[4] Sepatu Berlumpur dan Unicorn

1.1K 147 10
                                    

Aku terbangun mendengar nyanyian Justin Bieber

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku terbangun mendengar nyanyian Justin Bieber. Dengan kelopak mata berat, kumatikan alarm ponsel yang telah berjasa membangunkanku. Setelah meregangkan tubuh sedikit, aku melirik jam di layar. Sudah pukul sembilan pagi. Aku selalu mengatur alarmku agar berbunyi agak lebih siang pada hari libur.

Aku berjalan meninggalkan kamar dan mulai menyikat gigi di kamar mandi. Nyaris saja aku tak sanggup memandang cermin karena terlalu mengantuk. Kubasuh mukaku, memberi semangat sedikit pada kelopak mataku agar tak kendur. Lalu saat aku keluar, aku berjalan ke kamar Lou dan mengetuk pintu.

"Lou," kataku. "Bangun."

Tak ada jawaban.

Mungkin dia sudah bangun dan sedang pergi berlatih rugby. Tim rugby biasa berlatih pada Sabtu pagi dan Rabu sore. Aku pun berbalik dan menuruni tangga. Kupikir Ibu dan Ayah sedang menyantap panekuk di dapur. Namun saat aku tiba di sana, tidak ada yang makan panekuk. Dapur terlihat bersih seperti tidak ada yang menggunakannya pagi ini.

Ke mana semua orang?

Dari ambang pintu dapur, aku melirik ke arah rak sepatu dari kayu yang menjorok ke dinding di bawah tangga. Sepatu Lou yang berlumpur ada di sana. Tapi sepatu kerja milik Ayah dan Ibu tidak ada.

Saat itu kudengar deru mesin mobil di luar rumah. Aku berlari kecil ke pintu depan, masih mengenakan pakaian tidur. Kulihat sedan biru Ayah membelok ke pekarangan rumah, lalu berhenti di depan garasi. Aku berdiri di teras saat Ayah dan Ibu keluar, mengenakan pakaian yang sangat formal.

Bukankah hari ini hari Sabtu?

"Ibu dan Ayah bekerja hari ini?" tanyaku heran.

Ibu menggeleng. "Kami baru saja mengantar Lou ke sekolah barunya."

Bagaikan disambar petir, aku berdiri mematung mendengar ucapan Ibu. Aku sama sekali tak ingat kalau Lou akan pindah sekolah hari ini. Aku juga lupa kalau aku seharusnya meminta maaf dan mengucapkan salam perpisahan padanya. Napasku seakan terpotong.

Ibu dan Ayah berjalan melewatiku sambil membicarakan soal sarapan yang terlewatkan. Aku terdiam sambil merutuki diri sendiri dalam hati, karena sudah menjadi terlalu ceroboh dengan bangun terlalu siang dan tidak sempat melihat Lou untuk terakhir kalinya. Hatiku terasa ngilu. Apalagi saat benakku bertanya-tanya, apakah Lou memikirkan Perjanjian Oreo yang kami buat kemarin?

Aku berjalan masuk dan berdiri menatap Ibu dan Ayah di dapur. Ibu menuangkan kopi ke dalam cangkir Ayah, sementara panekuk berdesis di penggorengan. Ayah membaca koran dalam diam, selagi Ibu membuka jendela di dekat bak cuci piring, membiarkan cuitan burung yang saling bersahutan melayang masuk ke dapur.

Aku tak percaya Ibu dan Ayah bisa bersikap sebegitu normalnya setelah menghilangkan Lou dari rumah. Seakan wajar saja bila satu anggota keluarga kami tidak ada di sini. Sedangkan aku, merasa benar-benar kehilangan hingga dadaku sesak. Lou dan aku memang selalu bertengkar, tapi setidaknya kami selalu bersama. Pagi ini, rasanya sebagian dari jiwaku buyar. Mungkin kau akan menganggapku berlebihan, tapi begitulah rasanya saat kau memiliki seseorang yang sudah bersamamu bahkan sejak kau masih berbentuk zigot. Rasanya aku seperti tubuh yang terpisah dari kakinya. Semoga kau mengerti maksudku.

My Twin Brother Lou [Louis van Baar]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang