Jari tengah! Identik dengan simbol makian bernuansa negatif dan merendahkan. Namun, di "Lorong Moge" kutemukan makna yang berbeda. Makna itu kudapatkan dari Om Niun. Pemilik HD Ultra yang superkeren!
"Gua dulu kerja, Ditt! Tapi penghasilan gua gak seberapa, yang ada cuma cape! Terus Gue nikah. Nah, gua pas nikah malah keluar dari kerjaan!" ujarnya suatu sore di langit Cibubur yang redup. Seredup pengalaman pertama Om Iin mengawali kehidupannya sebagai pebisnis.
"Lama-lama gua bingung, nganggur mulu! Tinggal di rumah mertua. Diomelin terus sama Nyak! Maklum pengangguran. Mana bini gua bunting, mau lahiran pula! Perlu biaya 600rb aja gua kagak bisa nyanggupin. Bujug buneng, uang dari mana? Brojolin diri kagak bisa juga! Terpaksa minta mertua," tambahnya sambil beberapa kali mengecek HP-nya, sampai dia merasa gak nyaman.
"Maaf, takut ada telepon penting dari keluarga. Si bungsu sedang sakit," risihnya. O, ow... dari keluarga? Luar biasa! Sungguh hebat! Ayah yang perhatian! Biasanya orang selevel Om Niun akan mengatakan, maaf, takut ada telepon penting masalah kerjaan!!
"Dapat uangnya, Om?" tanyaku tetap menyimak meskipun selintas tergambar perlakuan Ayah padaku, adikku, dan Ibuku.
"Boro-boro! Dah! Eh, akhirnya dapet, tapi telinga panas rasanya! Dapet uangnya seujung jari, dapat makiannya sebogem gini! Mending kalau uangnya utuh 600rb, cuma dua ratus rebu! Pan masih kurang ya?" ucap Om Niun sambil kelima jarinya membentuk bogem. "Nah dari sana gua berpikir gimana caranya membuat mereka tidak hanya memaki-maki gua terus, tapi memuji gua!"
Saat itu, juga gua pamit sama bini gua yang masih dirawat di rumah sakit habis lahiran. Gua bilang ke istri gua. Ma, Papa mau ke Jakarta ya, mau cari uang biar Mama sama anak bisa pulang."
"Terus?" tanyaku penasaran.
"Masih inget waktu gua pas mau ke Jakarta, cuma ada uang 20rb di dompet... hahaha... buat satu kali ongkos doang!" ucapnya sambil mata menerawang.
"Tapi tetap berangkat, kan, Om?"
"Ya, gua berangkat dong! Nah, saat gua mau pergi dari rumah sakit, mertua lihat dan manggil gua. 'Mau ke mana?' tanya mertua. Dengan tegas gua jawab, mau ke Jakarta, Beh! Mau cari pinjeman biar istri sama anak bisa pulang dari rumah sakit."
"Terus, apa tanggapan mertua?" tanyaku kepo.
"Mertua gua langsung bilang, 'Gak usah ke Jakarta. Udah Babe bayarin aja dah!' Di sana gua makin terpukul lagi. Udah hidup nyusahin. Sekarang anak gua lahir pun tetap nyusahin mertua. Akhirnya, gua nurut Babe," ceritanya sambil pandangan matanya kembali menerawang jauh, ke masa silam dan masa suramnya.
"Lah, Om waktu itu belum dapat kerjaan juga berarti ya...?" tanyaku menyimpulkan sendiri.
"Iya emang, gua jadi pengangguran lagi! Omelan dan makian dari Nyak sudah jadi santapan tiap hari! Nah, tapi tiga bulan kemudian, gak jauh dari rumah mertua, ada proyek pembangunan pabrik. Suatu hari, air susu bini gua kagak keluar. Lah, anak gua kagak nyusu! Gua kagak tahan dengar suara tangisan anak gua. Dari cerita inilah, gua merasa dipecut untuk berdiri dan lari. Terpaksa demi anak, gua yang kata orang tukang insinyur, akhirnya kerja ngangkat-ngangkat batu dari truk kontener ke lokasi tujuan," ujar Om Niun sambil minta maaf mau membalas pesan dari istrinya. Lalu, lelaki gagah ini melanjutkan setelah membalas pesan yang masuk ke telepon sesulernya,
"Awalnya ngangkut batu semobil truk beres, kuatlah. Lama-lama gua penasaran dengan kekuatan gua. Tanyalah gua sama mandor. 'Masih kuat, Ing?' tanyanya seolah kagak percaya dengan kekuatan gua. 'Masih!' kata gua. Tapi pas gua istirahat sebentaran buat ngrokok satu batang aja, Ya Allah buat megang rokok aja, tangan gua gemeteran. Apalagi masukin ke mulut, duuuh... tangan ini gak kuat," katanya sambil meringis seolah-olah ia kembali merasakan masa-masa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SPION
ContoSPION adalah potret kehidupan masyarakat Jakarta yang diabadikan oleh ingatan sopir taksi online ganteng, seorang pemuda pekerja keras yang kebetulan berasal dari kota kelahiran saya, Majalengka, yang kemudian dikemas dengan kreasi imajinasi sehing...