Aku Menyerah

669 46 5
                                    

"Kami akan selalu terus bersama sampai maut memisahkan." bersamaan aku dan CannSeo mengucap janji pernikahan.

"Setelah kalian mengucap janji, dengan disaksikan seluruh rakyat Dragonalla dan Ursya kunyatakan kalian sebagai suami istri." ucap tetua Dragonalla dengan lantang disambut gemuruh tepuk tangan seluruh orang yang hadir.

Setelahnya kami berdua ke balkon. Disana telah menanti ribuan rakyat Dragonalla, bahkan banyak pula rakyat Ursya yang turut hadir.

CannSeo mengambil buket bunga di tanganku. Ia mengurai pita dan kain yang membungkus buket itu. Kini mawar putih dan krissan merah Ursya sudah tidak terikat. CanSeo membagi dua tangkai-tangkai bunga cantik itu denganku.

Kami mendekat pada pagar balkon lalu bersamaan kami melemparkan bunga mawar dan Krissan tersebut kepada para rakyat. Tawa gembira dan sorak-sorai terdengar bergemuruh di bawah sana. Mereka berebut bunga-bunga yang kami sebar, menurut mereka ini adalah simbol anugerah. Mereka berharap mendapatkan kebahagiaan yang sama dari kedua mempelai.

Kebahagian...?

Huh...apakah ini adalah kebahagiaan? Seharusnya aku menyebar tangkai-tangkai mawar bersama Andrew, Seharusnya aku mengikat sumpah setiaku dengan Andrew, seharusnya Andrew yang berdiri di sampingku saat ini.

Bukan pria ini...

"Apa? Apakah aku sebegitu tampannya hingga kau tak berkedip menatapku?"

Aku memutar bola mata dengan kesal. Dia tidak pernah berubah. Dasar Pangeran gila!!!

Setelah seluruh rangkaian ritual dan pesta pernikahan selesai aku dan CannSeo bertolak ke Ursya. Ayah, Ibu, Frederick dan Theresya mengantar kami hingga ke depan gerbang istana. Ayah dan Ibu seolah enggan melepasku. Mereka menghujaniku dengan pelukan dan ciuman. Mereka menitikkan air mata. Rasanya baru kemarin aku menemukan kembali keluargaku. Baru sekejap saja kami berkumpul. Tapi aku sudah harus berpisah lagi Dengan mereka.

"Kau akan bahagia sepertiku Kak." Theresya memelukku hangat.

"Ya, kuharap begitu." aku mengelus perutnya yang sudah terisi benih keturunan Dragonalla.

"Kalian harus segera memberi tahuku jika sudah dekat waktunya. Aku ingin menggendong keponakanku. Dan kuharap dia lelaki."

Theresya tersenyum. "Tentu." Frederick merangkul bahu istrinya dengan sayang.

Ibu tak henti-hentinya menghapus tetesan air di sudut matanya menggunakan sapu tangan. Tapi senyuman tak pernah pergi dari wajah cantik itu. Ibu adalah yang paling bahagia dengan pernikahan ini. Walau pun aku sudah susah payah menyangkal takdir ini toh ramalan Ibu tetap terjadi.

"Walaupun kami tetap keluargamu, tapi kami bukan lagi pusat kehidupanmu, Suamimulah pusat kehidupanmu sekarang. Lahirkanlah pewaris hebat untuk Ursya. Jadilah Istri, Ibu dan Ratu yg baik."

"Tentu, Clarista akan menjadi Istri, Ibu dan Ratu yang hebat. Aku bisa melihat itu." Sejenak tatapan Ibu kosong kemudian binar-binar di matanya terbit lagi setelah beberapa kali berkedip.

"Terima kasih, Ibu, Ayah." aku pun memeluk mereka untuk yg terakhir. Kali ini aku yang tak dapat membendung air mata. Rasanya belum puas aku menerima kasih dari mereka dan sekarang aku harus pergi.

Kami berangkat dengan banyak pasukan berkuda. Semua kuda yang digunakan adalah yang terbaik dan tercepat. Hingga dalam waktu hanya beberapa jam kami telah sampai.

Setelah tiba kami melakukan berbagai prosesi penyambutan pengantin. Kemudian dilanjutkan upacara penobatan Raja dan Ratu yang baru, semua di berjalan khidmad dan lacar. Melelahkan.

Malam belum terlalu larut, tapi aku sudah lelah. Mataku sudah mengantuk. Tapi suamiku yang menyebalkan itu menarik tanganku untuk mengikutinya.

"Kita mau kemana?" tanyaku sedikit kesal.

"Jangan cemberut begitu, nanti kecantikan sang pengantin bisa berkurang. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat." Dia tampak riang, langkahnya sangat ringan. Mulutnya menyenandungkan siulan.

Langkahku berhenti saat ia mulai menaiki tangga. Ia menoleh kepadaku.

"Menara? Bukankah aku sudah pernah kemari?" dan ini tempat yang sangat memuakkan bagiku karena di tempat ini dulu laki-laki di depanku ini merebut paksa ciuman pertamaku.

"Tapi kau belum melihat pemandangan malam negeri kita. Lagi pula sebentar lagi kembang api akan disulut."

"Kembang api?" aku menimbang-nimbang sejenak. "
Hmmm...baiklah." aku jarang melihat kembang api. Jadi aku menurut saja padanya. Bukankah kembang api memang sangat menakjubkan?

"Inilah negeri kita saat malam." katanya saat kami telah tiba di puncak menara. Tangannya membentang ke arah jendela. Ia menuntunku untuk lebih dekat pada jendela.

CannSeo tak berbohong. Ibu kota Ursya kala malam sangat mengagumkan. Kelap-kelip lampu minyak dan lampion warna-warni menerangi seisi kota. Hampir tak ada tempat gelap dibawah sana. Kota ini seakan memiliki cahayanya sendiri.

"Kau akan melihat bagian yang paling menakjubkan."

CannSeo menjulurkan tangan kanannya keluar jendela, buuum... ia menembakkan api ke langit. Seketika langit jadi terang seperti siang untuk sesaat. Aku sempat menutup mata karena silau.

Setelah cahaya itu hilang aku mendengar suara seperti saat CannSeo menembakkan api lalu pyaaar... pendaran warna-warni tergambar cantik di langit. Lalu percikan-percikan apinya turun bagai salju.

"Indah..." gumamku.

CannSeo tersenyum, senyum lembut yang belum pernah ia tunjukkan. "Benar kan aku tidak bohong."

Senyumnya pun menular kepadaku. Kami berdiri dalam diam menikmati pemandangan kembang api yang ditembakkan susul-menyusul.

"Kau tahu, kenapa aku memilih hari ini sebagai hari pernikahan kita?" tanyanya tiba-tiba.

Aku menggeleng. Kulihat mata coklatnya melembut.

"Ini hari yang sama saat aku melamarmu."

Pipiku memanas mengingat kejadian itu. Benarkah ini hari yg sama? Aku tak terlalu memperhatikan. Jujur aku tak ingat tanggal berapa saat itu. Tapi CannSeo? Aku salah jika selama ini mengira bahwa CannSeo adalah laki-laki bebal tak berperasaan. Dia ternyata punya sisi lembut dan... romantis.

"Aku..." ia menatapku lekat-lekat.

"Aku memang bukan Andrew. Aku sadar aku tak akan pernah bisa menggantikannya di hatimu. Kau boleh tetap mencintainya. Aku hanya minta sedikit saja ruang di hatimu sebagai suamimu. Anggaplah aku sahabatmu, berbagilah segalanya denganku aku pun akan bersikap demikian. Dan aku telah berjanji pada Andrew akan selalu menjaga dan melindungimu menggantikan dia. Jadi kumohon berilah aku sedikit ruang di hatimu itu. Kau bersedia?"

Aku diam, bahkan tak berani menatap matanya.

"Aku hanya ingin itu, sedikit ruang di hatimu. Itu saja. Ya?" pintanya lagi. Jemariku kini sudah berada dalam genggamannya.

Pipiku semakin memanas, entah mengapa kali ini aku mengangguk. Lagipula bukankah ia hanya minta sedikit?

"Terima kasih."

Ia memelukku lembut, aku tidak lagi menolaknya. Lalu saat ia mulai menyentuhkan bibirnya pada bibirku aku pun tak berniat menolaknya karena laki-laki ini sudah menjadi suamiku. Kami berciuman di antara percikan kembang api. Kali ini ciuman kami sangat lembut tak seperti sebelumnya. Ia membuatku terhanyut semakin dalam.

Aku menyerah...

* * *

Terima kasih dan maaf untuk semua pembaca yang sudah menunggu Clarist-CannSeo-Andrew terlalu lama. Jujur aku kehilangan feel untuk menulis cerita ini lagi karena sedikit banget peminatnya. Lalu aku pindah lapak ke Historical fiction (Liliane-William) dan booom...puji Tuhan cerita keduaQ sangat diminati. Setelah itu aku promosiin cerita ini di lapakQ yg itu, eh...sesuai harapan cerita ini mulai dilirik lagi. Bikin aku semangat buat lanjutin lagi ceritanya.

Walaupun kelihatan seperti ini "akhir kisah" Clarist tapi sebenarnya bukan. Masih ada akhir yg lebih manis lagi dari ini buat dia. Next chapter barulah epilog. Makanya, tunggu y? Dan jangan lupa di-vote&komen.

Makasih banyak.
Neko Naomi Risty
27.12.17

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 27, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Miracles~Book 1: Clarist(a)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang