Epilog

107K 5.3K 58
                                    

"Dimana?"
Suara seseorang dari ujung telpon membuat Bila segera beranjak dari posisi awalnya.

"Gak tau juga gue. Gak pernah kesini sih soalnya." Bila menoleh ke arah kanan-dan-kirinya, mencari direksi arah.

"Pernahnya ke hati gue 'kan?"
Suara itu membuat Bila menoleh. Muncul senyum manis di bibir gadis itu saat melihat Rian tersenyum menatapnya. Rian mematikan telpon-nya dan memasukkan-nya ke dalam saku celananya.

"Terus, mau kemana nih?" tanya Bila lagi.

"Duduk dulu lah disini. Nikmatin alam sekitar. Cerita-cerita dulu dong tentang di Universitas." Rian duduk di sebuah kursi dan menyuruh Bila untuk duduk di sampingnya.

Sudah lumayan lama mereka tak bertemu. Karena, Universitas mereka yang berbeda ditambah dengan jadwal kuliah yang juga berbeda. Apalagi, Rian juga aktif ikut organisasi. Sehingga, hari ini adalah hari mereka kembali bertemu setelah sekian lamanya tak bertemu.

"Gimana kabar Ayah?" tanya Bila. Bila kadang menjenguk Ayah Rian untuk melihat keadaannya.

"Udah lumayan baik. Dia nanya kapan lo main lagi."

Oh, iya! Ngomong-ngomong, Bila masuk ke jurusan kedokteran. Mimpi Bila akhirnya tercapai. Ia masih ingat saat Rian menelpon-nya tengah malam untuk memberikan selamat kepada gadis itu atas kelulusannya, karena saat itu Rian sedang di luar kota untuk mengikuti sebuah seminar.

Kalau Rian, masuk jurusan teknik sipil. Menggunakan otak jeniusnya itu, Rian masih saja menjuarai kelasnya.

"Gimana? Masih banyak gak yang nembak?" tanya Bila kepada Rian.

Cewek nembak Rian? Gak ada yang salah! Semenjak Rian masuk Universitas, makin banyak yang suka sama dia. Yang membuat heran, malah ceweknya yang nembak Rian, saking sukanya mereka sama cowok ini.

"Udah gak lagi. Gue udah sering bilang, cuma ada satu cewek di hati gue," balas Rian, membuat Bila meringis.

"Geli deh." Bila menepuk pundak Rian, tertawa.

"Sebanyak dan secantik apapun cewek yang deketin gue. Masih Bila kok yang di hati." Rian merangkul Bila, tersenyum seraya menaik-turunkan alisnya.

"Serius nih?" Bila tersenyum miring.

"Serius lah!" balas Rian, diiringi tawa dari Bila. "Oh iya! Lo abis darimana tadi?" tanya Rian setelahnya.

"Gue habis dari rumah sakit tadi. Ada tugas gitu dari dosen. Disuruh periksa pasien."

"Hm." Rian termenung.

"Apa?" tanya Bila.

"Bu Dokter, mungkin Ibu harus periksa saya juga deh," canda Rian.

"Emang kenapa?" Bila tertawa lagi. "Kamu sakit jiwa, ya?"

"Bukan, Bu!" Rian menggeleng. "Kenapa ya, setiap saya liat Ibu, hati saya jadi deg-deg an gimana gitu."

Bila langsung tertawa. "Idih! Ada-ada aja deh. Makin hari makin upgrade aja noh skill gombal-nya."

Rian tertawa, sambil menoleh ke arah gadis di sampingnya itu, merasa senang bahwa dirinya bisa bersama dengan gadis pujaannya itu.

"Bil."

"Hm?" Bila menoleh ke arahnya.

Rian menatapnya dengan dalam, membuat jantung Bila berdebar. Senyum di bibir Rian melebar, membuat senyum di bibir Bila ikut melebar.

"Kita nikah yuk," ucap Rian tiba-tiba, membuat Bila membelalakkan matanya.

"Gila, ya?!" pekik Bila seakan kaget.

"Nggak!" sanggah Rian. "Gue seriusan kali! Tapi, ada tapinya nih. Bukan sekarang."

Bila menatap Rian yang sedang menjelaskan maksud perkataannya itu.

"Fokus dulu sama pelajaran dan pekerjaan kita," lanjutnya. "Makanya, nanti tungguin gue ya."

"Emangnya kenapa?" tanya Bila.

"Saat gue udah cukup mapan buat ngehidupin lo. Gue bakal datengin lo buat nepatin janji gue."

"Gue janji, bakalan ngelamar lo saat waktunya udah tepat," kata Rian. "Jadi, lo janji nggak, mau nungguin gue?"

Bila sempat tertegun, setelah itu tertawa. "Iya, Adriano Putra. Gue bakal nungguin lo."

Bila menyandarkan kepalanya ke pundak Rian dan tersenyum. Sedangkan Rian, mengusap kepala Bila dan tersenyum saat melihat gadis itu. Mereka berdua berterima kasih kepada takdir, karena telah mempertemukan mereka.

Cara takdir mempertemukan mereka itu lucu. Sebuah pertemuan yang membuat mereka bertemu. Namun, dengan perasaan saling tidak suka. Dan lagi-lagi, takdir mempermainkan mereka berdua, dengan cara selalu mempertemukan mereka dan mengikat mereka ke dalam rangkaian kejadian yang membawa dua orang yang berbeda itu menjadi lebih dekat.

Sebuah perasaan yang muncul akibat rasa benci, bisa dengan mudahnya dirubah oleh takdir menjadi perasaan suka.

Bila dan Rian, yang tak pernah menyangka bahwa mereka bisa sampai ke fase ini, berterima kasih kepada takdir. Karena, kedua orang yang awalnya hanya dipermainkan oleh takdir ini, dapat saling melengkapi meski terdapat banyak perbedaan.

Rian mengenggam tangan Bila erat, membuat gadis itu mendongak menatapnya. Rian tersenyum, diikuti oleh tawa kecil dari Bila. Keduanya saling bertatapan, tak sabar dengan lembaran kisah baru yang menanti mereka.

Epilog - End

Sweet EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang