14. Pertemuan

40 1 0
                                    

Valda mengunyah baksonya dengan cepat namun penuh penghayatan. Ia meresapi kenyalnya bakso buatan Mbak Maudy itu.

"Duh, baksonya Mbak Maudy memang nggak pernah mengecewakan. Betah gue sekolah di sini. Walaupun gurunya galak-galak, selama ada bakso Mbak Maudy tetep tahan gue." celotehnya.

Di sela-sela makannya, Ia memperhatikan gadis di hadapannya yang sedari tadi memainkan tangannya dengan gelisah. Sedari tadi Ia hanya menatap keluar kantin dengan was-was, seakan merasa terancam.

"Lo kenapa sih, Fel?" tanya Valda gemas.

Tak ada jawaban. Gadis itu masih sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri.

"Oi!" seru Valda dengan suara lebih besar.

"Eh, hah?" tanya Feli bengong.

Valda mendengus kesal. "Lo kenapa? Dari tadi gelisah banget, kayak orang kebelet pipis aja."

Feli tertawa hambar. "Enggak, nggak kenapa-napa." jawabnya.

Merasa tak menemukan jawaban yang dicarinya, Valda pun memilih untuk kembali fokus pada bakso di hadapannya daripada memberondong Feli dengan berbagai pertanyaan.

Beberapa saat kemudian, Aldi dan David ikut bergabung dengan mereka.

"Woy!" seru David setelah mengambil duduk di samping Valda.

Valda hanya melirik David sesaat, lalu kembali melanjutkan kegiatan makannya.

David berdecak. "Cuek banget sih."

Kini gantian Valda yang berdecak setelah sukses menelan baksonya. "Udah tau orang lagi makan, masih aja digangguin."

Sementara David dan Valda asyik berdebat, Aldi melirik gadis di sampingnya. Sekarang bukan hanya memainkan kedua tangannya, Feli juga menggoyang-goyangkan kakinya tak sabaran.

"Hey." tegur Aldi pelan sambil menyentuh pundak Feli ragu. Takut seandainya Ia mengagetkan gadis itu.

"Eh, y-ya?" tanya Feli.

"Lo kenapa, Fel?" tanya Aldi.

Feli terdiam sebentar. "Nggak kenapa-napa."

Aldi mengernyitkan dahinya. Jawaban dan gerak-gerik gadis itu sangat bertolak belakang. Mulutnya berkata bahwa Ia baik-baik saja, tetapi gerak-geriknya menyuarakan betapa cemas dan gelisahnya dia saat ini.

"Udah makan, Fel?" tanya Aldi lagi.

"Udah." jawab Feli kelewat cepat.

Aldi bertambah heran dengan tingkah Feli. Ia melirik novel di samping Feli yang sedari tadi tak dibukanya. Novel bersampul hitam yang sering Ia lihat dibawa oleh Feli ke mana-mana. Bukan warnanya yang membuat Aldi tertarik. Ada ratusan bahkan mungkin ribuan buku di bumi ini yang memiliki sampul dengan warna sejenis. Tetapi judul yang tertulis di sampulnyalah yang membuat Aldi tertarik.

"Fel, itu punya lo, kan?" tanya Aldi.

Seluruh gerakan Feli seketika berhenti. Pikirannya terfokus pada novel yang ditunjuk Aldi.

"I...ya. Iya, ini punya gue." jawabnya.

"Boleh pinjam bentar, nggak?" tanya Aldi.

Feli menimbang-nimbang permintaan Aldi, sebelum akhirnya menyodorkan buku tebal itu ke tangan Aldi.

Tak bisa dipungkiri, Aldi memang salah satu spesies pencinta buku, walaupun hal itu tak terlihat dari penampilannya.

Mata Aldi mulai meneliti setiap inci novel hitam polos tersebut. Novel milik Feli itu unik. Tak ada satupun tulisan yang tertera di sampul, maupun di bagian belakang buku. Benar-benar berwarna hitam polos. Aldi mengangkat sebelah alisnya. Buku yang kelewat aneh. Bahkan nama penulisnya saja tidak tercantum di sampul depan!

Berdamai dengan Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang