambil tetap fokus mengendarai mobil kali ini merayap. Cisarua di malam hari tetap berdenyut kencang. Tak ada redupnya. Beberapa mobil merayap berusaha mendaki puncak  Pegunungan Gede dan Pangrango nan gemerlap ini.
“You ini terus, terus, terus saja. Nanti lama-lama jadi tukang parkir!” guyonnya.
“Hehehe...!” komentarku menghargai guyonannya.
“Saya akan lanjutkan ya. Kempat, tetap riang gembira. Cari kesibukan yang menyenangkan. Seorang anak kadang-kadang sulit tidur ketika keesokan harinya akan piknik. Seorang anak pada malam hari resah ingin segera pagi datang agar segera bisa memainkan mainan hadiah dari orang tuanya. Itu terjadi juga pada diri saya. Pekerjaan menyenangkan buat saya adalah berbisnis sesuatu yang baru. Itu tantangan bagi saya. Setiap menjelang tidur saya berharap pagi segera tiba hingga saya bisa mengurus bisnis baru saya. Selain itu, saya suka nonton film yang jam tayangnya selalu saya nantikan. Itu akan membuat jiwa saya terasah. Saya juga karaoke yang dijadwalkan setiap minggu. Jadwal ini pun selalu saya nanti sehingga membuat saya bersemangat. Hidup akan semangat bila memiliki tujuan, impian, dan harapan.”
“Wah, wah, wah luar biasa sekali, Pak. Saya jadi banyak belajar dari Bapak,” kataku memuji dengan tulus.
“Sebentar! Ini belum selesai!” potongnya.
“O, ya. Terus, Pak...,” pintaku tak sabar.
“Terakhir, selalu bersyukur kepada Tuhan. Saya bersyukur dengan gadis cantik di sebelah saya ini yang selalu setia mengurus dan mendampingi saya. Iya ‘kan, Sayang?" ucapnya mengakhiri pembicaraan sambil mengecup kening Aurora. Hmm...!

Tak terasa, perjalanan pun tiba sampai tujuan. Mereka turun di sebuah villa mewah di perkebunan teh yang dibangun sejak zaman Belanda ini. Wah, bahagia sekali si Ayah dan Aurora yang akan mengistirahatkan dirinya dari kesibukan dan hiruk pikuk Kota Jakarta. Kembalilah aku ke tempat hiruk pikuk tersebut: Jakarta.

Beberapa hari kemudian, Aurora kembali menghubungiku dan minta dijemput di Mal Citra Grand. Eitts, mengapa si Aurora duduk di depan, di sampingku, bukan di jok belakang seperti halnya penumpang-penumpang lainnya. Aku kaget dan bertanya,
"Loh, Mbak? Kenapa kok duduk di depan?”
“Kenapa emang, Aa!? Gak suka ya?” protesnya dengan nada manja.
"Bukan gak suka sih, ya malu aja, biasanya penumpang duduk di belakang!” Tiba-tiba tanpa tedeng aling-aling, gadis manja itu memegang tanganku.
“Aa, aku punya jam tangan, mau nggak?!” tanyanya.
“Eiit, maap Mbak,” kulepaskan tangannya dari lenganku.
“Lah kenapa ngasih ke aku Mbak? Enggak ah, makasih!” jawabku menolak halus.
“Bener nih nggak mau?” bujuk perempuan berbaju seksi itu.
"Iya, Mbak, engga deh!” tolakku. Kami terdiam. Namun, aku berjaga-jaga berada di samping perempuan agresif ini. Apa pun yang kulihat dengan segala keindahan dan kemolekannya, aku harus ingat dan sadar pesan Ibu di kampung halaman: harus bisa menjaga diri. Namun, itulah hidup, terkadang, saat kita lengah, godaan itu datang lagi. Karena mobilku manual, ketika aku mengover gigi, tiba-tiba dia memegang tanganku lagi.
"Mbak, apa-apaan ini?” kagetku.
“Ini loh, Aa, aku mau pakein kamu jam tangan Fossil. Bagus kan? Ini pemberian dari si Ayah untuk Aa,” ucapnya sambil tersenyum nakal.
“Ya udah sini aku bisa pakai sendiri, Mbak. Makasih ya. Tapi saya gak enak. Saya beli aja ya Mbak!” pintaku sambil memakai jam tangan mewah itu.
“Ayah pengusaha sukses ya, Mbak!” pujiku membuka pembicaraan serius.
“Ya, begitulah. Ayah selalu menyediakan apa saja keinginanku,” ucapnya sambil matanya menerawang jauh.
Mbak sendiri kerja di mana?” tanyaku baru sadar bahwa selama ini aku tak tahu profesi Aurora.
"Aku?” tanyanya sambil menatapku tajam.
“Ya...,” jawabku risih.
“Aku kerja di Mall Citra Grand. Aku pelayan toko,” jawabnya polos tapi sungguh mengagetkanku. Bekerja sebagai pelayan toko, tapi gadget yang ia miliki semua berlogo buah apel. Berapa gajinya? Dari sang ayahkah? Sungguh jawabannya mengusung tanya dalam hati. Anak  Ayah, sang pengusaha,  kok bekerja sebagai pelayan toko?
“Aa, kita berhenti dulu yuk! Pingin kopi-kopi cantik dulu, yuk!” pintanya tiba-tiba menghentikan laju mobilku. Berhentilah kami di Starbuck sekitar Cibubur. Masih terus bertanya di dalam hati, aku tak ingin berburuk sangka. Kuikuti saja apa maunya yang kini sibuk dengan gadgetnya.
“Aa, tolong fotoin dong! Ayah pingin tahu aku sedang apa dan sedang di mana...!” pintanya. Kuikuti permintaannya. Kufoto dia beberapa kali.
“Coba lihat dulu hasilnya, A. Tekan aja Galery!” perintahnya. Kuikuti lagi perintahnya. Kusentuh aplikasi Galery. Muncullah beberapa foto yang baru saja kuabadikan. Oh, tidak. Tidak hanya beberapa foto yang baru saja kubidik, tetapi juga foto-foto sebelumnya tampil pamer di hadapanku. Di mata polosku. Di imajinasiku. Subhanallah.
Kali ini tidak kuturuti perintahnya untuk mengecek kualitas foto-fotonya. Tidak juga kuikuti perintah hawa nafsuku yang memintaku meski sekejap menikmati foto-foto indahnya. Ah...! Mengapa aku jadi begini?  Kukembalikan dengan perasaan berdebar.
Setelah selesai minum kopi, perjalanan dilanjutkan menuju apartemen Cibubur. Dan ketika dalam perjalanan menuju apartemen itulah lagi-lagi aku dibuat tak berdaya. Berhenti berpikir. Kutahu jawabannya.
"Halo, Ayah. Sebentar lagi aku sampai, kok! Tunggu ya, Ayah!” suara manja itu menjawab telepon seseorang yang dipanggilnya Ayah.
“Aku kangen kamu, Sayang! Nanti foto nude lagi ya pas sampe apartemen," suara telepon sang Ayah keluar terdengar dengan jelas di telingaku. Apa? Foto nude? Sekelebat, lewatlah imajinasiku tentang foto-toto nude yang sempat pamer tanpa sengaja di depan mataku.
Mungkin Aurora berpikir aku tidak mendengar suara dari seberang sana, suara Ayah. Namun, suara yang kukenal dengan baik itu telah membuatku semakin yakin.

Kini aku mengerti. Di Jakarta hidup memang keras. Tak sedikit orang-orang rela mengorbankan hidup dan kehidupannya demi gengsi dan tuntutan gaya hidup metropolitan yang semakin menyilaukan.  Hanya karena ingin terlihat mewah, seseorang terkadang berani menjual apa pun, bahkan harga dirinya. Potret nyata itu sungguh telah tergambar dengan jelas melalui cermin kehidupan yang dapat kupelajari: spion. (Nik & Dik)

**##**

SPIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang