Mengapa aku melayang?
Mengapa ada bau Oreo?
Mengapa ada yang hangat di pipiku?
Pelan-pelan, aku membuka mata. Kucoba untuk memahami hal-hal di sekitarku: tangga, langkah kaki, bingkai foto di dinding ... ah, rupanya aku sudah sampai di rumah.
Lou menggendongku di punggungnya. Aku mengangkat kepalaku sedikit—tolong jangan bilang padanya kalau air liurku menempel sedikit di lehernya. Ketika ia mencapai lantai dua, aku kembali memejamkan mata walau tidak melanjutkan tidur.
Ia mengantarku ke kamar dan membaringkanku pelan-pelan. Selagi melepas sepatuku, dia juga membangunkanku. Suaranya rendah dan lembut. "Lea, bangunlah. Kau harus mengganti bajumu."
Aku menguap dan membuka mata. Lou duduk di tepi kasur di sebelahku. Dia menatapku, tangannya menepuk-nepuk lenganku. Aku mengangguk dan berkata, "Iya, iya, aku sudah bangun."
"Kalau begitu cepatlah ganti bajumu, kau bisa sakit," ujar Lou lagi. Aku segera bangkit dari kasur dan mengambil pakaian di closet.
"Kau tahu," ujarku, "orang sesungguhnya tidak akan sakit karena kedinginan. Tubuh kita sudah dibuat agar bisa menyeimbangkan suhu secara otomatis. Jadi berhentilah berkata, 'Bila kau kedinginan, kau bisa sakit' karena penyebab penyakit sebenarnya—"
Aku heran. Lou terlihat mendengarkanku dengan seksama. Biasanya bila aku sudah mulai mencerocos seperti itu, dia tidak akan mau mendengarkan, bahkan cenderung mengejek. Saat aku terhenti tiba-tiba, dia berkedip-kedip, menunggu lanjutan omonganku.
"—adalah bakteri dan virus," ujarku. Lalu ruangan itu dilingkupi keheningan. Aku menatap Lou, dan dia juga sebaliknya. Tingkah Lou memang jarang bisa ditebak.
"Aku ... mau ke toilet," ucapku kemudian. Lou tidak bilang apa-apa saat aku meninggalkannya. Kenapa sih ia bersikap seperti itu? Apa dia tidak mengerti bahwa orang yang diam saja itu menakutkan bila diperhatikan?
Saat aku kembali setelah mengganti baju, Lou masih ada di kamarku, di tempatnya semula. Dia beranjak sebentar saat membiarkanku berbaring di kasur, tapi untuk duduk lagi di tepi kasur. Aku menatapnya dan kini ia memegang bahuku.
"Aku tidak lupa kok dengan Perjanjian Oreo," katanya.
"Lalu mengapa kau tetap menjailiku?"
Lou menarik ujung selimutku dan menyembunyikan diri di baliknya, persis di sebelahku. Tatapan matanya terpaku pada langit-langit selagi ia berbaring menyesaki kasurku yang sudah sempit ini. Dia pun berkata, "Apa kau masih ingat saat kita kecil dulu, ketika kau sakit demam cukup lama dan aku harus berada di tempat penitipan anak sendirian?"
Aku mencoba mengingat-ingat. "Yang mana?"
"Kau sakit demam sewaktu umur empat tahun dan tidak keluar rumah lama sekali, apa kau sungguh lupa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Twin Brother Lou [Louis van Baar]
FanficAku dan Lou tidak kembar-kembar amat. Kami bukanlah kembar identik, namun wajah kami berdua sangat mirip. Lou punya mata biru, rambut pirang, dan hidung lancip. Aku juga sama, tapi aku bukan cowok. Lou sangat nakal dan idiot, sedangkan aku tidak. Lo...