Chapter 8 • The Devil

48 5 12
                                    

Chapter 8
The Devil

______

Seluruh ingatan Calum kembali meruak. Sirine itu yang mengingatkannya. Saat pertama kali ia tanpa sengaja membunuh seseorang dengan pistolnya, saat pertama kalin ia mencium bau anyir darah yang menjadikannya terobsesi dengan wangi yang khas menurutnya, saat pertama kali ia dikejar polisi, saat pertama kali ia meninggalkan Nia dan anak laki-lakinya, saat pertama kali ia menghirup bau besi penjara, saat pertama kalinya ia dapat menghirup udara segar setelah lima tahun berada di dalam penjara. Semuanya menjadi seperti bom yang mengacak-acak arsip di kepalanya yang seharusnya tersimpan rapi menjadi sangat berantakan.

Mobilnya melaju tanpa henti, entahlah jalan akan menuntunnya kemana, yang jelas Calum benar-benar sebal dengan Cameron. Oh, apakah ide yang bagus jika Calum membunuh Cameron?

Dering teleponnya membuatnya sadar. Ponselnya menampakkan nama Matthew di sana.

"Yo, what's up?" sapa Calum.

"Apakah kau bercanda?" tanya Matt dengan nada yang sedikit tinggi. Menyebalkan bagi Calum.

"Tidak." Calum mengabaikan reaksi tersebut.

"Aku melihatmu di CCTV, Calum," jelas Matt.

Oh, Calum baru saja ingat bahwa Matt bekerja sebagai penjaga di CCTV apartemen itu. Jika ingat, harusnya Calum memilih tidak menghabiskan banyak uang untuk membeli aplikasi menyebalkan itu.

"Uhm, Matt, maukah kau membantuku?"

"Menghapus rekaman itu?"

"Ya, dapatkah kau melakukannya untukku?"

"Sudah ku lakukan tiga puluh menit yang lalu."

Calum benar-benar bernapas lega. Setidaknya ada beberapa keadaan yang berpihak padanya. "Aku berhutang padamu, Matt." Calum mematikan sambungan teleponnya.

Baiklah, sepertinya ia akan pergi ke Seventh Avenue kali ini. Membutuhkan waktu satu jam untuk sampai di sana. Mobilnya berhenti di rumah putih bernomor 4008. Tidak, ia tidak akan masuk ke sana.

Baru saja lima menit ia berdiam di dalam mobil, suara decit pintu dari rumah itu diikuti cekikikan lelaki berumur sepuluh tahun yang asik berlarian dengan wanita berambut cokelat. Ya, Calum mengenal siapa mereka. Mereka adalah Rezie dan Nia, anak dan istrinya. Hatinya lebih tersayat lagi ketika wanita berambut pirang datang dengan senyuman lebar yang selalu ia rindukan, Mali-Koa, sedang bercanda pula dengan wanita tua berambut hitam pendek, Joy, ibunya. Bulir air matanya tertahan di matanya, tidak, ia tidak boleh menangis di sini.

Calum menghidupkan mobilnya dan berjalan menuju gedung kosong di sana. Ia menangis di dalam mobilnya, tangannya meraih dompet hitam di saku kanannya. Ia memandang foto keluarga di sana. Keluarga yang baik-baik saja, keluaga yang bahagia, keluarga yang sangat Calum pimpikan, sayangnya Calum tidak dapat mempertahankannya lebih lama. Kini semuanya hanya angan bagi Calum.

Ia harus tidur, ya, Calum harus tidur agar tidak bertindak macam-macam. Karena setiap Calum bersedih, semuanya menjadi berantakan karena ia berusaha untuk melupakannya, bahkan dengan cara yang salah sekalipun. Namun suara mobil membuat Calum berubah pikiran. Ia melihat lelaki dan perempuan sedang berjalan masuk ke gedung di depannya. Tidak lama kemudian diikuti dengan mobil merah yang parkir tepat di depan mobilnya.

Ia mengambil pistolnya, berjaga-jaga jika pengemudi di depan mobilnya mengancam nyawanya. Bagaimanapun ia harus tahu siapa lelaki ini. Tidak lama kemudian, manusia berbaju hitam dengan lengan yang di tekuk asal keluar dari mobil merah itu. Calum berjalan perlahan, kemudian meletakkan pistolnya di belakang kepala lelaki itu.

BAD GUYSWhere stories live. Discover now