38. Siapa Kakak?

58.6K 6.6K 989
                                    

"Je-Je... Jeo?"

Sial...

Terdengar suara tawa 'perempuan' di ujung sana. Suara yang dibuat-buat lembut. Ini... benarkah ini Jeo? Leya langsung gemetar.

"Jeo... Jeo tolong jangan apa-apain Gleen. Jangan lukain dia. Dia gak salah apa-apa. Jeo... tolong... jangan lukai dirimu sendiri..." Leya memohon hampir menangis. Rumah Gleen sedang kosong, jarak antara apartemen dan rumah Gleen pun terbilang cukup jauh. Bagaimana ini?

"Kamu tahu kenapa aku selalu berusaha membunuh diri?" Katanya.

Leya diam. Ia berusaha keras menahan tangis. Otaknya mulai berpikiran yang tidak-tidak. Bisa saja saat ini Jeo sedang melukai dirinya sendiri sambil menelepon.

"Karena Grimm tidak akan pernah berhenti sebelum Gleen benar-benar mati. Aku menyelamatkan Gleen. Pada akhirnya dia juga akan mati. Dan mungkin jauh lebih menyakitkan. Jadi lebih baik aku yang membunuhnya lebih dulu," bisik Jeo dingin, "bukankah seharusnya Gleen berterimakasih? Ini keinginan terbesarnya. Aku cerminan dari keinginan terbesar milik Gleen. Yaitu... mati."

"Enggak Jeo enggak... Jeo dengarin aku, Jeo... Gleen masih bisa hidup, memperbaiki semuanya, dan menangkap Grimm. Dia gak harus berakhir dalam kematian."

Tiba-tiba terdengar suara sesenggukan di sana. Jeo menangis, tapi ia tak berkata apa pun.

"Jeo... Gleen masih bisa punya kesempatan buat hidup. Kamu gak berhak ngambil kesempatan hidupnya. Dan Jeo... aku tahu kamu mengenal Grimm. Tolong Jeo... tolong beritahu aku. Dengan begini, kita bisa menyelamatkan Gleen."

Jeo masih tak mengatakan apapun. Ia masih menangis.

"Jeo..."

"DIAM! Kamu gak tahu apapun. Gak usah ikut campur! Gak ada yang bisa menyelamatkanku. Aku... aku dan Gleen harus mati... sebelum semua orang mati!" Pekiknya marah. Telepon kemudian langsung dimatikan.

"Jeo? Jeo?!" Leya mulai panik. Ia mengacak rambutnya. Dengan cepat, ia berusaha menelepon kembali ponsel Gleen, namun tak ada jawaban. Ia langsung segera menelepon Ayah Gleen, sementara tanpa pikir panjang, ia juga keluar dari kamar apartemen, berusaha menyusul.

"Om? Om tolong pulang ke rumah Om sekarang."

"Ada apa Leya?"

"Om... cepat... Jeo muncul..." Suara Leya semakin lama semakin parau. Kepanikan jelas terdengar di suaranya.

"Siapa?"

"Jeo..."

"JEO?! Astaga..." Klik. Telepon dimatikan. Jelas, Ayah Gleen terdengar begitu panik. Ia pasti langsung pergi menuju rumahnya.

Leya melangkah menuju lorong tanpa rasa takut sama sekali. Ia lupa bahwa sebelumnya ia takut keluar dari apartement. Tapi... bagaimana caranya ia bisa pergi ke rumah Gleen selarut ini? Sial...

Leya menggigit bibir bawahnya. Siapa yang bisa ia andalkan? Rosa? Tidak... hal gila adalah membangunkan Rosa di malam selarut ini. Tidak mungkin ia diizinkan oleh orangtuanya. Supirnya? Iya... ia harus menelepon supirnya.

Leya terus melangkah menuju lift. Baru saja ia ingin menelepon supirnya, langkah kakinya terhenti ketika lift terbuka. Leya diam mematung, seketika tubuhnya kaku. Itu... Gleen, menggunakan jaket jamper hitam dan topi hitam.

"Hai, Lily," katanya dengan suara seperti 'perempuan' yang dibuat-buat.

"Lo... Jeo?" Kata Leya gemetaran.

"Hmm... aku gak perlu jawab. Kamu bisa simpulin sendiri."

Leya mundur perlahan, "da-darimana kamu tahu rumahku..."

Once Upon a Time (Dahulu Kala)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang