16. Sudden News from Dictactor

18K 1.4K 39
                                    

Emily melihat pesan singkat di ponselnya sambil mengernyitkan alisnya heran. Sudah dua tahun dia tidak pernah mendapatkan apapun dari lelaki tua itu termasuk kabar darinya, kecuali kiriman uang setiap bulannya.

Dan pesan singkat itu mengganggu hari tenangnya.

Hari minggu depan pesta pertunangan kamu dan bulan depan kamu akan menikah. Asisten Papa akan telepon kamu segera.

Dengan siapa dia akan menikah dan apa tujuan ayahnya dengan menikahkan dia cukup membuatnya penasaran, walau dia yakin dia tidak perlu membalas pesan tersebut untuk bertanya karena sebentar lagi orang kepercayaan ayahnya akan menghubunginya terlebih dahulu.

Namun satu minggu untuk pertunangan dan satu bulan untuk pernikahan terasa terlalu terburu-buru untuknya. Pada saat kakaknya ditunangkan dengan istrinya yang sekarang saja, kakaknya sudah mengetahui lebih dahulu setahun sebelumnya. Dan dia hanya punya waktu satu bulan.

Emily tahu suatu saat pesan ini akan muncul cepat atau lambat. Dia hanya tidak menduga Teddy ada dalam hidupnya saat pesan itu mendatanginya.

Bukan. Bukan pesan singkat itu yang mengganggu hidupnya. Teddy yang membuatnya merasa pesan itu mengganggu hidupnya. Dan tanpa disadarinya, Emily menghela napas panjang.

Ponselnya kembali berbunyi dengan nomor asing yang tidak dikenalnya. Nomor panggilan dari Indonesia.

Emily mengangkat panggilan tersebut.

"Halo mbak Emily, saya Ichsan, asisten pribadi Bapak Johan."

"Ya," jawab Emily datar.

"Sesuai perintah Pak Johan, saya sudah pesankan tiket pesawat ke Jakarta, nanti akan saya kirimkan ke email Mbak Emily."

"Oke."

"Untuk calon Mbak Emily namanya Mas Reza. Usianya dua puluh tujuh dan beliau putra kedua Bapak Budiman, ketua partai Nasional."

Emily sudah mendapatkan lebih dari cukup jawaban yang perlu diketahuinya. Lelaki itu putra dari Partai yang akan bekerja sama dengan Partai ayahnya, dan pernikahannya tentu diperlukan untuk mengikat hubungan keduanya.

"Saya juga akan mengirimkan foto calon suami Mbak melalui email."

"Nggak perlu," kata Emily singkat.

Emily merasa tidak lagi perlu melihat siapa lelaki yang akan dinikahkan dengannya. Toh bagaimanapun lelaki itu akan menjadi suaminya.

"Perintah Bapak, saya harus mengirimkan foto dan beberapa data mengenai Mas Reza kepada Mbak Emily."

"Ya udah, terserah saja," kata Emily tak acuh.

"Nanti kalau ada yang mau ditanyakan, bisa hubungi saya di nomor ini ya, Mbak. Terima kasih."

Emily mematikan sambungan ponselnya. Lagi-lagi dia menghela napas panjang.

"Who was it? Any problem?" tanya Suzie yang dari tadi memperhatikan Emily.

Camille juga menunggu sama penasarannya. Mereka sedang minum-minum bersama di Vault. Tidak ada yang pernah menelepon Emily menggunakan bahasa asal Emily kecuali Teddy selama ini. Dan baik Camille maupun Suzie tahu bahwa barusan Emily bukan berbicara dengan Teddy, karena Emily tidak pernah berbicara dengan lelaki itu menggunakan ekspresi sedatar dan selesu barusan.

"Nothing," jawab Emily singkat. Dia malas dan tidak berminat menjelaskan. Kepada siapa pun itu.

Bagi Emily tidak ada masalah yang berarti dari pembicaraan barusan. Semua yang barusan disampaikan asisten ayahnya adalah hal yang wajar dan seharusnya terjadi. Tapi entah kenapa Emily merasa sesak. Sesuatu mengganjal perasaannya dan membuat hatinya sakit. Hati yang seharusnya sudah mati.

Emily's LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang