Kau bisa menebak apa yang pertama kali dilakukan Lou ketika tiba di rumah. Yap, tidak salah lagi. Makan.
Ayah sampai keheranan ketika melihat spaghetti, ayam goreng, roti isi, makaroni dan keju, serta sereal memenuhi meja makan hanya untuk Lou sendiri. "Kau lapar sekali, Lou?" ujar Ayah.
"Tidak," jawab Lou tanpa berhenti mengunyah. "Aku tidak selapar kelihatannya, Ayah. Tapi makanan seperti ini tidak kudapatkan di asrama."
Alis Ayah terangkat sebelah. "Oke," ujar Ayah sambil perlahan berlalu. Aku sendiri yang hanya menontoni Lou merasa kenyang.
"Aku tidak selapar kelihatannya kok," ulang Lou. Lalu dia membelalakkan matanya. "Aku lebih, lebih, lebih lapar daripada kelihatannya."
Lou memang kelihatan kurus sejak berada di asrama itu. Padahal sebelumnya tidak begitu. Dulu, jika kau mencubit pipi dan lehernya, kau akan merasa seperti mencubit marshmallow. Jadi, bobot tubuhnya yang berkurang memang jelas sekali terlihat.
"Ya, ya, ya. Makan yang banyak, Lou. Selagi tidak ada yang melarang," ujarku.
Setelah makan, yang dilakukan Lou adalah memeluk unicorn-nya di kamar. Dia memeluk boneka berwarna merah muda itu seperti memperlakukan belahan jiwanya yang sudah lama tak berjumpa. Aku mengamatinya di ambang pintu kamar saat ia mengelus-elus bulu warna-warni di tengkuk si kuda. Kelakuan Lou aneh sekali.
Hal selanjutnya yang dilakukan Lou adalah menyiapkan peralatan hokinya. Dalam perjalanan pulang tadi, Ayah sudah berpesan padanya untuk mengecek peralatan hoki. Mereka akan bermain hoki nanti sore. Mungkin aku juga akan ikut, tapi hanya sebagai penonton.
Tapi sepertinya hal itu hanyalah angan-angan belaka.
Ibu membawa sebuah koper kecil dan tak henti-hentinya marah-marah di telepon. Dia menggunakan kata seperti "tidak berguna", "kambing sialan", dan "perusak liburan". Pasti tentang pekerjaannya lagi.
"Kantor macam apa yang menyuruh pegawainya bekerja pada hari libur?" keluh Ayah sambil mengekor Ibu yang kini sudah bersiap dengan mantelnya. Aku dan Lou mengamati keduanya dari sofa.
"Memang menyebalkan sekali," ujar Ibu sambil menyimpan ponsel. Wajahnya masam. Ia mengencangkan mantel dan menatap Ayah. "Aku janji akan kembali secepat mungkin. Setelah itu kita bisa berlibur dengan nyaman."
Ayah tidak memprotes. Kesedihan menggelayuti wajahnya. Dia hanya diam saat Ibu memeluknya, sebelum akhirnya pergi dengan mobil yang dikendarai oleh teman wanitanya. Lou mengelus dada, lega karena ia akan lepas dari omelan Ibu mengenai kenakalannya di masa lalu—percayalah, Ibu senang sekali mengungkit-ungkit apa yang Lou dan aku pernah lakukan dalam berbagai kesempatan. Agak lama kemudian, Ayah masuk ke dalam rumah, tergesa-gesa, dalam raut wajahnya terpancar sebuah keputusan.
Ayah memasuki kamar, lalu keluar sambil menenteng sebuah tas. Aku dan Lou yang keheranan mengikutinya saat ia memasukkan tasnya ke dalam bagasi mobil.
"Ayah ingin pergi?" tanyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Twin Brother Lou [Louis van Baar]
FanfictionAku dan Lou tidak kembar-kembar amat. Kami bukanlah kembar identik, namun wajah kami berdua sangat mirip. Lou punya mata biru, rambut pirang, dan hidung lancip. Aku juga sama, tapi aku bukan cowok. Lou sangat nakal dan idiot, sedangkan aku tidak. Lo...