[12] Penyesalan

1K 134 3
                                    

Lou bertanya-tanya sepanjang perjalanan, mengapakah aku tak henti-hentinya menggandeng lengannya di bus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lou bertanya-tanya sepanjang perjalanan, mengapakah aku tak henti-hentinya menggandeng lengannya di bus.

"Rasanya aku tak mampu membayangkan kau akan kembali ke sekolah itu dan menjadi sendirian lagi," kataku. "Tolong jangan berubah menjadi genius dan sinting ketika di sana, Lou, kau harus ingat itu. Aku akan sangat senang bila kau tetap idiot dan menyebalkan."

Lou malah tertawa hingga bahunya berguncang. Dia terlalu bahagia untuk ukuran orang yang akan segera kembali merasakan penderitaan. Kalau aku jadi ia, aku akan berpura-pura sakit agar bisa memperpanjang masa berlibur di rumah.

"Aku tidak akan berubah menjadi genius dan sinting kok," ujar Lou sambil memperbaiki posisi topi berburu di kepalanya. "Aku akan tetap menjadi aku."

Aku mengangguk dan menghela napas. Bus berhenti diiringi decit rem yang menyayat gendang telinga. Sopir bus itu, dengan suara yang kasar dan serak berteriak, "Schola Expediency!"

Aku dan Lou bangkit dari kursi dan turun dari bus. Lou menenteng tasnya dan aku menyertainya hingga ke depan gerbang. Si katak gembrot menatap kami berdua, terlihat terganggu. Aku balas menatapnya dengan pandangan jijik.

Lou meletakkan tasnya di tanah, lalu melepas topi pemberianku dan memasangkannya ke kepalaku. Dia berkata, "Sayangnya aku tidak boleh membawa topi ini ke asrama. Tolong simpan topi ini untukku, ya?"

Aku mengangguk dan memandangnya yang mengenakan sweater biru khas Expediency. Lou menepuk kedua bahuku dan tersenyum kecil. "Bilang pada Ibu dan Ayah bila mereka kembali nanti. Aku sangat merindukan mereka. Kuharap mereka mau menemuiku Sabtu depan," kata Lou. Aku mengangguk lagi dan masih menatapnya.

"Jangan memberiku tatapan sedih seperti itu, Lea." Lou memaksakan tawa dan menutupi wajahku dengan tangannya. Aku tahu dia juga sedih sepertiku. Harusnya aku memberinya tatapan yang menyemangati, tatapan yang memastikan bahwa ia akan keluar dari sekolah ini musim panas nanti. Tapi aku tidak bisa berbohong untuk urusan ini. Aku memang sedih sekali.

Lou melanjutkan. "Kau tidak perlu melihatku seperti itu. Bukankah kita akan tetap bertemu setiap malam?"

"Ya, dan kupastikan aku akan terus datang," kataku yakin.

Lou menggeleng. "Ya, tapi kuharap kau tidak memaksakan diri. Jangan datang bila kau sakit, sibuk, atau hari sedang hujan."

"Aku akan tetap datang," kataku. Aku juga ingin menambahkan "aku akan selalu ada untukmu seperti kau selalu ada untukku sewaktu kita masih kecil" tapi aku khawatir Lou akan menertawakanku dengan ucapan sedramatis itu.

"Tidak boleh. Kalau kau tetap datang, maka aku tidak akan mau menemuimu."

"Kalau begitu akan kupastikan aku menjaga kesehatanku setiap hari, menyelesaikan semua pekerjaanku agar punya waktu senggang, dan bila hujan, aku akan mengenakan jas hujan. Kau tidak akan bisa mencegahku, Lou."

My Twin Brother Lou [Louis van Baar]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang