39. Mimpi Buruk

70K 6.6K 1.2K
                                    

Gleen membuka pintu rumahnya. Rintik hujan turun, lampu ruang tengah sesubuh ini sudah menyala. Ah... ia hampir lupa, Ayahnya pasti sudah pulang.

"Gleen?" Itu Ayahnya, menyambut Gleen dengan tatapan ragu sekaligus sangat khawatir.

Gleen tersenyum simpul. Setelah ini pasti ia akan dihujani banyak pertanyaan oleh Ayahnya.

"Is that you?" Tanya Ayahnya memastikan. Wajah Ayahnya kelihatan sangat kusut sekaligus takut dan khawatir.

"Yes, Dad."

"Darimana aja kamu? Ayah khawatir sekali. Tadi... Leya telepon... Ayah cari kamu kemana-mana, pas Ayah telpon Leya lagi, dia gak angkat. Kamu gak papa?" Sebelum Gleen mengangguk, Ayahnya sudah membuka jaket Gleen, "apa ada yang sakit?"

"Gak ada Ayah..."

Ayahnya seakan tahu apa yang harus ia lakukan. Ia menarik lengan baju Gleen ke atas. Tangannya telah ditutupi beberapa hansaplast dari bagian lengan di atas siku hingga hampir ke nadi. Ada 4 hansaplast yang berarti ada 4 luka goresan. Wajah Ayah Gleen semakin khawatir, "Jeo?"

Gleen menutupi lukanya dengan memanjangkan lengan bajunya lagi, "cuma luka kecil." Ia memang tak merasakan sakit apapun. Mungkin karena beban di kepalanya jauh lebih memberatkan dibanding harus memikirkan rasa sakit pada luka kecil ini.

Ayahnya menghela nafas keras, "kita harus ke Jepang."

"Gleen gak bisa pergi sebelum menyelesaikan semua masalah yang ada di sini. Lari ke Jepang sama aja lari dari masalah, Yah."

"Tapi kamu-"

"I'm okay, Gleen lagi berada dikondisi terbawah. Itulah sebabnya mereka muncul. I swear, setelah ini mereka gak akan bisa muncul. Gleen sedang mencoba bangkit. Obat Gleen-"

"But we need Doctor Gerald. Ayah... Ayah gak mau kalau semakin banyak masalah yang menghampiri kamu karena kemunculan mereka. Obat aja gak akan mempan. Dan... Gleen... Ayah ingin kamu bisa ngerasain menjadi remaja normal, yang sewajarnya..." Mata Ayah Gleen mulai berkaca-kaca, "Ayah sayang kamu. Dan Ayah gak mau sama sekali kamu terluka. Ayah bisa berhenti kerja dulu. Ayah gak mau ninggalin kamu sendirian..."

Gleen memegangi pundak Ayahnya, "Ayah... yang Gleen butuhkan sekarang adalah kebenaran. Gleen gak akan pernah sembuh sebelum Gleen bisa tahu kebenaran dan kenangan apa yang berusaha mereka tutupi. Gleen... harus menerimanya. Itulah yang akan menyembuhkan Gleen. Dan tolong jangan berhenti kerja, Ayah. Gak cuma Gleen yang butuh Ayah, semua orang butuh Ayah, terutama polisi. Kalau Ayah berhenti, Gleen gak akan bisa memaafkan diri Gleen sendiri..."

"Gleen..."

"Ayah... i'm just too tired. Gleen sudah lelah dengan semua ini. Itulah sebabnya, Gleen harus benar-benar mencari kebenaran. Kalaupun Gleen memang seorang pembunuh, i've to deal with it." Gleen memaksa senyumnya, "sekarang, Gleen mau nanya, apa Ayah bisa ngebantu Gleen?"

"Tentu saja... apa yang kamu inginkan, Nak..."

"Kenapa Ayah meminta Gleen masuk SMA Mentari?"

Ayah Gleen terdiam sebentar, mencoba mencerna ucapan Gleen. Ia menatap Gleen lamat-lamat, "karena kamu yang minta."

Gleen diam. "Gleen gak pernah minta..."

"Iya, kamu yang minta waktu itu."

Gleen menutup matanya sebentar, "apa Ayah sudah memastikan kalau itu Gleen? Bukan 'mereka'?"

Ayah terdiam lagu beberapa detik. "Waktu itu... sedang sarapan. Kamu bilang ingin sekolah di SMA Mentari. Ayah tanya kenapa? Padahal kamu seharusnya pergi sekolah ke London. Kamu diam, terus bilang 'ada sesuatu yang harus kamu selesaikan'. Ayah gak bertanya lebih lanjut, Ayah pikir mungkin berhubungan sama kasus kamu yang baru, jadi Ayah ijinkan."

Once Upon a Time (Dahulu Kala)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang