5. What A Name

40 3 0
                                    

Feli keluar dari rumah dengan mengenakan kemeja hitam dan celana jeans hitam. Tak lupa Ia membawa bunga Mawar hitam yang telah Ia bawa tadi bersamanya.

"Ma, Feli pergi dulu ya." pamitnya pada sang ibu.

"Iya, nak. Tapi nggak papa nih pergi sendiri? Kalo mau mama bisa temenin kok." tawar ibunya.

"Enggak, ma. Nggak usah. Feli bisa pergi sendiri kok. Lagian kan mama masih mau bantuin papa menyimpan barang-barang. Jadi biar Feli pergi sendiri aja." tolak Feli halus sambil tersenyum lembut.

"Ya sudah. Kalo gitu hati-hati di jalan ya, sayang." ujar ibunya.

"Oke, ma."

Feli mencium tangan ibunya, lalu berjalan keluar dari rumahnya. Karena kompleks perumahannya tak terlalu jauh dari kuburan, Ia memilih untuk berjalan kaki menuju kuburan tersebut.

Tet tet!

Suara klakson motor terdengar dari belakang. Spontan Feli menghentikan langkahnya dan berbalik. Sang pengendara motor pun membuka kaca helmnya dan tersenyum ke arah Feli.

"Eh, Gian?"

"Hai, Fel." sapa Gian. "Lo mau ke mana?" tanyanya. Ajaib memang. Seorang Gian yang air mukanya sudah seperti pasien sakit jiwa, bisa kembali tersenyum hanya karena berjumpa dengan Feli.

"Ke... Kuburan." jawabnya dengan suara yang mengecil.

Gian mengernyitkan dahinya bingung, tak dapat mendengar suara Feli yang terlalu kecil. "Mau ke mana?" tanyanya lagi.

"Ke kuburan." jawab Feli dengan suara yang lebih besar.

"Ngapain di kuburan?" tanya Gian lagi. Matanya lalu menangkap beberapa tangkai bunga mawar hitam di genggaman Feli.

"Oh... Mau ziarah makam, ya?" tanya Gian.

Feli mengangguk pelan.

"Duh, Fel. Banyak-banyak bicara dong. Jangan cuma diem aja sama gua." pinta Gian sambil mencebikkan bibirnya.

Feli pun tertawa melihat ekspresi Gian yang kelewat imut itu. "Ih, jangan digituin mukanya. Kayak cewek aja."

Gian pun terkekeh salah tingkah. "Nggak papa... Cukup muka yang kayak cewek. Sifat dan sikap harus tetep laki." ujarnya sambil tersenyum (sok) maco.

"Eaa... Asik banget tuh kata-kata." tanggap Feli sambil nyengir kuda.

"Oh, harus..." ujar Gian dengan tampang berbangga diri khasnya. "Terus lo ke sana naik apa?"

"Jalan kaki."

"Hah? Jalan kaki? Bukannya lo biasa dianter jemput pake mobil?" tanya Gian.

"Iya, tapi gue kan baru pindah. Jadi ortu gue nggak sempet ngantar, mau beresin barang-barang dulu. Mama sih pengen nganterin, tapi entar nggak selesai-selesai ngatur barangnya. Jadi gue jalan kaki aja. Lagian nggak terlalu jauh kok." jawab Feli.

Gian melongo mendengar penjelasan gadis di hadapannya ini. Feli yang ditatap pun segera melontarkan pertanyaan yang muncul di benaknya. "Kenapa?"

"Ini pertama kalinya lo bicara sama gue, agak panjangan dikit. Selain yang di kantor administrasi pramuka buat nganter map untuk kak Juan. Selebihnya, cuma satu dua kata." jawab Gian secara terperinci.

"Segitunya lo merhatiin gue?"

"Hehe... Habisnya lo pendiem banget sih. Bikin penasaran," kekeh Gian. "Eh, daripada lo jalan kaki, mending gue anter deh. Gimana? Hm hm?" usul Gian sambil menaik turunkan alisnya.

Berdamai dengan Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang