[8] Bebas :)

1K 150 12
                                    

Entah sudah berapa minggu Lou bersekolah di Schola Expediency, yang jelas, tak semalam pun aku pernah absen menemuinya. Dua minggu lagi libur Natal tiba dan Lou akan kembali ke rumah hingga tahun depan! Aku bahkan menghitung hari demi hari yang berlalu, tak sabar menanti masa liburan itu tiba.

Selama itu pula, Lou dan aku saling bertukar cerita melalui lubang di pagar. Lou pernah menceritakan bahwa dia dipuji setelah membacakan esainya pada "malam hiburan"—esai yang ia sebut dengan "omong kosong manis"—mengenai persahabatan di asrama dan sejenisnya. Dia juga bilang, omong kosong kadang menyelamatkan hidup seseorang, dan itu berlaku di asramanya. Aku juga menceritakan padanya bahwa aku mengikuti sarannya saat datang ke pesta dansa Halloween di sekolah—dengan mengenakan tanduk unicorn di kepala—yang sangat hemat biaya dan tidak merepotkan saat dikenakan.

Malam ini, seperti yang dikatakannya kemarin, ia akan mengajak Ronald Weasley alias teman satu-satunya yang Lou punya di Schola Expediency. Aku sedang menunggu di atas sepedaku tak jauh dari lubang berpalang besi di pagar. Sesaat kemudian, aku mendengar desisan pendek. Aku menoleh, dan Lou sedang melambai-lambai gembira.

Aku turun dari sepedaku dan menghampiri lubang. Malam itu dingin sekali hingga aku harus mengenakan dua jaket. Lou mengenakan kaus lengan panjang hingga menutupi telapak tangannya, dan melapisinya dengan baju hangat pula. Lalu di sebelahnya, kulihat seorang cowok berusaha berjinjit mengintip celah; tingginya hanya sebahu Lou, alias sama denganku.

"Lea, ini temanku yang kuceritakan padamu waktu itu," ujar Lou. "Namanya Martijn Garritsen. Dan Martijn, ini saudari kembarku, Lea, yang pernah kuceritakan padamu sebelumnya."

"Halo!" Cowok bertubuh pendek itu melambaikan tangan di atas kepalanya. Yang terlihat hanya hidung dan matanya dari sini. Dia kelihatan riang; sorot matanya sama jailnya dengan Lou.

"Halo," kataku balik. "Terima kasih sudah mau berteman dengan kakakku."

"Ucapanmu membuatku terdengar seperti tidak pernah punya teman." Lou menyipitkan mata.

Aku terkekeh. "Hari ini aku membawa keripik kentang dan soda. Tangkap, ya," ucapku seraya mengeluarkan benda yang kumaksud dari ransel. Aku melemparnya melewati pagar dan Lou, seperti biasa, mampu menangkapnya dengan baik.

"Jadi ini yang kaulakukan setiap malam, van Baar?" Teman Lou tampak terkesima saat Lou membagi soda dan keripik kentang padanya. "Tak heran mengapa kau terlihat kenyang dan tidur nyenyak setiap malam."

"Aku tak akan bisa bertahan hidup dengan makanan yang sedikit seperti di asrama, kau tahu," ujar Lou. "Dan kuharap kau makan dengan cepat, sebab kita tidak punya banyak waktu."

"Aku ahli dalam makan cepat, hei," katanya. Mereka berdua kelihatan konyol karena sama-sama memasukkan tangan ke dalam bungkus keripik, seperti berlomba makan setelah seratus tahun tidak makan.

Setelah mereka menuntaskan soda dan keripik kentang seperti orang yang kesurupan, aku punya hadiah lain: snack bar. Sebenarnya ini snack bar khusus untuk orang yang menjalani program diet, tetapi Lou bilang itu makanan yang bagus sekali karena "snack bar khusus diet mampu menekan rasa lapar lebih lama". Jadi aku melemparkannya—dua buah—dan mereka menangkapnya seperti monyet-monyet kebun binatang. Kegiatan ini benar-benar menghibur.

"Omong-omong, apa yang akan kita lakukan saat libur Natal nanti?" tanya Lou padaku sambil mengunyah. Martijn di sebelahnya kelihatan tidak bisa berbicara karena sibuk makan. Aku mulai bertanya-tanya, sebenarnya seberapa sedikit sih porsi makan mereka di asrama itu?

"Apa kau baru saja mengajakku menyusun rencana untuk libur Natal?" Aku terbelalak dan terharu dalam hati.

"Ya," kata Lou. "Kurasa aku ingin memanfaatkan waktu libur sepuluh hariku hanya dengan keluarga."

"Kau akan bermain hoki bersama Ayah, iya kan?"

"Yap." Lou mengangguk dan menggigit snack bar. "Kau tidak bisa main hoki jadi bersabarlah menjadi penonton."

Idiot seperti biasa.

"Well, mungkin kau bisa mengajariku mengemudi," ujarku. "Naik sepeda kadang membuatku pegal."

"Kau tak mungkin bisa mengendarai mobil dalam sepuluh hari," ujar Lou. "Kita belajar mengendarai mobil saat musim panas saja."

"Kalau begitu, apa rencanamu?"

Lou memutar bola mata, tampak berpikir. "Makan," ujarnya polos, lama kemudian.

"Tentu saja kau akan makan." Aku tak kuasa menahan kikik. Namun tiba-tiba aku mendapatkan ide. "Bagaimana kalau kita mencoba resep-resep masakan? Setidaknya agar aku bisa memasak."

"Aku suka itu. Oh, hampir lupa. Aku rindu unicorn-ku juga." Lou mengangguk-angguk dan menghabiskan snack bar-nya. Sementara Martijn sudah menghabiskan miliknya sejak tadi. Tiba-tiba saja, lonceng berdentang, merobek kegembiraan kami.

Setelah melemparkan kembali bungkus-bungkus makanan dan kaleng soda padaku, Martijn berterima kasih padaku sebelum keduanya berlalu. Lou menggenggam jari-jariku dan tersenyum. "Terima kasih, Adik Bodoh yang Sekarang Tidak Bodoh-Bodoh Amat."

"Hei." Aku tidak terima. Tapi Lou sudah berlari bersama Martijn dan cekikikan. Aku mengintip dari lubang, mengamati sampai Lou menghilang dari pandangan. Senyumku mencekah dan pipiku menghangat.

*

Ketika hari libur tiba, aku nyaris tidak bisa tidur karena terlalu gembira. Aku baru bisa tertidur pukul tiga pagi dan terbangun pukul enam—tanpa alarm! Itu rekor terbaru dalam hidupku!—dan seandainya aku memiliki semangat seperti ini setiap hari, kuyakin aku akan menjadi murid teladan di sekolah.

Ibu sibuk menelepon membicarakan pekerjaannya sepanjang waktu. Bahkan saat ia, aku, dan Ayah sedang dalam perjalanan menuju Schola Expediency, dia masih juga menelepon. Aku bisa membaca rasa muak di wajah Ayah yang berusaha ia tahan. Aku sendiri juga muak. Tapi tak akan kubiarkan perasaan itu mengacaukan kegembiraanku pagi ini. Di dalam kepalaku sudah terbayang apa saja yang akan kulakukan bersama Lou pada libur Natal kali ini.

Ayah memutuskan untuk tidak memasuki kawasan Schola Expediency—karena banyak sekali mobil di sana dan kami khawatir akan terjebak kemacetan. Jadi kami menunggu di luar gerbang sementara Ibu keluar dari mobil untuk menjemput Lou. Kesempatan berduaan dengan Ayah pun kugunakan sebaik mungkin.

"Ayah," ujarku. Aku duduk di kursi belakang dan sedikit mencondongkan tubuh ke depan. "Bisakah Ayah berjanji sesuatu?"

Ayah menoleh dan menatapku lembut. "Janji apa?"

"Berjanjilah tidak mengatakan apa pun pada Lou soal apa yang terjadi pada Ayah dan Ibu," ujarku memohon. "Aku khawatir ... itu akan membebani pikiran Lou dan membuatnya tidak bisa fokus pada ujian akhir tahun depan. Bukankah tidak baik bila Lou berada di sekolah itu sampai tahun sekolahnya berakhir? Bayangkan berapa banyak biaya yang Ayah dan Ibu harus keluarkan."

Aku sengaja menyinggung soal biaya agar Ayah mau berjanji—sebab orang zaman sekarang kan selalu sensitif bila menyangkut masalah uang. Pria itu tampak berpikir sejenak. Untungnya pada akhirnya ia mau berjanji. "Ya, Ayah berjanji," jawabnya. "Lou tidak akan tahu."

Aku kembali ke kursiku dan kami sama-sama menanti. Beberapa saat kemudian, kulihat Ibu muncul dengan tergesa-gesa, dan di belakangnya, terlihat Lou menenteng sebuah tas. Dari jauh pun, aku bisa membaca kegembiraan yang menyelubungi wajahnya.

Ketika Lou duduk di sebelahku, dia tak henti-hentinya menyengir. Ekspresinya seperti orang yang baru saja bebas dari masa tahanan. Aku memberikan ponselnya padanya, dan saat aku mengecek Twitter, tweet Lou muncul di lini masaku.

@/louisvanbaar Bebas.:)[]

My Twin Brother Lou [Louis van Baar]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang