[7] Kunjungan Hari Sabtu

1.4K 157 31
                                    

"Tim futbol sekolah kita menang," kataku pada Lou melalui celah malam itu. "Tim dari SMU Summertown tampak malu sekali saat kalah di kandang sendiri."

"Oh ya?" Lou berbicara sambil mengunyah roti kismis yang kubawakan untuknya. Kedua pipinya gembung seperti hamster. "SMU Summertown memang sombong sekali. Seandainya saja aku juga ikut bertanding."

"Tim futbol sangat kecewa saat tahu kau pindah, Lou," ungkapku. "Mereka ramai mendatangiku, menanyakan soal kau."

"Tentu saja. Aku kan selebriti sekolah," ujar Lou bangga.

Aku memutar bola mata. "Kata siapa? Dengan wajah jelek seperti itu mana mungkin kau menjadi selebriti sekolah."

"Kau pernah mendengar istilah 'iri tanda tak mampu', kan? Nah, begitulah kau."

Aku menjulurkan tanganku ke celah dan menyodok ujung hidung Lou dengan telunjuk. "Jangan terlalu percaya diri, dasar botak."

Lou menelan makanannya dan terkekeh. "Hei, aku tidak botak. Ini cuma cepak." Dia menunjuk kepalanya. Lalu dia lanjut melahap roti.

Aku terus berjinjit dan mengamati saat Lou makan. Hatiku lega melihatnya yang tampak senang. "Omong-omong, sekarang aku bekerja paruh waktu sepulang sekolah. Bukankah aku hebat?"

"Biasa saja," ujar Lou sambil memasang ekspresi tidak peduli yang dibuat-buat. Padahal aku yakin ia iri. Sebab dulu kami memang berencana memiliki pekerjaan paruh waktu, tetapi tak kunjung mendapatkannya.

"Kau harusnya bertanya di mana aku bekerja," ujarku.

"Di mana memangnya?"

"Di toko buku milik ayah Camille. Pengunjungnya banyak sekali. Karyawan setia ayah Camille mengundurkan diri karena sedang hamil besar, dan jadilah aku mendapatkan pekerjaan itu."

"Mengapa kau mau bekerja di toko buku? Bukankah itu membosankan? Kau berkutat dengan debu dan tulisan-tulisan yang membuatmu pusing."

Lou benar. Bekerja di toko buku ayah Camille sebenarnya sangat membosankan. Yang kaulakukan hanyalah memeriksa daftar buku, mengangkat dan menyusun buku, dan membersihkan debu-debu dari rak. Tapi ayah Camille tidak pelit dalam memberi gaji, dan karena sekarang aku harus selalu membeli makanan untuk Lou, aku menerima pekerjaan itu. Kuharap kau tidak mengatakannya pada Lou, karena kuyakin ia akan jengkel sekali jika tahu aku menerima pekerjaan yang membosankan demi ia.

"Well, tidak ada yang boleh ditolak jika itu menyangkut uang. Kecuali dengan cara yang ilegal." Aku mengangkat bahu.

"Memangnya Ibu dan Ayah tidak memberimu uang?"

"Mereka memberiku. Tapi kurasa tidak cukup. Jadi, begitulah."

"Jadi sekarang kau berubah menjadi sangat boros?"

"Iya, aku boros sekali," gurauku. Lou mengerti maksudku dan ia tertawa kecil. "Omong-omong, kau belum pernah menceritakan padaku mengapa kau berkelahi."

Mata kiri Lou kini sudah bisa terbuka, walau bekas lebamnya belum benar-benar menghilang. "Sekolah ini mirip Hogwarts, Lea. Tapi kau tidak menemukan sihir dan keajaiban. Well, mungkin kau menemukan keajaiban, seperti betapa ajaib bahwa sekarang anak-anak yang sering mendukungku adalah sekumpulan kutu buku dan semacam itu. Dan seperti di Hogwarts, ada saja anak-anak kaya raya yang memiliki kesongongan luar biasa yang hobinya mengganggu ketenangan hidup orang lain seperti yang dilakukan Draco Malfoy. Dalam kasusku, anak itu bernama Hendrick Patterson, dan dia memiliki dua orang anak buah. Mereka mengeroyokku sebagai anak baru, jadi beginilah aku."

Aku mengangguk prihatin mendengar kisah Lou. "Kalau begitu, apakah kau memosisikan dirimu sendiri sebagai Harry Potter sekarang?" gurauku.

"Kurang lebih begitu." Bibir Lou menyunggingkan senyuman. "Hanya saja tidak ada Hermione Granger di sini. Yang ada cuma Ronald Weasley."

My Twin Brother Lou [Louis van Baar]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang