Hubungan Jeong Do dan In Hye kembali membaik, bahkan tambah mesra seperti pengantin baru. Hal ini menimbulkan kecemburuan di dalam hati Mi Ran. Dia memang tahu posisinya sebagai selir dan selama ini Jeong Do memang tidak pernah mencintainya. Mereka hanya melakukan hubungan suami istri sebagai kewajiban, bukan atas dasar kasih sayang.
Suatu hari Selir Kim mengunjungi Mi Ran. Mi Ran yang tak dapat menyembunyikan raut kesedihannya, akhirnya mencurahkan isi hatinya kepada bibinya itu.
"Oh, malang sekali nasibmu, keponakanku. Baiklah, kapan-kapan mainlah ke kediamanku. Aku akan memberikan sesuatu yang mungkin bisa membantumu."
***
Karir politik Jeong Do semakin bersinar. Jeong Do lebih sering berada di luar istana, dekat dengan rakyatnya. Dia memecat para menteri dan petugas yang korupsi, lalu mengembalikan uang rakyat yang diperas dengan alasan pajak. Dirinya banyak dipuji rakyat sebagai pangeran yang bijak dan baik hati. Pada acara-acara kerajaan, Jeong Do juga mampu berpidato dengan baik. Jeong Do juga dekat dengan para mahasiswa dan guru Sungkyunkwan. Dia juga terbuka dengan ajaran-ajaran Eropa yang modern. Dibandingkan Raja Yongjong yang anti-barat, Jeong Do justru senang mempelajari segala perkembangan zaman, ilmu-ilmu dari Eropa. Ia bahkan memiliki pemikiran untuk menghapuskan sistem kasta.
Meskipun dipuji rakyat, para bangsawan dan menteri tidak menyukainya, terutama Klan Kim yang saat itu menguasai perdagangan dan keuangan di Joseon. Bila Jeong Do menjadi raja, mereka pasti tidak bisa lagi melakukan korupsi dan monopoli perdagangan yang selama ini mereka lakukan.
Beruntung mereka memiliki Raja yang anti dengan ajaran barat. Ketertarikan Jeong Do dengan ajaran barat bisa dipergunakan oleh mereka untuk menjatuhkan sang pangeran. Belum lagi Raja memiliki satu putra lagi dari Selir Kim. Meskipun masih kecil, Klan Kim berharap pangeran kecil itu yang akan mewarisi kerajaan, sehingga Klan Kim dapat semakin berkuasa. Para bangsawan Klan Kim pun mulai mengirimkan petisi-petisi untuk menurunkan tahta Putra Mahkota Jeong Do.
***
Tabib memeriksa denyut nadi In Hye. Sudah seminggu In Hye tidak nafsu makan. Semua makanan yang masuk ke mulutnya selalu dimuntahkan kembali. Wajahnya pucat dan suhu tubuhnya agak demam.
"Bagaimana?" tanya Jeong Do.
"Selamat, Jeoha, Bin-goong-mama sedang mengandung."
Jeong Do sangat bahagia, ia segera memeluk erat istrinya, sementara In Hye malah bengong.
"Terima kasih... terima kasih, Sayang..." ucap Jeong Do dengan wajah sumringah.
Perlahan tangan In Hye menyentuh perutnya yang masih datar. In Hye tidak tahu harus memberikan ekspresi seperti apa. Ia bahagia, namun juga khawatir. Maklum, calon ibu baru, belum lagi usianya yang masih muda, masih enam belas tahun, masih bingung, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
"Kim Sanggung, cepat siapkan segala macam makanan bergizi," perintah Jeong Do.
In Hye buru-buru menahan, "Tidak usah, aku tidak bisa makan. Mendengar kata 'makanan' saja aku sudah mual."
"Tidak boleh, kau harus makan yang banyak, supaya bayi kita sehat. Kalau begitu, kau ingin makan apa? Meskipun harus keliling dunia, aku pasti akan mendapatkan makanan yang kau inginkan."
In Hye melongo takjub, lalu kemudian tertawa. In Hye berpikir sejenak, "Hm... sepertinya aku ingin bubur kacang pinus buatan ibuku."
"Kim Sanggung, kirim seseorang untuk membawakan bubur kacang pinus buatan Nyonya Hong."
"Baik, akan segera hamba laksanakan," kata Kim Sanggung yang tersenyum turut bahagia.
***
Hari sudah hampir gelap. Mi Ran mengunjungi kediaman Selir Kim.
"Jadi kau penasaran dengan solusi yang akan kuberikan?" tanya Selir Kim.
Mi Ran mengangguk. Selir Kim mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam lacinya.
"Apa ini, Hui-Bin-Mama?"
"Aku memberikan setetes demi setetes selama lima tahun kepada mendiang Ratu Cheong Hwa hingga beliau meninggal."
Mi Ran terkejut, "A... apa itu... racun?"
"Bila kau meracuni seseorang dan orang itu langsung mati, pasti kau akan dicurigai. Tetapi racun ini menggerogoti perlahan-lahan, sehingga tidak akan ada yang tahu bahwa tubuhnya diracuni."
Mi Ran menggeleng kuat, "Tidak, saya tidak mau."
"Kau tidak ingin mendapatkan Putra Mahkota untuk dirimu sendiri?"
Mi Ran terdiam dan tampak sedang berpikir. Kemudian Selir Kim memberikan sebuah bungkusan.
"Perdana Menteri menyuruh untuk meletakkan ini di dalam kamar Putra Mahkota. Lakukan diam-diam, jangan sampai ketahuan."
"Apa ini?"
"Kau tidak perlu tahu."
***
Meskipun ibu In Hye telah memasakkan bubur kacang pinus spesial untuk In Hye, wanita itu masih merasa mual saat makan. Ia hanya bisa menghabiskan tiga sendok.
"Ayo, satu sendok lagi," pinta Jeong Do sambil menyuapkan bubur.
In Hye memakannya, tetapi tiba-tiba memuntahkannya, "Aku tidak sanggup lagi..."
"Oho, anak nakal, masih belum lahir sudah menyusahkan ibumu!" omel Jeong Do kepada janin di perut In Hye.
In Hye tertawa atas kelakuan konyol suaminya, "Jangan marah-marah, nanti bayinya kaget."
"Maafkan ayah, ya," kata Jeong Do sambil mengelus-elus perut In Hye. "Kau harus membiarkan ibumu makan yang banyak, supaya kau tumbuh menjadi putri yang sehat dan cerdas."
Kening In Hye berkerut, "Putri?"
"Iya, putri."
"Bukankah seharusnya aku melahirkan putra?"
Jeong Do menggeleng, "Aku tidak ingin anak laki-laki."
"Mengapa? Anda harus memiliki anak laki-laki sebagai pewaris."
"Jika dia terlahir sebagai lelaki, maka dia akan bernasib sepertiku. Abbamama pasti akan mendidiknya sama seperti mendidikku. Dia akan menderita. Tetapi jika dia perempuan, hidupnya akan lebih baik."
"Jeoha, ayahnya adalah dirimu, bukan Jeonha. Kaulah yang akan mendidiknya."
***
Sementara itu Mi Ran termenung di dalam kamarnya sambil memandang botol kecil pemberian Selir Kim. Kemudian ia bergidik dan menyimpan botol itu di dalam laci. Ia mengambil bungkusan titipan Perdana Menteri dan beranjak menuju kamar Jeong Do. Kamar itu sepi dan gelap. Mi Ran mendengus, pasti Putra Mahkota sedang bersama Putri Mahkota lagi.
Mi Ran meletakkan bungkusan itu di dalam lemari. Saat keluar dari kamar, ia terkejut karena Jeong Do sudah berdiri di hadapannya.
"Sedang apa kau?"
"A... itu... hm... Saya mencari anda, tetapi ternyata anda tidak ada di kamar."
"Ada perlu apa?"
"Saya... saya..." Mi Ran menengadahkan wajahnya, "Saya merindukan anda, Jeoha."
"Kalau tidak ada yang penting, tidak usah kemari," kata Jeong Do seraya berlalu meninggalkan Mi Ran.
"Mengapa? Mengapa saya tidak boleh bertemu anda ketika saya merindukan anda?"
Jeong Do berhenti melangkah, masih membelakangi Mi Ran ia berkata, "Kau tahu siapa yang berada di dalam hatiku."
Mi Ran menoleh, matanya berlinang air mata, "Tidak adakah sedikit celah untukku?"
"Maaf," kata Jeong Do seraya masuk ke dalam kamar dan pintu ditutup oleh kasim.
Mi Ran kembali ke kamarnya dengan menghentak-hentakkan kaki. Ia mengambil botol racun dari dalam laci. Matanya penuh dengan amarah.
To Be Continue
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crown Princess ✔
Historical FictionTrigger Warning!! Mengandung unsur kekerasan (meskipun aku berusaha membuatnya tidak terlalu eksplisit) . . . Dipilih menjadi Putri Mahkota, pendamping dari Putra Mahkota Raja? Siapa yang tidak mau? Itu adalah impian para gadis! Akan tetapi ketika...