6. Filosofi Uno

99 4 0
                                    

Tas!

Kartu yang dilempar Gilang jatuh dengan ganasnya ke lantai, menimbulkan suara yang familiar di kalangan pecinta kartu. Iya, cuma bunyinya aja yang ganas. Padahal permainannya cuma kartu Uno yang dijual di mas mas doang.

"Lima biru. Ada nggak?" tanya Gian pada Angga, selaku pemain selanjutnya.

"Oh, jangan pandang enteng, Gi." jawab Angga dengan tampang memuakkan, sambil mengeluarkan selembar kartu hitam plus 4.

"Syit! Mampus lo, Ky." ejek Gian sambil tertawa keras.

"Heh, yang mampus di sini tuh elo!" kilah Rizky. Ia menghempaskan kartu polos sederhana tanpa angka tertera di atasnya, tetapi begitu berarti bagi siapapun yang beruntung untuk mendapatkannya. Kartu netral.

Melihat kartu tersebut, Gian terbelalak kaget. "Njir.. Kok gitu banget sih lu orang?" tanyanya menggerutu. Sementara Gilang, Angga, dan Rizky tertawa terbahak-bahak. 

"Huu.. Makanya kalo main tuh nggak usah kebanyakan ngomong. Action, bro. Action.." ucap Rizky sok Inggris.

Gian menggaruk kepalanya yang tak gatal, meratapi nasibnya yang harus mengambil 8 kartu.

"Udah.. Nggak usah pake lama-lama lagi.. Ambil aja, Gi. Atau mau gua ambilin? Nih, nih. 1.. 2.. 3.." Tangan Angga bergerak mengambil lembar demi lembar kartu yang tertumpuk di tengah dengan semangat, sementara mulutnya terus merapalkan tiap angka secara berurutan persis anak TK baru belajar berhitung. 

Gian pun pasrah. Ia mengambil kartu-kartu tersebut sambil mendengus kasar.

"Huh, awas ya lu pada. Kena karma baru tau rasa lo." ucap Gian dengan tampang tersakiti. 

"Halah.. Bacot." balas Gilang singkat. Anggota komplotan yang satu ini memang jarang-jarang mengeluarkan suara. Tapi sekali bicara, bener-bener memenuhi persyaratan kalimat dalam Bahasa Indonesia. Singkat, padat, dan jelas. Tambah satu lagi. Perih. *eh(?)

Permainan pun berlanjut. Kelas memang lagi lengang-lengangnya karena sedang jam istirahat. Apalagi setelah masuk nanti, pelajaran pertama adalah PKN yang bikin mata terasa lengket seketika. Maka dari itu, mereka mengambil kesempatan dalam kesempitan semaksimal mungkin untuk menyegarkan otak.

"Hai, Gilang!" sapa sebuah suara ceria yang cempreng.

Ketiga lelaki di sekeliling Gilang refleks menutup telinga mendengar suara itu. Sementara yang dipanggil hanya melirik sesaat lalu kembali sibuk bermain kartu. Tanpa mereka menoleh pun, mereka sudah hafal benar siapa pemilik suara yang memekakkan telinga itu. Sela Gloria, salah satu anak tenar di SMAN 3 Jakarta.

"Duh, Sel. Bisa nggak sih kalo nyapa orang lain nggak usah pake teriak-teriak gitu? Risih tau nggak?" protes Gian.

Mendengar itu, Sela menghadiahi Gian pelototan tajam. Baru saja mulutnya terbuka sedikit hendak membalas kritikan itu, Ia memilih mengatupkannya kembali. Ia teringat, ada Gilang di sana. Lantas Ia memilih acuh tak acuh dengan perkataan Gian barusan.

Ia memalingkan wajahnya ke arah Gilang sambil tersenyum. Lalu Ia berjalan menghampiri anak pendiam itu.

"Lang, gua duduk sini ya?" tanyanya. 

No respon. Sela pun mencebikkan bibirnya. 

"Gilaannggg..." panggil Sela merajuk.

"Hm?" gumam Gilang sambil menatap Sela.

"Gua duduk di sini boleh nggak?" tanya Sela lagi.

"Terserah." jawab Gilang singkat.

Sela tersenyum sumringah. Ia pun duduk di samping Gilang lalu menonton permainan mereka.

Berdamai dengan Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang