Aku melangkah cepat menuju toilet. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 3. Ah, sial. Padahal sedang seru-serunya pelajaran Bu Aniek--pelajaran Matematika. Seharusnya, aku masih bisa menikmati Matematika tanpa terlewatkan sedikitpun.
Ah sudahlah, aku harus cepat menuju toilet dan cepat kembali ke kelas.
Sepi, semua orang sedang berada di dalam kelas. Tak ada satupun yang keluar dari kelas. Kalaupun membolos, mereka pasti sedang berada di kantin. Terlebih lagi sudah pukul 3 dan sisa 1 jam untuk melanjutkan pelajaran. Pasti semua orang sedang menanti bel tanda kemenangan.
Aku terus melangkah hingga saat ini aku berada di toilet. Toilet juga sepi, tak ada orang. Aku langsung menuju ke bilik untuk buang air kecil. Selesai buang air kecil, aku perlahan membuka pintu bilik. Namun, gerakanku terhenti ketika kudengar suara tapak sepatu yang menggema di seluruh toilet. Kok perasaanku jadi tak enak?
Ah, untuk apa aku takut? Paling hanya siswa lain yang ingin pergi ke toilet. Kali ini aku ke luar dari bilik. Kulihat seorang cleaning service bertopi sedang mencuci tangannya di westafel. Aku tak bisa memperhatikan wajahnya dengan jelas karena ia menunduk dan tertutup topi. Bajunya terlihat besar, tak sesuai untuk tubuhnya yang tidak terlalu besar. Ia kemudian memasang sarung tangannya perlahan dan memasang sebuah masker. Aku tetap tak bisa melihat wajahnya yang membelakangi diriku. Terlebih lagi ia terus menunduk. Sempat kutangkap sosok bayangnya yang terpantul di kaca. Sepertinya, aku mengenalinya?
Aku terus berusaha melangkah keluar, namun tiba-tiba lenganku ditarik. Tunggu, kenapa lenganku ditarik? Brukkk!!! Ia menjambak rambutku dan menghantupkannya dengan kuat pada westafel.
Sial... argghh... kepalaku pusing... aku bahkan tak bisa berteriak, sibuk meringis dan syok. Kupegangi kepalaku, berdarah. Aku terjatuh di lantai.
Aku berusaha bangun dan berteriak--walaupun dalam kondisi lemah, namun ia langsung menutupi mulutku dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari saku celananya. Tubuhnya kuat, ia menyulitkanku saat bergerak. Ia naik dan menindih tubuhku.
Dengan sigap ia menutup kencang sapu tangannya--yang lebih terlihat seperti slayer--ke mulutku, "Kalau kamu berteriak sedikit saja, aku akan membunuhmu." Ia mengacungkan pisau mendekati leherku. Dengan bodohnya aku menurut tanpa bersuara, namun air mataku keluar karena ketakutan. Tubuhku jadi lemas setelah kepalaku membentur westafel, terlebih lagi ia langsung duduk di atas perutku, membuatku tak bisa bergerak sekuat apapun. Ia mengikat kaki dan tanganku dengan kuat. Sebelumnya, ia juga sudah mengikat slayer itu dengan kencang. Ah, kepala ku bertambah sakit. Wajahnya jadi terlihat banyak di mataku.
"Jubah merah atau kue?" ucapnya. Aku tak bisa mendengar dengan jelas ucapannya.
"Kalau begitu, jarum saja dulu." Suara ini... aku sepertinya pernah mendengar suara ini. Dimana?
Ia mengeluarkan sebuah jarum dan benang berwarna hitam. Ini maksudnya apa? Tunggu... tunggu... dia mendekatkan jarum itu ke mataku. Aku tambah membelalak. Apa yang kamu lakukan!!!
"Tutup dulu matamu serigalaku," ucapnya. Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Namun dengan paksa tangan kirinya menutup mataku dengan kuat, kemudian perlahan ia tusukkan jarum ke kelopak mataku.
SAKITTTT ARRGGHHHHHH!!! aku memekik sekuat tenaga namun suaraku teredam sapu tangan ini.
Satu tusukan, perih.
Dua...
Tiga...
Arrrghhh sialll sekuat apapun aku berusaha memekik ia tak peduli, ia terus berulang-ulang memasukkan jarum itu pada kelopak mataku hingga mata sebelah kananku tertutup sepenuhnya dan tak bisa terbuka. Keringat dinginku keluar bercucuran menahan rasa sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon a Time (Dahulu Kala)
Mystery / Thriller[COMPLETE, TERSEDIA DI GRAMEDIA, SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS]Dongeng memiliki sisi gelap, terutama bagi mereka yang tak suka akhir bahagia. Mereka membuat dongeng sendiri. Namanya Gleen Warren Rajendra. Tampan, jenius, introvert, cold, namun begitu...