Emily menarik kain brukat yang melekat sangat sempurna di tubuhnya dengan tidak nyaman. Jelas kebaya tidak akan pernah menjadi pakaian favoritnya. Dia merasa sesak, gerah dan sulit bernapas. Rasa laparnya bahkan sudah hilang karena terlalu ketatnya kemben yang mengikat tubuhnya. Dia tidak ingat kapan terakhir kalinya dia mengenakan pakaian seperti ini, karena dia menolak untuk mengenakannya saat wisuda kelulusan sarjananya dan dia tidak pernah hadir dalam acara resmi apapun yang harus mengenakan kebaya.
Rambutnya juga tertata dengan rapi sesuai keinginan ayahnya. Dia bahkan dilarang untuk menggaruk rambutnya yang terasa gatal karena akan membuatnya berantakan. Rambut Emily ditarik rapi ke belakang dan hanya menyisakan poninya yang jatuh dengan tertata.
Emily melihat wajahnya sendiri dari pantulan cermin. Mau tidak mau dia kagum dengan penata rias yang bisa menyamarkan bintik-bintik merah di wajahnya dengan sangat sempurna. Wajahnya nampak mulus tanpa satupun bintik di permukaannya, sesuatu yang memang selalu diharapkannya untuk berubah dari wajahnya.
Namun entah kenapa dia tiba-tiba begitu menginginkan bintik di wajahnya itu kembali. Teddy menyukainya. Teddy selalu mengecup hidung dan pipi berbintiknya dengan gemas, dan kehilangan bintiknya membuat Emily merindukan lelaki itu.
"Kamu kelihatan cantik, Emily."
Emily bergidik mendengar suara dari belakangnya. Seharusnya dia sendiri di ruang rias ini. Namun entah kenapa suara yang paling tidak ingin didengarnya malah yang harus muncul saat ini. Suara yang selalu hadir dalam mimpi buruknya saat kecil.
Emily memasang wajah datar saat menengok walau jauh di dalam dirinya dia gemetar karena takut.
Wajah tampan seorang lelaki berusia tiga puluhan menyeringai sambil bersandar di samping pintu, yang sialnya merupakan satu-satunya pintu keluar untuk Emily melarikan diri. Wajahnya tidak berubah banyak semenjak Emily bertemu dengannya beberapa tahun yang lalu, kecuali garis-garis kedewasaan yang semakin muncul di setiap lekuk wajahnya, dan membuatnya semakin mirip dengan ayahnya, orang tua mereka. Dan itu semakin membuat Emily mual.
"Kamu seharusnya nggak boleh ada di sini, Ethan." kata Emily dingin.
"Aku lebih suka waktu kamu manggil aku 'kak Ethan', sayang. Seperti waktu dulu," Ethan masih tersenyum dengan senyuman yang membuat Emily mau muntah.
Kata 'dulu' yang keluar dari mulut lelaki itu membuat Emily ingat akan masa lalu, dan dia tidak suka rasanya.
Emily berdiri dari tempatnya duduk dan beranjak menghampiri lelaki itu untuk melewatinya menuju pintu keluar. Dia harus memberanikan diri untuk pergi dari sana. Dia tidak mau berada di tempat yang sama dengan lelaki itu lebih lama lagi.
Ethan mencengkram lengan Emily dengan kuat saat gadis itu berusaha melewatinya.
"Kamu mau kemana, sayang?" tanya Ethan dalam bisikan ke samping telinga Emily, membuat gadis itu bergidik.
"Lepas, sebelum aku laporkan ke Papa." Emily berusaha menarik lengannya sambil memberikan tatapan tajam penuh antipati kepada lelaki itu. Dia tidak tahu gertakannya akan berhasil atau tidak karena yang penting dia berusaha.
Ethan hanya tersenyum semakin senang menikmati tatapan tidak bersahabat wanita di depannya.
"Emily yang penurut menyenangkan, tapi Emily yang pembangkang seperti ini juga nggak kalah menarik." Ethan kembali mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga gadis itu, "Kamu bikin aku bergairah, Emily sayang."
Emily merinding mendengar kalimat vulgar barusan.
"Kamu sakit!" kata Emily menjauhkan tubuhnya, "Aku kira kamu udah sembuh setelah menikah dan punya anak. Tapi ternyata sakit kamu makin parah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Emily's Lover
RomanceThis is a story about Teddy and his first love. Sekuel dari Relationship. Berlatar cerita di California, di mana Teddy mengejar cinta pertamanya, Emily, yang enam tahun lebih tua darinya, gadis unik dan penuh misteri. Cerita ini bergenre dewasa. Buk...