Ketika Senin datang, aku kembali dilanda gelombang ingatan yang buruk. Pagi ini aku selesai mengikat tali sepatuku di ambang pintu dan berteriak-teriak memanggil Lou.
"Lou!" seruku dari bawah tangga. "Ayo cepat! Kita bisa terlambat!"
Tidak ada jawaban.
"Lou! Louis!" teriakku lagi.
Ayah muncul sambil merapikan dasinya. Dia menuruni tangga dan berkata, "Kau pasti lupa ya, Lea? Lou kini berada di sekolah barunya."
Ya ampun. Aku memegangi kepalaku dan merasa bodoh seketika. Kenapa ini terus berulang? Hari Minggu kemarin aku juga berteriak di luar kamar Lou, membangunkannya. Padahal tidak ada siapa pun di dalam kamar itu.
Ayah mendekatiku dan memberiku tatapan kasihan. Ingin sekali aku marah padanya, tapi untungnya aku berhasil menahan perasaan itu sebelum benar-benar tumpah. Semua ini karena ia. Lou akan tetap berangkat ke sekolah bersama denganku bila ia dan Ibu tidak memindahkan Lou ke sekolah sialan itu.
Ayah merogoh ke dalam saku celananya dan mengeluarkan sekumpulan kunci yang terkait pada sebuah gantungan. "Kau boleh berangkat dengan mobil Lou," ujar Ayah.
Aku menyambut kunci itu dan menatapnya heran. "Apakah Ayah lupa kalau aku belum bisa menyetir?"
Ya, aku belum bisa menyetir. Ini karena aku tak pernah mengambil kursus mengemudi, sehingga tak pernah mendapatkan surat izin. Lou bisa menyetir karena Ayah yang mengajarinya, dan dia juga sudah mendapatkan surat izinnya setelah mengikuti tes. Ayah bilang dia juga akan mengajariku, tapi hingga kini hal itu hanya menjadi wacana belaka.
"Ah, benar juga." Ayah mengerutkan kening, tampak berpikir. "Kalau begitu, kau mau berangkat bersama Ayah?"
Aku menatap kunci-kunci di tanganku. Ada dua buah kunci yang terkait pada gantungan berbentuk kamera digital kecil. Kunci yang pertama adalah kunci mobil, dan yang kedua adalah kunci sepeda. Mungkin sebaiknya aku naik sepeda saja ke sekolah.
Aku menolak tawaran Ayah dan membawa kunci-kunci itu ke garasi. Sepeda Lou berwarna merah, agak jarang dipakai, namun Lou cukup sering merawatnya. Aku sendiri tidak punya sepeda karena menurutku aku dan Lou bisa memakai sepeda itu bergantian.
Aku memasangkan pelindung ke lutut dan siku, lalu mengenakan helm. Kunaiki sepeda tersebut dan melaju bersamanya di jalan. Sepeda ini tidak buruk-buruk amat. Tidak sama sekali, malah. Tak heran mengapa Lou suka sekali naik sepeda.
*
Teman baikku, Camille Anderson, keheranan saat melihatku sedang memarkirkan sepeda. Gadis berambut keriting itu menghampiriku setelah memarkirkan mobilnya yang berwarna ungu. "Tumben sekali kau datang ke sekolah dengan sepeda," ujarnya. "Mana Louis?"
Aku menghela napas dan berjalan bersamanya menuju gedung sekolah. "Dia pindah sekolah," jawabku.
"Pindah?" Camille menatapku terkejut. "Ke mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Twin Brother Lou [Louis van Baar]
FanfictionAku dan Lou tidak kembar-kembar amat. Kami bukanlah kembar identik, namun wajah kami berdua sangat mirip. Lou punya mata biru, rambut pirang, dan hidung lancip. Aku juga sama, tapi aku bukan cowok. Lou sangat nakal dan idiot, sedangkan aku tidak. Lo...