Sepertinya pagi tadi aku memukul kepala Lou terlalu keras hingga membuatnya menjadi sangat baik padaku—tapi seingatku, aku tidak memukul kepalanya. Sepulang sekolah, dia mengajakku ke sebuah kedai es krim, yang mana tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah hidup kami. Dia bahkan mentraktirku sore itu.
Kami duduk di meja di luar kedai, saling berhadapan dan sama-sama memesan es krim vanila dengan topping Oreo. Aku terus mengamatinya yang tampak menikmati es krim sesudah mengabadikannya dengan kamera ponsel. Ini sungguh aneh. Ganjil. Lou tidak pernah sebaik ini, percayalah.
"Mengapa kau tidak memakan es krimmu?" tanya Lou. "Bukankah langka sekali aku mentraktirmu makan es krim seperti ini?"
"Ya, memang langka, dan aku sedang mempertanyakan hal itu di dalam kepalaku saat ini," kataku.
Lou meletakkan sendok es krimnya dan menghela napas. "Kau tahu kan, aku dan kau sudah berusia enam belas saat musim semi lalu?"
"Tentu saja aku tahu, mana mungkin aku lupa tanggal lahirku sendiri."
"Tidakkah kau lelah bertengkar selama enam belas tahun, setiap hari?" ujar Lou. Pancaran matanya terlihat serius.
"Aku lelah, tapi menurutku kaulah yang tidak pernah lelah, sehingga kita terus bertengkar."
"Dan dengan bicara seperti itu, kau sebenarnya memulai pertengkaran lagi." Lou menyipitkan mata. Aku pun diam dan mulai menyantap es krimku. "Pokoknya, Lea, aku sangat lelah bertengkar denganmu. Kurasa enam belas tahun harusnya adalah masa berakhirnya perkelahian kita yang sungguh kekanak-kanakan."
"Kau mengatakan ini karena tidak ingin aku mengadukanmu pada Ibu, iya kan?"
Lou menggelengkan kepala. "Tidak. Sama sekali tidak. Masa bodoh bila kau mengadukanku pada Ibu," ujarnya. Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan, "uh, maksudku, ya, aku memang tidak mau kau mengadukanku pada Ibu, tapi bukan itu intinya. Kupikir, seharusnya kau dan aku menjadi saudara yang baik. Kita sudah bukan anak kecil lagi."
Aku sama sekali tak menyangka Lou bisa berbicara sedemikian serius. Setahuku, selama ini di dalam kepala anak itu hanya bermukim kekonyolan dan kenakalan yang tiada habisnya. Aku rasa dia kesurupan. Atau sakit, barangkali. Aku menempelkan punggung tanganku ke keningnya, sementara ia menatapku bertanya-tanya.
"Heran," gumamku. "Lou tidak sakit."
"Ya ampun." Lou menjauhkan tanganku dari keningnya. "Lea, aku benar-benar serius."
"Dan 'serius' adalah kata yang terdengar sangat aneh bila disandingkan denganmu, Lou."
"Terserah." Lou menyantap es krimnya lagi. "Aku tidak peduli apakah kau menganggapku serius atau tidak. Tapi yang jelas, aku tidak mau ada pertengkaran lagi di antara kita. Titik."
Aku sendiri mempertanyakan apakah itu mungkin. Membayangkan satu hari tanpa bertengkar dengan Lou terasa aneh. Well, walau aku benci sekali bila kami harus bertengkar, namun rasanya janggal bila itu benar-benar terjadi. Memikirkannya saja sudah terasa ganjil. Pertengkaran di antara kami sudah seperti rutinitas, dan orang selalu merasa aneh bila menghilangkan rutinitas secara tiba-tiba dari hidup mereka, bukan begitu?
Lou mengambil selembar tisu dan juga bolpoin dari tasnya. Dia mulai menulisi tisu itu, lalu setelah selesai, ia menyorongkan benda tersebut padaku.
"Kau harus tanda tangan," ujar Lou. Dia mengulurkan bolpoin yang tadi ia pakai padaku.
Aku menyambut bolpoin dan membaca tulisan di tisu.
Dengan ditandatanganinya surat perjanjian ini, pertempuran antara Louis dan Lea van Baar berakhir dengan damai tanpa ada persyaratan apa pun. Perjanjian ini berlaku sampai pihak yang bersangkutan meninggal dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Twin Brother Lou [Louis van Baar]
FanfictionAku dan Lou tidak kembar-kembar amat. Kami bukanlah kembar identik, namun wajah kami berdua sangat mirip. Lou punya mata biru, rambut pirang, dan hidung lancip. Aku juga sama, tapi aku bukan cowok. Lou sangat nakal dan idiot, sedangkan aku tidak. Lo...