Kisah Lantai dan Plafon

36 2 0
                                    

Pagi ini langit-langit kamarku sungguh tak bersahabat. Bikin debaran jantungku lebih cepat daripada biasanya. Barusan plafon minimalis tapi manis di atas ranjangku menjatuhkan seekor cicak ke kepalaku. Astagfirallah. Firasat apa$ ini? Kata Mimi, nenekku, cicak itu binatang melata pembawa pesan, baik pesan positif maupun negatif. Ah, mitos itu. Pamali percaya sama mitos. Mendingan berpikir positif saja. Semoga sesuatu yang baik dan positif akan mendatangi hidupku pagi ini.

Kuambil gadget yang sejak tadi malam kuisi bensinnya di atas nakas samping ranjangku. Kusentuh tombol on – off pada layarnya. Kulihat beberapa pemberitahuan dari beberapa penelepon dan pengirim pesan di beberapa media sosial yang kuikuti. Hmm... ada telepon tak terjawab masuk dari Aurora. Dini hari. Hmm...! Gadis cantik memesona, tetapi mengapa engkau obral kemolekanmu? Ah, untuk apa juga kupikirkan dia. Lebih baik kuaktifkan aplikasi potret kehidupan yang bisa kunikmati dan kupelajari kemolekannya: taksi aplikasi.

Sudah menjadi kebiasaan, selalu mengaktifkan aplikasi taksi online di pagi hari. Aku selalu beranggapan, pagi itu identik dengan semangat baru. Jadi, kalau mulai bekerja di pagi hari, pasti semangat. Tak 'kan terasa lelah dan capainya.

Tuh kan, betul!! Tiba-tiba masuk orderan pertama di pagi ini. Menuju Mabes Polri. Alhamdulillah, penglaris nih, pikirku! O, ow tapi mengapa tujuannya ke Mabes Polri? Bukannya hari ini acara gelar perkara Ahok? Jangan-jangan... Hmm... Kulihat aplikasi GPS di HP-ku untuk mencari alamat penjemputan atas nama Ibu Niken. Rasanya kukenal alamat ini. Ya, benar dan ternyata alamatnya sama seperti alamat penumpang gadis manis nan sederhana itu: Renita sang pencuri hatiku. Aku pernah ke rumah itu. Segera kubergegas menuju alamat tersebut. Belumlah tiba di tujuan, seseorang meneleponku.

"Selamat siang, Pak. Saya Bu Niken," suara lembut seorang wanita kudengar membuatku nyaman. Suara seorang ibu. "Halo... halo...!"

"Astagfirallah, maap, maap, maap, ya halo Bu, selamat pagi," jawabku terlambat bicara karena sempat sejenak menikmati suara lembutnya. "Dengan Pak Ditto? Posisi di mana ya Pak?" tanyanya lagi dan kali ini bikin aku grogi karena ditelepon saat aku sedang mencari-cari rumahnya. Entahlah, tiba-tiba keceplosan logat Sundaku keluar,

"Di mana nya ieu teh, ini Bu, sayah ada di depan rumah yang ada patung harimaunya." Kudengar Ibu itu tertawa renyah.

"Euleuh... Akang teh ti Sunda geuning? Mani kaciri pisan... hahahaha!!!"

"Hehehe... sumuhun, Bu," jawabku malu. Kututup telepon dan aku pun tertawa dengan puas mumpung belum bertemu penumpangku yang satu ini. Hmm... sebentar lagi aku akan bertemu dengan ibu dari seorang gadis yang kukagumi. Hmm... mampukah kukatakan kepadanya bahwa aku mengagumi putrinya?? Waduh!!! PR besar bagiku! Mana beraniii...!!!

Eng ing eng..., turunlah aku menuju pintu gerbang rumah bernuansa Bali itu. Keluarlah bibi-bibi dari pintu gerbang. Oh, bibi-bibi itu, ya aku ingat. Aku ingat bibi itu, hmm.. lebih tepatnya asisten rumah tangga yang kocak yang dulu pun pernah mengantarkan gadis manisku yang akan berangkat ke bandara.

"Eh Bibi, ketemu lagi!" sapaku padanya. "Kumaha sehat, Bi? Iraha bade mudik ka Majalengka?" Belumlah pertanyaanku dijawab, eh malah dia sibuk juga bertanya,

"Eh, Cep Ditto nya? Kumaha damang? Eta Cep Ditto, iraha bade mudik ka Majalengka? Duka iraha mudik teh, Bibi mah! Nantilah upami gaduh cicisna Bibi mau pulang!" Lalu, Bibi itu memberitahuku bahwa aku diminta menunggu sebentar karena si Ibu masih dangdan, katanya. Lalu, keluarlah seorang ibu dengan bibir yang selalu tersenyum. Ada sesuatu yang unik kunikmati dari penampilannya. Rasanya baru kali ini kulihat penampilan seorang Ibu dengan gaya yang asyik itu. Perpaduan tradisional dan modern. Memakai kain, tetapi sepatunya boot. Memakai kerudung yang senada motifnya dengan kain yang hanya dililitkan di tubuhnya. Secara keseluruhan tampak modis sekali. Benakku berpikir, wah, ini mah foto model euy!

SPIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang