Sepertinya, keputusan Ibu dan Ayah untuk bercerai sudah tidak bisa diganggu gugat. Kini keduanya tidak hanya pisah ranjang. Ibu kini lebih sering menginap di apartemen milik temannya, meninggalkan aku dan Ayah di rumah dalam keheningan yang menyesakkan.
"Ayah rasa," katanya saat kami makan malam berdua di rumah, "Lou harus diberi tahu soal ini."
Aku berhenti makan dan menatap Ayah. "Tidak, Ayah. Jangan lakukan itu."
"Kita tidak bisa menutupi ini darinya, Lea," ujar Ayah kukuh. "Kita tidak bisa berpura-pura bahagia sebagai keluarga di depannya setiap hari Sabtu. Lagi pula, cepat atau lambat, dia akan kembali ke rumah ini. Kau mau menanggung semuanya bila kita terus membohonginya?"
Ucapan Ayah menikamku tepat di ulu hati. Ada benarnya juga apa yang dikatakan Ayah. Lou pasti akan merasa dianggap seperti bukan anggota keluarga jika dialah yang paling terakhir tahu soal masalah ini. Aku juga tidak bisa terus terlihat bahagia di depannya setiap menemuinya.
Maka pada pukul sembilan, saat Ayah sedang menonton televisi, aku menyelinap keluar dari rumah untuk menemui Lou seperti biasa. Sepanjang perjalanan, aku memikirkan kalimat apa yang tepat untuk memulai pembicaraan serius semacam itu. Mungkin memintanya berjanji untuk tidak marah sebelum mengatakannya adalah hal yang paling tepat. Ya, mungkin seperti itu.
Ketika aku tiba di tempat biasa, angin bertiup dengan kencangnya, membuat tubuhku bergidik kedinginan. Aku menunggu dengan sepedaku tak jauh dari sebuah pohon yang kini bergemerisik tak henti-hentinya. Aku mendongak menatap langit. Tidak ada bintang yang hadir malam itu. Yang ada hanya sekumpulan awan kelabu yang menggantung, siap menumpahkan air hujan.
Aku terus menunggu selama lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit ... hingga bunyi lonceng yang biasa menghentikan pertemuanku dengan Lou berdentang. Kini aku turun dari sepeda dan mengintip melalui lubang berpalang besi. Lou tetap tidak ada. Ke mana ia?
Keesokan malamnya, aku datang lagi ke tempat yang sama dan menunggu. Menit demi menit terus berlalu. Lonceng berdentang, dan Lou sama sekali tidak muncul.
Aku mulai khawatir.
Pada hari-hari berikutnya, Lou juga tidak muncul. Padahal aku sudah membawakannya banyak makanan. Aku juga menunggunya hingga kehujanan sendirian. Tapi seperti yang pernah kukatakan padanya, aku akan tetap datang.
Aku datang lagi pada suatu malam. Hujan lebat turun, tapi aku tidak langsung pulang. Aku mengenakan jas hujan dan menunggu dengan wajah diguyur air. Sesekali aku menyeka air dari wajahku dan mengintip melalui lubang, berharap Lou muncul.
Lalu, di tengah tirai-tirai air hujan, aku bisa melihat seseorang berlari-lari mendekat. Kupaksa mataku membuka lebih lebar walau terasa pedih karena kemasukan air. Kuharap itu Lou. Tetapi ternyata bukan.
"Martijn?"
Cowok itu membawa payung dan berjinjit menatapku dari lubang. Dia berkata, "Louis bilang kau sebaiknya pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Twin Brother Lou [Louis van Baar]
FanficAku dan Lou tidak kembar-kembar amat. Kami bukanlah kembar identik, namun wajah kami berdua sangat mirip. Lou punya mata biru, rambut pirang, dan hidung lancip. Aku juga sama, tapi aku bukan cowok. Lou sangat nakal dan idiot, sedangkan aku tidak. Lo...