Terpuruk Dan Bangkit

347 24 11
                                    

Semua orang di negeri ini memakai baju hitam, kami berkabung atas ribuan nyawa yg telah gugur akibat perang.

Beribu-ribu jasad itu dikebumikan secara masal di sebuah tanah lapang di pinggir kota Millia yg dihibahkan raja untuk menghormati mereka. Keluarga para pahlawan turut hadir untuk mengucapkan salam perpisahan pada mereka yg sudah terbujur kaku di liang lahat.

Semua orang menangis termasuk kedua orang tuaku yg turut hadir. Beberapa terlihat pingsan atau berteriak histeris seperti Nyonya Vanlindha yg masih tidak menemukan jasad Andrew, hanyalah ada namanya yg tertulis di tugu batu menggunakan tinta emas. Namanya ada di urutan paling atas dari daftar nama pahlawan-pahlawan itu : 'Andrew Vanlindha Sang Pemberani'. Di sebelah namanya diberi tanda lima bintang seperti pada nama-nama jendral besar yg gugur.

Lalu bagaimana denganku? Apakah kamu berpikir bahwa aku masih menangis histeris? Tidak. Aku sudah tidak bisa lagi menangis sejak kepulanganku dari medan perang hari itu. Air mataku telah kering untuk menangisi kepergian kekasihku yg tak berbekas.

3 bulan telah terlewati. Semua orang sudah menanggalkan baju berkabung mereka sejak 2 bulan yg lalu. Tapi tidak denganku aku masih akan terus berkabung selama hatiku masih pedih saat teringat dia. Aku berpikir akan menggunakan pakaian berkabung selamanya selayaknya seorang janda yg ditinggal mati suami mereka.

Berkali-kali Ayah, Ibu, Frederick atau Skyla memarahiku. Mereka tak paham dengan sikapku. Sampai suatu hari Ayah yg sudah sangat kesal mengambil seluruh gaun hitam dari lemariku saat aku sedang mandi lalu membakarnya. Ibu menggantinya dengan lusinan gaun indah dengan warna-warna pastel favoritku. Tapi aku tak menyerah, diam-diam aku membeli gaun-gaun berkabung lagi ketika ada kesempatan keluar istana dan kali ini aku tak membiarkan siapa pun masuk ke kamarku dan menolak bantuan dari para pelayan yg hendak membantuku mandi. Akhirnya Ayah dan Ibu menyerah, mereka tetap membiarkan aku memakai pakaian berkabung.

Badanku bertambah kurus. Bukannya aku tidak makan sama sekali. Aku tetap berusaha memasukkan makanan ke dalam mulutku --rasanya seperti makan bersuap-suap siksaan-- walaupun perutku bergolak menolak makanan-makanan itu hingga aku memuntahkannya lagi setibaku di kamar.

Aku kini menemukan cara tersendiri untuk bisa bersenang-senang. Kapanpun aku merindukan dia, kuundang pemain biola istana. Walaupun tak ada yg bisa menandingi Andrewku tapi mereka cukup bisa membuatku tenang. Aku mendengarkan sambil menutup mata hingga aku tertidur. Kalau sudah begitu mimpi buruk tak akan datang seperti malam-malam lain setelah kepergiannya.

Saat malam purnama, aku tetap menunggunya di tepi sungai Dornia. Aku berharap suatu hari dia tiba-tiba datang. Berjam-jam aku betah duduk disana bersandar pada batu besar atau pohon, kadang sampai tengah malam atau kadang sampai tertidur. Biasanya Frederick yg mencariku jika sudah hampir tengah malam. Beberapa kali CannSeo juga menjemputku untuk pulang saat kebetulan Ia berkunjung.

"Clarista, kamu seperti orang mati." kata CannSeo suatu hari.

"Jika bisa aku memang ingin segera mati." jawabku ngawur.

"Sampai kapan kamu akan seperti ini? Kembalilah 'hidup' aku merindukan Claristaku yg dulu."

"Maaf, aku bukan Claristamu. Sampai saat ini hatiku tetap miliknya. Kalau kamu tidak suka kamu boleh membatalkan pertunangan kita." kataku dingin.

Tapi dia tidak pernah melakukan itu. Katanya dia akan selalu setia menungguku, sampai hatiku berpaling padanya tanpa terlalu memaksa. Dia juga berjanji akan selalu menjagaku. Berkali-kali dia --hanya dia-- yg tidak pernah bosan menasehatiku untuk kembali 'hidup' , tapi aku selalu menutup telinga. Kami berdua terjebak dalam kesetiaan yg aneh.

***

15 bulan purnama berlalu. Aku masih berkabung. Jiwaku masih saja 'mati'. Sebenarnya aku merasa bersalah karena telah menyakiti banyak orang dengan sikapku. Ayah, Ibu, Ratu AikaNhea, CannSeo bahkan terkadang Frederick. Aku masih merasa nyaman dengan diriku yg sekarang, aku tak ingin berubah karena aku takut akan melupakan Andrew jika aku berubah. Aku sudah kehilangan raganya, hanya cintanya di hatiku yg masih hidup. Setidaknya itu yg kupikirkan sampai aku berhasil dibangunkan oleh kata-kata seseorang yg lebih tegar dariku.

Miracles~Book 1: Clarist(a)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang